Kamis, 13 Januari 2011

Ada Apa dengan Sinetron Kita?

Belum lama ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan ada enam sinetron bermasalah yang ditayangkan pada Januari 2009. Enam sinetron itu melanggar Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.

11-17 Januari 2009, yayasan SET (Sains Estetika dan Teknologi), TIFA dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) mengadakan riset Rating Publik di 11 kota di Indonesia, yakni: DKI Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makasar, Denpasar, Batam, Pontianak dan  Palembang. Peneliti mendata 15  program televisi yang paling banyak penontonnya (mempunyai nilai rating paling tinggi menurut AGB-Nielsen Media Research ) berdasar 3 kategori utama: berita reguler, talkshow dan sinetron.

Dalam laporan riset bertajuk  “Menuju Televisi yang Ramah Keluarga” yang direkomendasikan langsung oleh Deputi Direktur yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Jakarta, Agus Sudibyo kepada Alhikmah, di Indonesia hingga saat ini yang dominan adalah pengukuran mengenai jumlah pemirsa atas suatu program televisi. Khalayak tidak diminta atau tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menyatakan pendapatnya atas kualitas berbagai acara yang mereka tonton dan bagaimana perasaan mereka terhadap acara tersebut.

Kesenjangan antara kualitas dengan jumlah pemirsa semakin terlihat untuk program hiburan. Program hiburan (utamanya sinetron) umumnya mempunyai jumlah penonton tinggi, tetapi dinilai oleh responden kualitasnya biasa saja atau buruk. Bahkan di kategori
Program Sinetron Televisi Paling Tidak Berkualitas, (38,2 %) responden memilih sinetron Muslimah yang tayang di stasiun televisi Indosiar, sebagai sinetron paling buruk dari sisi kualitas, diantara 5 sinetron yang mempunyai angka Rating/Share tertinggi menurut AGB-Nielsen Media Reasearch periode 11-17 Januari 2009.

Riset sebelumnya yang dilakukan bulan Maret dan Oktober 2008 oleh lembaga yang sama,  program hiburan (utamanya sinetron) dinilai tidak ramah terhadap anak dan mengumbar banyak kekerasan dan aksi pornografi. Acara ”Suami-Suami Takut Isteri” misalnya. Sebanyak 59.9% responden menilai tidak ramah anak, 49.1% menilai bias gender dan sebanyak 47.6% mengangkat masalah yang tidak menyangkut persoalan hidup masyarakat.

Ada Apa?
Belum lama ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menetapkan ada enam sinetron bermasalah yang ditayangkan pada Januari 2009. Enam sinetron itu melanggar Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.

Berdasar data dari KPI pusat, pemantauan dilakukan terhadap 372 episode yang terdiri dari 14 judul sinetron, yang dipantau dari 1-31 Januari 2009. Daftar sinetron yang termasuk kategori bermasalah, yakni: sinetron Suami-Suami Takut Istri, Sinetron Muslimah, Sinetron Abdel dan Temon, Annisa, Tawa Sutra XL dan Monalisa.

Fetty Fajriati Miftach,Wakil Ketua KPI Pusat, saat dikonfirmasi Alhikmah, membenarkan ihwal teguran KPI  terhadap tayangan-tayangan tersebut di atas. “Kita sudah memberikan peringatan tegas sekali kepada pihak yang menayangkan itu. Misalkan sebut saja Indosiar yang menayangkan sinetron Muslimah dan Hareem. Itu banyak sekali pengaduan dari masyarakat bahwa kedua sinetron tersebut dianggap melecehkan agama Islam, yaitu sifatnya sangat menjelekan kasus poligami.”

Masih menurut Fetty, terlepas setuju tidaknya Indosiar dengan poligami, tetap harus dilihat jelas bahwa dalam ajaran Islam poligami itu dibolehkan. jika seandainya Indosiar ingin menyampaikan pesan poligami bahwa itu memiliki kemadharatan, lanjut Fetty,  hendaknya disampaikan dengan alur cerita yang tidak melecehkan Islam. Fetty Menegaskan, “Hal positif dan negatif dalam poligami hendaknya digambarkan tanpa ada unsur-unsur yang melecehkan Islam. Itu yang kita sampaikan kepada mereka.”

Di Bandung, Ketua Forum Film Bandung (FFB) Eddy D. Iskandar kepada Alhikmah, mengatakan, “Sinetron dibuat karena 2 kepentingan. Pertama, dibuat hampir sama dengan film untuk kepentingan publik secara mayoritas, artinya tunduk ke selera publik yang digemari masyarakat, sehingga dibuatlah film tersebut. Yang kedua, ada juga yang dibuat dengan idealisme. Maksudnya dibuat sedemikian rupa untuk memberikan pengaruh kepada publik yang positif,” ujarnya.

Senada dengan Eddy, pakar komunikasi dan Pemerhati Media, Dr. Asep Saeful Muhtadi, MA mengatakan, ”Sinetron itu punya nilai-nilai yang bisa membuat porsinya menjadi besar, artinya bukan tanpa nilai yang positif. Cuma persoalannya, saya menduga sinetron itu lebih dipandang dari segi komersial (profit oriented)!”

Namun, adakah Motif lain di luar bisnis, dalam penayangan Sinetron seperti itu?
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, Drs. H. Aminudin Yakub, saat dihubungi Alhikmah, turut berkomentar mengenai salah satu sinetron yang mendapat terguran KPI. “Judulnya saja Muslimah. Sosok wanita Muslim. Namun yang ditampilkan kebencian, dendam, kekerasan, dan ditayangkan pada waktu prime time, yang bisa menyebarkan kebencian pada suatu golongan. Seperti ada upaya sistematis untuk menjelekkan Islam dan kita tidak tahu siapa,” ungkapnya.

Di tempat berbeda, Arya Gunawan, National Professional Officer UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), yang juga merupakan kritikus media, kepada Alhikmah mengatakan, Memang ada pihak yang memiliki kecurigaan seperti itu, karena ini berulang kali terjadi. Tentu saja yang paling cepat dilakukan adalah pengkajian akademis oleh organisasi Islam atau perguruan tinggi atau melalui MUI, atau melalui lembaga independent dari perguruan tinggi untuk dilihat content-nya, dan dilihat apakah ada unsur yang bisa dikategorikan tidak memihak kepada Islam.

“Kita bisa menemukan bukti yang valid dan diberitahukan kepada produser bahwa ini ada yang tidak beres dan kenapa hal itu bisa tampil. Yang lebih memperkuat dugaan itu adalah penelitian akademis agar sulit dibantah oleh kelompok yang kadang kala ingin menyuarakan kebebasan dalam media,” ungkap mantan wartawan Kompas ini.

Guru Besar Komunikasi Unpad (Universitas Padjadjaran) Prof. Deddy Mulyana pun ikut menyuarakan pandangannya terkait maraknya tayangan sinetron di Indonesia saat ini. ”Sinetron yang ada sekarang itu banyak menjual mimpi, sehingga penonton terbuai, merasa ingin seperti itu. Mereka menonton sinetron untuk meluangkan waktunya, melarikan diri dari kejenuhan. Ini masuk dalam kategori eskaptisme (pelarian_red). Tidak ada yang menonton sinetron dengan tujuan mendapat pendidikan,” ungkapnya.

Regulasi
“Terkait dengan teguran KPI terhadap tayangan televisi, khususnya sinetron, sebetulnya apa yang membuat tayangan itu dinyatakan telah melanggar?” Pertanyaan wartawan Alhikmah saat menemui ketua KPID Jawa Barat, Dadang Rahmat.

Dadang pun menjawab, “Sebuah media bisa dikatakan melanggar jika isi siaran menyalahi UU penyiaran.” Ia mencontohkan, di dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tentang isi penyiaran diatur dalam pasal 36, yang salah satunya berbunyi: Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Isi siaran dilarang: a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong; b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

Menurut Dadang, apa yang dilakukan KPI prosesnya bersifat normatif, artinya diatur dalam ketentuan yang ada. Teguran itu, lanjut Dadang, tentu saja didahului oleh temuan atau aduan baik dari masyarakat, KPID atau KPI pusat terhadap isi dari tayangan televisi. Jika aduan dan temuan telah diterima maka yang pertama kali dilakukan oleh KPI adalah dengan melakukan klarifikasi terhadap media tersebut, mengenai benar tidaknya ada tayangan atau adegan yang dimaksud.

Dadang menguraikan, setelah ditemukan bukti tersebut, maka KPI kemudian memberikan teguran dan sanksi, baik sifatnya lisan atau tulisan agar media yang bersangkutan mengurangi adegan yang tidak sesuai atau menghentikan program tayangan. “Kalau setelah tiga kali ditegur tetapi media tersebut tetap tidak menurut maka KPI menghentikan programnya,” tegas Dadang.

Peran Ulama dan Masyarakat     
Prof. Dr. KH. Miftah Faridl, ulama kharismatik yang juga ketua MUI kota Bandung ini menilai sinetron ideal dalam Islam yang bisa memberikan nuansa positif. “Seperti orang jujur akhirnya sukses, orang yang penyayang fakir miskin akhirnya bahagia, yang menolong orang lain itu selalu ditolong, kejahatan itu ujungnya derita, hal yang seperti itu saja,” ungkap Guru Besar Humaniora Institut Teknologi Bandung ini.

Lebih lanjut, Miftah menambahkan, ulama harus bisa memberikan terobosan dakwah yang menggunakan teknologi modern itu. Tentu melalui kerjasama dengan budayawan atau profesi tertentu sehingga penyiaran ada muatan dakwah yang tidak membosankan.

Selain itu, masih menurut Miftah, harus ada sinergi antara ulama, budayawan dan pengusaha dalam membuat televisi yang lebih bermanfaat bagi kepentingan dakwah. Selama ini, tambah Miftah, ada televisi dakwah tapi tidak mendapatkan dukungan optimal dari panyandang dana, profesi lain sehingga tidak laku dan popular.

Sementara itu, Wakil sekertaris  komisi fatwa MUI, Aminudin Ya’kub mengatakan, “Islam tidak melarang melakukan kreasi seni dan budaya, namun itu harus disertai tanggung jawab secara sosial dan harus ada norma-norma yang mengajari. Kalau tidak disertai norma maka akan menjadi liar”. Makanya, lanjut Amin, para seniman, artis, budayawan yang terlibat dalam sebuah produksi penayangan harus bisa berpikir panjang mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari tayangan tersebut. “Itu penting menjadi pelajaran bersama. Bagaiman kita bisa membangun bangsa kalau tiap hari disuguhi pelajaran yang salah dari sinetron,”

Peran dari Lembaga Swadaya Masyarakat, dan masyarakat itu sendiri termasuk di dalamnya
.
Santi Indra Astuti, S.Sos, M.Si. Dosen Jurnalistik Universitas Islam Bandung (Unisba),  mengatakan, jika berharap Televisi atau industri akan merubah tayangannya agak susah, karena dari dulu pun kurang mendapat respon. Kepada Alhikmah, aktivis Bascomms (Bandung School of Communications Studies) ini  mengatakan, bahwa masyarakat jangan fokus hanya pada industrinya, tapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat.

“Salah satunya dengan mengaktifkan media literasi untuk dapat mengajak masyarakat agar memiliki daya kritis terhadap media agar ditengah banjir informasi mereka memilih memilah dan menggunakan informasi sesuai dengan kebutuhan,” ungkap Santi.

Selain itu, Wakil Ketua KPI, Fetty Fajriati menghimbau bahwa peran masyarakat sangat penting sekali dalam mengawasi tayangan-tayangan yang dinilai ada kecenderungan melanggar aturan. “Masyarakat kita jangan cuek dan jangan hanya menikmati siaran saja sebagai hiburan. KPI tdak akan bisa bergerak tanpa dukungan dari masyarakat. Kalau masyarakat cuek dikasih suguhan mengandung kekerasan, seks dan kebanci-bancian, tidak ada protes, kita tidak bisa bertindak terlalu keras,” kata Fetty.

Oleh karenanya, tambah Fetty, kepada masyarakat jangan diam terutama masyarakat muslim, yang mayoritas. Masyarakat harus kritis. Saran Fetty, “Jika masyarakat melihat pelanggaran, kekerasan, seks, laporkan ke KPI. Buka situs KPI,  www.kpi.go.id atau fax 021 6340667.”

HBSungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Sholeh, Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 34


gambar : imadawwas.deviantart.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar