Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Sabtu, 15 Januari 2011

Korupsi, Membunuh Mimpi Generasi

          Awal Februari 2009, Transparency International Indonesia (TI-Indonesia), sebuah organisasi kemasyarakatan berpusat di Jerman, yang fokus melawan korupsi mengadakan seminar sekaligus sosialisasi di Surabaya tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2008 dan Indeks Suap 15 Institusi Publik di Indonesia. Hasilnya cukup mencengangkan, karena hampir di semua instansi masih banyak terjadi korupsi. Data yang diperoleh yaitu IPK di sebagian besar kota di Indonesia masih tergolong tinggi.

Seperti yang dilansir oleh TI-Indonesia, Survei IPK TI-Indonesia dilakukan pada September - Desember 2008 untuk mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan pelaku bisnis setempat. Total sampel dari survei tersebut adalah 3.841 responden, yang berasal dari pelaku bisnis (2.371 responden), tokoh masyarakat (396 responden), dan pejabat publik (1.074 responden).

Dari 15 institusi publik yang diukur, indeks suap yang diperoleh adalah; Kepolisian (48 persen), Bea dan Cukai (41 persen), Kantor Imigrasi (34 persen), Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (33 persen), Pemerintah Daerah/kota (33 persen), Badan Pertanahan Nasional (32 persen), dan beberapa institusi publik lainnya.

Banyak cara yang bisa digunakan untuk melihat intensitas dan luasnya korupsi di suatu tempat/ daerah. Mulai dari tampilan fisik para pejabat, hingga penelusuran intensif simpanan kekayaan mereka, di dalam, pun luar negeri.

Secara fisik, fenomena korupsi sudah tampak dari bangunan rumah yang dimiliki seseorang, kemudian merek dan jumlah kendaraan yang dia miliki, sampai dengan gaya hidup berbelanja yang bisa menghabiskan puluhan juta sekali belanja.

Jika seorang Wali Kota atau Bupati, misalnya, secara formal hanya bergaji Rp 20 juta dan mengelola dana taktis sekitar Rp 400 juta per tahun, maka selama masa jabatannya (lima tahun) praktis ia hanya bisa mengumpulkan uang Rp 32 miliar. Itu pun jika semua dana taktis beserta gajinya diambil dan ditabung.

Maka, jika ia bisa membangun rumah seharga Rp 10 miliar di berbagai tempat /wilayah, dalam masa jabatannya lima tahun, sudah barang tentu ia pasti melakukan penyelewengan (korupsi) dengan dana (APBD) yang dikelolanya selama ini.

Dalam artikelnya di KOMPAS medio Maret 2009 lalu, Febri Diansyah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menuliskan,
beberapa kalangan menggunakan istilah Korupsi Politik untuk menjelaskan posisi partai politik (parpol), kekuasaan dan modal sebagai tiga unsur yang berkelindan membajak fungsi Negara.

Ia menyebutkan, tesis sederhana dari Korupsi Politik berangkat dari posisi aktor politik sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Di tataran praktek, persilangan kepentingan antara partai politik, pebisnis dan pemilik modal lah yang menjadi latar belakang tidak berjalannya fungsi Negara sebagai pelayan masyarakat.

Menyambung Febri, Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, dalam artikelnya “Pemilu Mahal dan Investasi Korupsi”  mengatakan, bahwa bila dikalkulasi secara matematis, dana yang dikeluarkan para caleg dengan besaran gaji resmi yang akan diterima bila sudah duduk di gedung wakil rakyat tidaklah menguntungkan.

Untuk caleg DPR, tulis Alfaruqi, dana kampanye yang dikeluarkan Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar, DPRD provinsi (Rp 700 juta-Rp 1 miliar), serta DPR kabupaten dan kota (Rp 500 juta-Rp 600 juta). Sedangkan gaji resmi dewan selama lima tahun adalah DPR Rp 30 juta x 12 x 5 = Rp 1,8 miliar. DPRD provinsi Rp 15 juta x 12 x 5 = Rp 900 juta. DPRD kabupaten/kota Rp 9 juta x 12 x 5 = Rp 540 juta. Itu belum dipotong pajak dan potongan dari partai politik yang biasanya berkisar 15-25 persen.

Dengan hitungan kasar seperti itu, menurut Alfaruqi, sebenarnya apa yang mau dicari oleh para caleg saat terpilih nanti? Kalau mencari profit, besaran gaji resminya tidaklah terlalu ideal. Kalau murni ingin memperjuangkan nasib rakyat, rasanya pada zaman yang serba materialistis ini, sulit ditemukan manusia yang mau mengeluarkan dana begitu besar hanya demi untuk cita-cita yang mulia tersebut.

Dalam konteks inilah, tambah Jabir, patut diduga, jangan-jangan para caleg yang beberapa pekan lalu bertarung mati-matian di medan kampanye pemilu itu tidak pernah menghitung gaji resmi yang akan diterima. Mereka lebih membidik tumpukan uang di luar gaji resmi.

Itulah mengapa, “Korupsi, Membunuh Mimpi Generasi!” Segudang mimpi perubahan yang dipercayakan ratusan juta rakyat negeri ini –pun generasi penerus bangsa di dalamnya –  menuju keadilan dan kesejahteraan, tak akan pernah kunjung nyata. Pemimpin yang diharapkan bisa memperjuangkan nasib rakyatnya, sibuk berpikir untuk mengembalikan modal awal, dan lalu memperkaya diri sendiri.    

Definisi dan Motif Korupsi
Lalu, sebenarnya apa  yang dimaksud dengan korupsi?
Dalam perspektif  hukum positif, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang dapat dikelompokkan sebagai: Kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaaan dan gratifikasi.

Selain bentuk/jenis Tipikor yang sudah dijelaskan, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dengan Tipikor yang tertuang pada UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor, antara lain: merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu, saksi yang membuka identitas pelapor.

Data Indonesian Corruption Watch (ICW) 2008, terdapat 194 perkara korupsi dengan 444 terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Di tingkat pengadilan negeri ada 159 perkara; tingkat banding di pengadilan tinggi sebanyak 10 perkara; dan kasasi di Mahkamah Agung sebanyak 25 perkara. Nilai kerugian negara dari perkara-perkara itu mencapai Rp 11,7 triliun.

Dari 444 terdakwa itu, 277 terdakwa (62,38 persen) divonis bebas. Hanya 167 terdakwa (37,61 persen) yang divonis bersalah. Mahkamah Agung, menurut data ICW, justru memvonis bebas 121 terdakwa.
Hal ini kontras dengan kasus-kasus korupsi yang ditangani Pengadilan Tipikor. ICW mencatat, selama 2008 terdapat 27 perkara dengan 31 terdakwa yang diperiksa dan diputuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Seluruhnya divonis bersalah.

Kepada Alhikmah saat ditemui di sekretariat ICW, Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan, Febri Diansyah, Peneliti hukum ICW menjelaskan bahwa k
orupsi adalah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat, merugikan masyarakat dan keuangan negara.

Tentu saja, tambah Febri, dalam pemberantasan korupsi terutama di negeri ini, beragam kendala kerap menghadang. Febri mengungkapkan, “kalau kita mengawasi DPR, Kejaksaan, mereka sangat resisten melawan balik (Corruptor Fight Back) dengan tuduhan pencemaran nama baik, pencekalan, dan ancaman lainnya. Sedangkan anggota kita cuma 30.“

Senada dengan Febri, kepada Alhikmah,
Koordinator umum West Java Corruption Watch (WJCW) Mochammad Syafrudin, mengatakan, bahwa korupsi adalah mengambil hak orang lain dan minimnya kapabilitas dan transaparansi terkait kekayaan publik.

Adapun motifnya jika dikaitkan dengan realitas dan persoalan negara, menurut Syafrudin, maka yang terjadi adalah untuk menlindungi kepentingan bisnis kelompoknya, selain motif politik karena abused of power.

Aspek Psikologis dan Sosiologis
Kepala Pusat studi Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad), Drs. Mustafid Amna, MA mengatakan, bahwa gejala korupsi ini bisa dilihat dari berbagai faktor. ”Salah satunya adalah perilaku atau metode perilaku, yaitu kebutuhan (needs), penguatan  (reinforcement), kognitif (cognition),  karakteristik pekerjaan (job characteristics) dan perasaan (feelings/emotions) mendasari terjadinya evolusi dari teori modern tentang motivasi seseorang untuk berbuat sekehendaknya,” ungkapnya kepada Alhikmah.

Masih menurut Amna, pendekatan psikologi dalam pemberantasan korupsi, tentunya diintegrasikan dalam berbagai pendekatan lain, menekankan pada perubahan sikap, pereduksian niat dan kesempatan, serta manipulasi norma sosial dan norma subjektif. ”Upaya melakukan hal-hal tersebut merupakan upaya integral yang satu sama lain tidak dapat dipisah pisahkan. Bila norma sosial melarang korupsi dan bahkan menyediakan berbagai mekanisme sanksi sosial terhadap perilaku korup, maka kemungkinan timbulnya korupsi kecil,” tegasnya.

Dalam perspektif Sosiologi, Sosiolog UI, Imam Prasodjo, memandang korupsi sebagai suatu tindakan yang merugikan pihak lain. “Dalam tatanan kehidupan, kita menyepakati aturan yang tidak merugikan orang, aturan yang mungkin tidak sempurna namun kita sepakat bahwa itu yang kita gunakan. Misal, ruang publik itu kita sepakati tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi,” jelasnya. “

Lebih jauh lagi, kepada Alhikmah, Imam menggambarkan motif korupsi ke dalam
3 hal. Pertama, corruption by need, korupsi karena kebutuhan, karena gaji sangat kecil, terdesak ekonomi, sehingga dia terdorong untuik melakukan korupsi karena desakan ekonomi. Kedua, corruption by greed, korupsi karena kerakusan, faktornya adalah karena kalap. Jadi orang yang kekurangan atau rakus bertumpu pada diri sendiri yang integritasnya kurang kuat. Yang ketiga, Corruption by system, orang melakukan tindak korupsi lebih karena sistemnya yang mendorong orang untuk melakukan itu.

Konsepsi Islam
Seretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Drs. H. Aminudin Ya’kub, MA, ketika ditemui langsung oleh Alhikmah di ruang kerjanya, mengatakan, bahwa dalam Islam, korupsi disebut dengan Ghulul. Artinya tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.

Bahkan, menurut Aminudin, Fatwa MUI pada Munas ke-7 tahun 2005 di Jakarta, membolehkan untuk menghukum koruptor dengan hukuman mati jika dia sudah sangat merugikan rakyat.

Di tempat terpisah, Guru Besar Universitas Islam Bandung, Prof. Dr. Maman Abdurrahman kepada Alhikmah mengatakan, ada tiga istilah yang digunakan dalam Islam. “Pertama ada istilah fasad yang diartikan sebagai kerusakan dan ada istilah mungkin juga riswah yaitu sogokan, kemudian ada istilah ghulul yaitu penggelapan. Jadi ketiga hal ini sekarang dekat-dekat pada makna korupsi,” ungkap Maman.

Di dalam Alquran sendiri, masih menurut Maman,  Allah berfirman: “Tidak mungkin seorang Nabi akan berkhianat (ghulul). Barang siapa berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan dengan hasil pengkhianatannya. Kemudian, setiap nyawa akan menerima balasan sesuai dengan yang diperbuatnya. Tidak ada yang diperlakukan tidak adil.” (Q.S. Ali Imran: 161)

Nah, ini dasar Alquran yang sekarang oleh para pakar dijadikan landasan korupsi itu sebagai suatu pengkhianatan terhadap harta Negara atau harta siapa saja,” tandasnya.

Lantas, seperti apa relasi antara Korupsi dengan kepemimpinan? Tentu saja kepemimpinan mendapatkan porsi penting dalam implementasi agenda pemberantasan Korupsi itu sendiri. Sebab, menurut Maman, kepemimpinan negara itu kan harus memiliki uswah (teladan). ”Jadi kalau tidak memiliki uswah, ya, bagaimana negara akan benar kalau di atasnya tidak benar. Uswah itu harus dipegang secara sungguh-sungguh oleh para pejabat negara.”

Maman mencontohkan, di masa kepemimpinan Rasul, dimana seorang sahabat yang mengambil sesuatu dari harta rampasan (ghanimah) sebelum dibagikan oleh rasul (kepala negara). ”Saat itu tidak disebutkan hukumannya, namun waktu itu Rasul mengatakan dengan tegas, ”siapa yang berbuat penggelapan maka pada hari kiamat akan ditampilkan.” Akhirnya sahabat tersebut mengembalikannya.

Senada dengan Maman, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Aminuddin Yakub mengatakan bahwa pemimpin harus memberi teladan yang benar dan berpengaruh. Pemimpin harus sadar bahwa memimpin adalah amanah dan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
           

0 komentar:

Posting Komentar