Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online
Tampilkan postingan dengan label Kisah Muallaf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah Muallaf. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Februari 2011

Mary Fatima, 15 Tahun Meragukan Trinitas, Akhirnya Mary memilih Islam

Mary Fatima Kaouch Garna
(Siti Maryam)

Mary Fatima Kaouch terlahir dari keluarga yang memegang prinsip iman Katolik, 1964 silam, di kota Rosrath, Negara bagian Nordrhein Westfalen, Jerman. “Sejak kecil saya dididik dengan agama Kristen katolik. tapi Alhamdulillah, waktu lahir ayah saya memberikan nama Fatima dan ibu memberikan nama Maria. Dari situ sebetulnya perjalanan Islam sudah mulai,” ungkap Siti Maryam kepada Alhikmah sepenggal waktu lalu.

Ia memulai pendidikan dasarnya di Jerman selama 9 tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke jenjang sekolah kesejahteraan keluarga yang diselesaikannya selama 2 tahun.

Berbeda dengan siswa lain di Sekolah Dasar, Mary banyak sekali bertanya tentang ajaran agama yang dianutnya. Kenapa Isa disebut anak Tuhan? kenapa Adam tidak disebut anak Tuhan? Kenapa Maria disebut ibu Tuhan? Dan pertanyaan lain yang mengusik hatinya.

“Banyak orang yang yang menghindari pertanyaan saya. Ada yang tidak dijawab, ada yang dijawab seadanya, ada yang bilang kapan-kapan lagi saya jawab, ada yang bilang nanti kalau kamu sudah besar. Semua itu tidak memuaskan rasa penasaran saya,” kata penulis buku Hidayah dan Inayah ini.

Negara Jerman, tempat rezim Fasis, Nazi, pernah berjaya ini melarang warganya membahas masalah agama. Kondisi seperti ini sangat menekan Mary sehingga tidak bisa leluasa mencari kebenaran yang selama ini tidak ditemukan dalam ajaran katolik yang dia anut.

Akhirnya di usia yang masih muda, 16 tahun, Mary keluar dari agama Katolik dan merasa tidak tertarik lagi menanyakan kegelisahannya kepada orang lain. Mulai saat itu ia mengikuti suara hatinya.

Mary tergolong anak ‘bengal’. Setiap kali diminta ke Gereja, ia turut. Namun, begitu tiba di depan pintu, Mary malah berputar arah ke restoran. “Bagi saya tidak penting berdoa di Gereja. Langsung saja berdoa kepada Tuhan (Gott) dari hati saya,” tutur Mary, setelah nyaris putus asa menemukan kebenaran ajaran agamanya.

Tak hanya itu, Mary bahkan termasuk perokok berat. Setiap hari ia bisa menghabiskan 3 bungkus rokok merk Marlboro. Kebiasan menghisap zat adiktif ini berhenti total ketika ia masuk Islam, kelak.

Meskipun ‘bengal’, Mary terbilang sukses di dunia pendidikan. Di Sekolah Kesejahteraan Keluarga, Mary lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, bahkan mendapat penghargaan dari pemerintah, atas prestasinya itu .

Selepas itu, hobi masak yang dimilikinya sejak kecil mendorong dia untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan, Gastronomi, selama 3 tahun. Selama menempuh studi, Mary banyak mengikuti perlombaan memasak di hotel berbintang 3 hingga 5, dan selalu menjadi juara.

Menginjak usia 19 tahun, selain kuliah, Mary pun bekerja paruh waktu di hotel Haus Lyskirchen, Jerman, yang diisinya di hari libur. Setelah dua tahun, Mary pindah ke hotel Intercontinental di kota Koln.

Karena kejeniusannya Mary memperolah penghargaan Grand Diner Amical Des Grand Chapitre L’europe tahun 1985 (Koki terbaik dalam penyediaan Makan malam yang besar dan eksklusif). Setahun kemudian ia pindah lagi ke hotel Haus Lyskirchen di koln yang jaraknya kira-kira 30 km dari kota bonn dan mendapatkan kembali penghargaan Diner Amical.

Selang 6 bulan ia ditawari jabatan sebagai Kepala Eksekutif di hotel Haus Lyskirchen. Namun Mary malah memilih mundur dan membuka restoran pribadi.

Mary dengan usia yang masih relatif muda telah menjadi pengusaha sukses. Akan tetapi, uang yang banyak tidak membuat Mary merasa tenang. Masih ada sesuatu yang tetap mengusik hatinya. Inilah yang membuat Mary selalu berpindah-pindah tempat.

Belum puas meraup uang dari restoran pribadinya, Mary kemudian bekerja sebagai Bandar Judi di salah satu Kasino di Bonn Jerman. “Perolahan uang yang cukup besar tidak memberikan kebahagiaan yang dicari. Hidup dengan hati gelisah karena melihat kerusakan hati orang lain. Lalu seorang kolega mendorong saya keluar dan mencari jalan baru,” urai wanita yang sempat menjadi nara sumber International Seminar and Workshop on Education di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta ini.

Suatu hari saat Mary berada di kafetaria ia bertemu dengan warga muslim Indonesia yang bekerja di kedutaan Besar Indonesia di Jerman, bernama Pandji Abdullah Garna.

“Saya habis kerja selalu ketemu dia di kafetaria, karena dia sama koleganya main catur setiap sore di kafetaria. Kita saling menatap dan akhirnya kenalan. Allah yang sudah mengaturnya,” tutur penggemar minuman Capuccino ini.

Sekitar 4 tahun berkenalan, Mary kemudian diajak menikah oleh Pandji di negerinya, Indonesia. Mary awalnya ragu, namun kemudian ia pun menyetujui permnintaan Pandji. Maka pada tahun 1992 Mary bersama Pandji berangkat berlibur ke Indonesia.

“Orang Islam kalau di Indonesia menikah harus dengan orang Islam lagi,” tutur Mary mengenang ungkapan Pandji. Maka, sehari sebelum menikah Mary pun meminta syarat kepada keluarga Pandji untuk menerangkan agama Islam. “Saya minta penjelasan tentang Islam karena itu menyangkut keyakinan hubungan yang sangat dalam, saya harus kenal dulu,” ungkapnya.

Mary pun diundang salah satu Kyai yang fasih berbahasa Inggris untuk menerima penjelasan ajaran Islam. Mary kemudian mencurahkan kegelisahan yang selama 15 tahun ini terbelenggu. Ia bertanya tentang konsep trinitas yang dianut agama Kristen, semisal kenapa Siti Maryam dipanggil ibu Allah, padahal Allah itu satu dan ia diciptakan oleh Allah? Bbegitu pun dengan Yesus dan puluhan pertanyaan lainnya yang dulu sempat mengganggu pikiran dan hatinya.

Seluruh pertanyaan dijawab tuntas oleh Kyai tersebut, diiringi lantunan ayat alquran untuk menguatkan jawaban. Tak terasa rasa haru menyeruak di kedalaman hatinya. “Ini rahasia yang saya cari bertahun-tahun, saya tanya banyak pertanyaan dia jawab dari Alquran sampai menyentuh hati, di situ saya tertarik ajaran Islam. Allah benar-benar memberi hidayah yang sangat besar,” kenang Mary sambil menitikan air mata.

Kegelisahan Mary kini terjawab sudah ia pun memutuskan untuk memeluk Islam dan menikah secara Islam di daerah Sukahaji, Gegerkalong, Bandung. Nama Maryam diambil atas usul seorang teman. Maryam Binti Imran sebagaimana diketahui adalah perempuan saleh yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengabdi kepada Allah.

Ihwal kepindahan keyakinan ini tidak diberitahukan Mary kepada orangtuanya. “Saya tidak memberi tahu ibu. Saya takut karena orangtua Katolik, dia pasti bilang tidak boleh. Kalau bilang tidak boleh, maka saya akan nurut. Namun, sekarang Orangtua saya sudah tahu saya telah masuk Islam”, tutur perempuan yang kerap melakukan kontemplasi (perenungan) ini.

Nama Siti Maryam sebagai pengabdi Allah kemudian terwujud buktinya 9 tahun kemudian. Mary semakin aktif berdakwah dari satu masjid ke masjid lainnya baik di wilayah pedesaan ataupun di perkotaan, sekitar Bandung. Ia tidak malu pergi ke tempat ceramah dengan hanya berkendara sepeda motor, atau bahkan berjalan kaki. Saat disapa Bu Mary kesini bersama siapa? Ia selalu menjawab, “bersama Allah” .

Bagi Mary dasar keislaman harus dibuktikan dengan Ilmu, iman dan amal saleh. “Iman dan kesalehan adalah dua hal yang bersatu padu. Tidak ada Iman, tanpa kesalehan, tidak ada kesalehan tanpa iman. Itulah sebabnya Allah sering menyebut dua kata ini secara bersamaan. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh,” pungkas Mary.

Nama : MF Kaouch Garna (Siti Maryam)


Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 40

Minggu, 30 Januari 2011

Steven Indra Widjaja, Benci Islam Membawa Berkah

Pastur yang selama ini ia hormati, ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian pula para frater yang menghamili siswinya, serta para bruder yang menjadi homo.

Steven Indra Widjaja betul-betul tak menyangka kebenciannya yang mendalam terhadap Islam, justru mengantarkan dia secara perlahan jatuh di pelukan agama tauhid ini.
Sejak kecil, kedua orang tuanya sudah menyemai benih kebencian terhadap Islam pada diri pria kelahiran Jakarta 14 Juli 1981 ini.

Di usianya yang baru menginjak tahun kelima, Steven mulai banyak berbuat onar. Ia sengaja menyimpan tulang babi di atas makanan pembantunya yang beragama Islam. Tak hanya itu, Steven kecil ingin sekali menaruh sesuatu di atas kepala orang muslim yang tengah sujud sewaktu mereka shalat, bahkan menendangnya.

“Saya dulu benci banget sama Islam. Ya, pokoknya benci saja melihat orang Islam. Itu yang ada di kepala saya waktu itu. Pokoknya saya jahat banget,” kenang Steven.

Oey Ing Sing Sing, ayah steven, adalah penganut Kristen Protestan. Selain menjadi aktivis di GKI (Geraja Kristen Indonesia) dan gereja Bethel di Muara Karang Jakarta Utara, ia juga pebisnis di Century 21 dan Jawa Barat Indah. Ia banyak mencari dana di luar negeri untuk pembangunan gereja-gereja di Indonesia.

Meski demikian, Steven malah dipersiapkan sebagai bruder (penyebar ajaran Kristen katolik) oleh ayahnya. Selain karena dorongan dari sang nenek, Steven juga dipersiapkan sebagai penganut katolik generasi ketiga dari kakek ibu dia.

“Saya katolik, nenek saya katolik, Oom saya yang di Amerika dan di Surabaya juga Katolik. Yang lainnya protestan. Memang, kita agak campur juga di rumah,” ungkap Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga) ini.

Untuk mempersiapkan sebagai Bruder generasi ketiga, Steven diasramakan oleh ayahnya di Pangudi Luhur Ambarawa, Jawa Tengah. Pendidikan ini ia jalani sampai tingkat SMA. Karena untuk menjadi bruder minimal harus memiliki ijazah Diploma III (D3), selepas menamatkan pendidikannya di SMA Don Bosco tahun 1997, Steven didaftarkan ke sekolah tinggi Saint Michael’s College, di Worcestershire, Inggris.

Spesialis Islamologi diambilnya pada mata pelajaran agama, karena ia ingin sekali menghancurkan umat Islam melalui ajarannya. Ia mempelajari hadits dan riwayatnya untuk mencari celah agar orang muslim percaya bahwa apa yang diajarkan dalam agama mereka itu tidak benar.

Bahkan untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, Steven harus melakoni proses disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdi seluruh hidupnya untuk Tuhan. Di sekolah ini Steven menjalaninya selama 2,5 tahun. Setelah selesai, Steven kembali pulang ke Indonesia sebagai seorang penginjil.

Namun seiring dengan aktifitasnya sebagai penginjil, timbul keraguan dalam diri Steven atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang ia pelajarinya bertolak belakang dengan buku-buku Islam yang ia temui di toko-toko buku.

Suatu hari, sewaktu mendatangi salah satu toko buku di Jakarta, Steven menemukan buku karangan Imam Ghazali, tentang hadits dan periwayatannya. Buku yang mengulas hadist dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatian Steven. Ternyata banyak referensi dan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Awal dari sinilah Steven mulai mengetahui bahwa hadist-hadits yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. Hadits-hadits yang dipelajarinya tersebut ternyata palsu. Dari sana kemudian Steven mulai mencari hadits-hadits yang sahih.

Keinginan Steven untuk mempelajari ajaran Islam tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Steven mulai mempelajari gerakan shalat.

Kegiatan mengamati orang yang shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatannya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.

“Ketika waktu shalat Dzuhur datang dan adzan berkumandang dari Masjid Istiqlal, kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral," papar lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.

Aktivitasnya di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Steven, ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua.

Tahap berikutnya Steven mulai belajar shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.

"Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan tidak," tutur Steven.
Usai belajar shalat dzuhur dan maghrib, ia melanjutkan ke shalat Isya, Subuh, lalu Ashar.

Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari dengan mengikuti apa yang dilakukan jama'ah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jama'ah shalat.

"Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi, saya mempraktikkannya,” ujarnya.
Alhamdulillah, dalam waktu seminggu Steven sudah hafal gerakan berwudhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Steven melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan menghafalkan.

“Habis shalat itu adem. Ada bahasan kultum tentang apa yang tadi dibaca. Itu punya nilai lebih. Tak sekedar nyanyi, makan, dan tertawa seperti yang saya lakukan di gereja. Islam itu lebih disiplin. Kalau Adzan bunyi, langsung datang ke masjid,” tambah pria yang saat ini tengah mendalami musthalah hadits melalui beberapa guru besar ahli hadits.

Setelah merasa mantap, Steven pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu oleh seorang teman bisnisnya bernama Harry, di Serang, Banten. Dihadapan Harry dan 4 orang temannya berikut salah seorang Ustadz, Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian Steven pun menggunakan nama Indra Wibowo ash-Shiddiqi. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000.

Ke-Islamannya itu baru diketahui oleh kedua orangtuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, saat hendak mengambil pakaian. Kabar ini diketahui dari rekan-rekan bisnis sang ayah yang tengah mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang dan Pluit.

“Makanya papa punya banyak kenalan dan teman. Dan mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa,” ungkapnya.

Ayahnya pun memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil, lalu disidang oleh ayahnya.

Di hadapan ayahnya, Steven mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder, dirinya mendapatkan kenyataan pahit. Pastur yang selama ini ia hormati, ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian pula para frater yang menghamili siswinya, serta para bruder yang menjadi homo.

Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung, saat kejadian sang ibu langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Tujuh jahitan menghias dahinya saat itu. Kendati demikian, sang ibu tetap tidak bisa menerima keputusan Steven.
Bahkan, oleh ayahnya, Indra kemudian diusir, setelah dipaksa menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris, mengenai pelepasan haknya sebagai salah satu pewaris dalam keluarga.

"Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya," ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuk dia.

Biodata
Nama : Indra Wibowo Ash Shidiqi
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)
- Pengurus Mualaf Center Online http://www.mualaf.com

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 39

Sabtu, 15 Januari 2011

Syafii Antonio, Mempelajari, Membandingkan, lalu Memilih Islam

Dr. Muhammad Syafii Antonio, MSc (Nio Gwan Chung)
Dalam mempelajari ajaran Islam, ia menggunakan metode komparasi yang membandingkan antara ajaran satu agama dengan agama lainnya. Komparasi ajaran agama ini ditempuh melalui pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa.

Muhammad Syafii Antonio atau yang biasa dikenal dengan Syafii Antonio, merupakan satu diantara tokoh-tokoh muslim Indonesia masa kini yang memberikan kontribusi dakwah di bidang ekonomi Syariah selain Adi Warman Karim, KH. Didin Hafiduddin dan beberapa ekonom syariah lainnya. Namun, tak banyak yang tahu jika  Syafii Antonio merupakan seorang mualaf, yang sempat berpetualang, mencari kebenaran agama sejak usianya masih remaja.

Lahir di Sukabumi, Jawa Barat 12 Mei 1965, Syafii Antonio adalah warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang. Sebelum memeluk Islam, nama Syafii Antonio adalah Nio Gwan Chung. Sejak kecil ia akrab dengan ajaran Konghucu, karena ayahnya sendiri Nio Sem Nyau, tak lain seorang Shinse dan Biksu Budha Tridharma, di Sukabumi.

Mayoritas tetangga sekitar yang beragama Islam ditambah dengan lingkungan sekolahannya, secara tidak langsung memaksa Nio Gwan Chung sejak kecil bersentuhan dengan komunitas pemeluk agama terbesar di republik ini. Bahkan kerap Nio Gwan Chung terlihat di depan masjid sambil memperhatikan keunikan-keunikan tatacara peribadatan orang Islam yang tidak ditemui di dalam ajaran Konghucu yang dianut. Saking asyiknya, ia sempat diam-diam menirukan gerakan-gerakan umat Islam saat melakukan salat.

Namun, kebencian ayahnya terhadap umat Islam mengakibatkan Nio Gwan Chung mengurungkan niatnya untuk terus memperdalam ajaran Islam. Rasa benci ini didasari pada imej buruk yang selama ini membelenggu mayoritas umat Islam Indonesia. Kemiskinan, kebodohan, kriminilitas, dan beragam hal negatif lainnya, memperparah citra Islam dimata ayahnya.

Melihat sikap sang ayah terhadap umat Islam yang cenderung negatif Nio Gwan Chung yang saat itu mulai beranjak remaja, mencari pengalaman religi di luar Islam dan Konghucu. Kristen Protestan kemudian menjadi pilihannya.

Selain memelajari dan menganut agama baru ini, Nio Gwan Chung berganti nama menjadi Pilot Sagaran Antonio. ternyata perpindahan agama barunya ini tidak memunculkan reaksi keras dari ayahnya. Karena keluarganya sendiri memberikan keleluasaan dalam memeluk agama, dengan catatan tidak untuk agama Islam. Sang Ayah akan sangat murka jika seandainya anaknya kelak ada yang memeluk Islam.

Ajaran Kristen Protestan yang baru dianut oleh Pilot Sagaran Antonio ini rupanya tidak memuaskan rasa haus akan kebenaran yang tengah ia cari. Secara diam-diam Pilot Sagaran Antonio kembali mendalami ajaran Islam yang dulu sempat dilupakannya melalui literatur buku-buku Islam. Citra buruk umat Islam di mata sang ayah, tak mempengaruhi semangat dia untuk masuk lebih jauh mengenal Islam.

Dalam mempelajari ajaran Islam, ia menggunakan metode komparasi yang membandingkan antara ajaran satu agama dengan agama lainnya. Komparasi ajaran agama ini ditempuh melalui pendekatan sejarah, pendekatan alamiah, dan pendekatan nalar rasio biasa. “Sengaja saya tidak menggunakan pendekatan kitab-kitab suci agar dapat secara obyektif mengetahui hasilnya,” ungkap Doktor Banking & Micro Finance, University of Melbourne tahun 2004 ini.

Setahap demi setahap Pilot Sagaran Antonio yang duduk dibangku SMA saat itu mulai menemukan titik terang. Melalui tiga pendekatan tadi, ia menyimpulkan agama Islam memiliki doktrin yang mudah dipahami dibandingkan dengan agama-agama lain. Master of Economic, International Islamic University, Malaysia tahun 1992 ini mengatakan, “Dalam Islam saya temukan bahwa semua rasul yang diutus Tuhan ke muka bumi mengajarkan risalah yang satu, yaitu Tauhid.”

Alquran, kitab suci umat Islam tidak luput dari perhatian Pilot Sagaran Antonio untuk dikaji lebih jauh. Isinya yang memesona bukan saja membuat dia tergagum-kagum, lebih dari itu ia tercebur dalam keagungan mukjizat alquran. Aspek bahasa, tatanan kata, isi berita, keindahan sastra, data-data ilmiah dan aspek lainnya yang disampaikan alquran, diakuinya, sangat sempurna.

Ajaran Islam baginya, memiliki sistem nilai yang sangat komprehensif. Ibadah dalam Islam diartikan secara universal. Semua yang dilakukan baik ritual, hubungan rumah tangga, ekonomi, sosial, maupun budaya, selama tidak menyimpang dan untuk meninggikan syiar Allah, nilainya adalah ibadah.

Sistem kepercayaan yang dibangun Islam tampak sangat berbeda dengan agama lain. Yang lebih menarik lagi hatinya, bahwa di  dalam Islam tidak perlu ada perantara dalam beribadah, yang ada hanyalah antara hamba dan Tuhannya.

Hasil dari studi banding inilah yang kemudian memantapkan hati Pilot Sagaran Antonio untuk segera memutuskan bahwa Islam adalah agama yang dapat menjawab persoalan hidup.

Memeluk Islam
Melalui perenungan yang cukup panjang, akhirnya, tahun 1984 bertepatan dengan usianya yang ke-17 Pilot Sagaran Antonio memutuskan untuk mengucapkan kalimat syahadat dengan bimbingan K.H.Abdullah bin Nuh al-Ghazali. Usai ikrar keislamannya, nama Muhammad Syafii Antonio kemudian ia pilih sebagai pengganti nama Pilot Sagaran Antonio.

Ada lima alasan mengapa dia memilih nama syafii. “Syafii adalah nama yang unik, dan diambil dari nama imam besar, berbudi baik, luhur serta terkenal akan objektivitasnya. Sedangkan Antonio adalah nama keluarga yang akan membedakannya dari Muhammad syafii lain,” ungkap Sarjana Syariah, lulusan University of Jordan ini.

Tindakan berani dari Syafii Antonio kontan menimbulkan reaksi keras dari sang ayah yang sejak awal sudah mewanti-wanti keluarganya agar tidak memilih Islam sebagai agama. Dampaknya, tak hanya dikucilkan, Syafii Antonio pun langsung diusir pergi dari rumah oleh ayahnya.

“Saya dikucilkan dan diusir dari rumah. Jika saya pulang, pintu selalu tertutup dan terkunci. Bahkan pada waktu shalat, kain sarung saya sering diludahi. Perlakuan keluarga terhadap diri saya tak saya hadapi dengan wajah marah, tapi dengan kesabaran dan perilaku yang santun. Ini sudah konsekuensi dari keputusan yang saya ambil,” ungkap anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ini.

Ujian demi ujian terus dilaluinya dengan penuh kesabaran. Pucuk dicinta ulam pun tiba setelah setahun keislamannya, sang ibu, Liem Soen Nio, kemudian menyusul anaknya memeluk Islam di tahun 1985. Sang ibu di bawah bimbingan KH Abdullah bin Nuh mengucapkan syahadat di Bogor. Kemudian berganti nama menjadi Sunniah Badra Halim.

Pria yang gemar membaca buku Buya Hamka dan Yusuf Qradawi ini kemudian memtuskan untuk mondok di Pesantren an-Nidzom Sukabumi di tahun 1985, di bawah pimpinan K.H.Abdullah Muchtar. Di sinilah, Matan Alfiyah Ibn Malik yang terdiri atas seribu baris dalam bahasa Arab berhasil dihafalnya.

Memilih Ekonomi
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren an-Nidzom, Syafii Antonio melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, namun kemudian pindah ke Institut Agama Islam Negeri, Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Itupun tak lama, kemudian Syafii Antonio melanjutkan ke University of Jordan (Yordania) untuk mengambil program S1 fakultas ekonomi. Setelah menyelesaikan S1 tahun 1990, ia kembali menyambung karir pendidikannya pada program S2 di international Islamic University (IIU), Malaysia, khusus mempelajari ekonomi Islam.

Setelah merampungkan S2 tahun 1992, Syafii langsung berkecimpung di dunia perbankan syariah. Ia bertemu delegasi Indonesia yang akan mendirikan bank syariah setelah melihat contoh bank syariah di Malaysia. Kembali ke Indonesia, ia bergabung dengan Bank Muamalat

Dua tahun setelah itu, ia mendirikan Asuransi Takaful, lalu berturut-turut Reksa Dana Syariah. Empat tahun membesarkan Bank Muamalat, ia mundur dan mendirikan Tazkia Group yang memiliki beberapa unit usaha dengan mengembangkan bisnis di bidang ekonomi syariah. Untuk memantapkan ilmu ekonominya, ia kemudian mengikuti program doctoral, di University of Melbourne, Australia.


Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 35                                                       

Senin, 10 Januari 2011

Koko Liem Diusir sang Ayah Setelah Memilih Islam

Mayoritas umat Islam yang mengenyam pendidikan agama Islam tentu pernah mendengar kisah para nabi. Kisah yang biasa disampaikan waktu kecil itu masih mengenang di benak umat Islam setelah dewasa, namun tak banyak orang yang mengambil hikmah dari kisah tersebut.

Berbeda dengan Liem Hai Thai atau yang biasa disapa Koko Liem, kisah para nabi baginya memiliki peran penting dalam menemukan Islam yang realistis.Koko Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya Liem Guan Ho, seorang suhu Budha terkenal di wilayah Dumai Riau. Beberapa klenteng di wilayah Riau telah menjadi langganan ceramahnya.

Koko Liem memulai pendidikannya di sekolah umum SDN 014 Dumai Barat Riau. Sekolah umum dipilih orangtuanya dikarenakan pemerintahan Soeharto waktu itu melarang pendirian sekolah Mandarin. Sekolah yang dihuni mayoritas umat Islam ini mau tidak mau membawa Koko liem berkenalan dengan Islam.

Rasa penasaran tumbuh dalam hatinya. Setiap pelajaran agama Islam dimulai, ia bersikukuh tidak mau keluar dari ruang sekolah. Dengan khusyuk, anak yang lahir di Dumai, 17 Januari 1979 mendengarkan satu persatu kisah nabi yang disampaikan guru agama.

Kebiasaan ini terus berlanjut hingga Koko Liem melanjutkan pendidikannya ke SMPN Syaikh Umar Dumai Barat Riau. Namun sebagai anak dari suhu Budha, setiap hari minggu Koko Liem diwajibkan oleh orangtuanya untuk berangkat ke sekolah agama Budha di Wihara Dumai Pekanbaru Riau. Diantara dua pendidikan ini ajaran Islamlah yang menurutnya sesuai dengan logika. Ibadah dalam Islam menggunakan satu bahasa berbeda dengan Budha yang menggunakan beragam bahasa sesuai dengan sukunya masing-masing.

Ketertarikan Koko Liem terhadap Islam memuncak saat Hj. Saniati guru agama Islam menceritakan kisah Nabi Ibrahim. Ibrahim dilahirkan bukan dari orangtua yang mengenal Allah. Ayahnya yang bernama Adzar seorang penyembah sekaligus pembuat patung yang dijadikan Tuhan. Akan tetapi Allah memberikan hidayah akal kepada Ibrahim. Secara logika patung yang terbuat dari batu itu tidak mungkin bisa berbicara apalagi menolong hambanya sampai akhirnya Ibrahim menemukan Islam sebagai pegangan hidupnya.

Kondisi ini sama persis dengan apa yang dialami oleh Koko Liem anak dari ayah sang penyembah patung Tao Pekong. “Disinilah akal saya berperan. Disamping Allah memberikan hidayah akal, Ia juga memberi hidayah agama” ujar peran Kyai di Sinetron Kiamat Sudah Dekat 3.

Maka pada 21 Juli 1994 ia pergi diam-diam ke Duri Riau yang jaraknya 90 km dari Dumai tempat tinggalnya. 
Tepat di Masjid Raya Pasar Duri ia mengucapkan kalimat syahadat dihadapan H. Arwan Mahiddin dengan disaksikan oleh ribuan jamaah.

Dengan modal ilmu pengetahuan agama yang diajarkan disekolahnya ditambah dengan bimbingan dari teman-teman muslimnya, anak yang waktu itu masih menginjak kelas 2 SMP berusaha rutin melakukan ibadah salat lima waktu secara sembunyi-sembunyi di kamar atau di rumah temannya.

Suatu hari pemilik nama Islam Muhammad Utsman Anshori ini lupa mengunci pintu kamarnya, seusai Salat Isya tiba-tiba ayahnya masuk dan kaget melihat sajadah dihadapannya beserta pakaian muslim serta peci yang tidak sempat dilepas oleh Koko Liem. “Kamu masuk Islam apa tidak?” bentak ayahnya.

Dengan jujur ia membenarkan keislamannya. “Nggak mungkin saya nggak jujur, Islam mengajarkan itu” kenang lulusan S2  Konsentrasi Ilmu Tafsir, Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Selatan. Tak pelak lagi ia langsung diusir oleh ayahnya saat itu juga. Sementara sang ibu tercinta Laihwa hanya diam tidak berkutik melihat anaknya diusir oleh suaminya.

Kurang dua minggu dari keislamannya, Koko Liem dengan pakaian yang menempel di badan dan uang seratus ribu hasil tabungannya berjalan sendiri di kegelapan malam menyusuri sepanjang jalan Dumai yang ditumbuhi banyak pepohonan besar menuju Duri sejauh 90 km. Tidak ada tempat yang dituju saat itu karena ayahnya sudah menghubungi sanak keluarga di Riau untuk tidak menerima Koko Liem anak durhaka yang telah keluar dari agama Budha.

“Saya boleh tidak punya harta, saya boleh tidak punya orangtua tapi jangan sampai saya tidak punya Allah.” ujar finalis mimbar da'i di TPI. Musala demi musala ia singgahi sebagai tempat menginap sementara, sampai akhirnya dihari kedua pengembaraanya Koko Liem singgah di musala Utama Simpang Padang Duri Riau. Di tempat ini ia berkenalan dengan imam musala Ustadz Faisal sekaligus menjadi guru pertama yang mengajarkan banyak hal tentang Islam.

Musala tempat pemeran bintang iklan bersama Dedy Mizwar ini menginap suatu hari mengadakan peringatan hari besar umat Islam yang diisi oleh ustadz Ali Mukhsin pengasuh pondok pesantren Jabal Nur di Kandis Riau. Seusai acara para jamaah memperkenalkan Liem Hai Thai kepada ustadz Ali Mukhsin. Dengan kemurahan hati beliau bersedia mengangkat Koko Liem sebagai anaknya.

Koko Liem kembali menyambung pendidikannya yang terputus sejak kelas 2 SMP ke sekolah baru di kelas 3 Tsanawiyyah YLPI (Yayasan Lembaga Pendidikan Islam) Mutiara Duri Riau. Selama tiga minggu tinggal di ayah angkatnya, Koko Liem mencoba berkunjung ke rumah orangtuanya di jalan Tegalega bukit Datuk Dumai Riau.

Setiba di rumah orangtuanya Koko Liem kembali diusir oleh ayahnya. Namun tindakan ayahnya ini tidak menyurutkan nyali Koko Liem untuk terus menjalin silaturahim dengan orangtua. Tiga hari sekali Koko Liem rutin berkunjung ke rumah orangtuanya. “Kalau kamu diusir dari rumah itu masih mending, Rasul lahir di Makkah ia diusir dari negaranya, hijrah ke Madinah namun kemudian beliau jadi besar” ujar ustadz Ali Mukhsin menyemangati anak angkatnya.

Teringat dengan kisah Nabi Nuh yang disuruh oleh Allah membuat perahu. Sedangkan waktu itu di tempat nabi Nuh tidak ada pohon. Maka nabi Nuh terlebih dahulu menanam pohon. Setelah sekian lama menunggu akhirnya pohon tersebut ditebang dan dijadikan perahu. Waktu yang sangat panjang untuk memperjuangkan perintah Allah. Maka tidak heran jika usia nabi Nuh mencapai 960 tahun. Kisah ini menjadi prinsip suami dari Ima Ismawati. S.Thi ini untuk tetap memperjuangkan silaturahim dengan orangtua. Ia yakin suatu waktu usahanya akan berhasil.

Tiga bulan kemudian keinginan pengasuh Pondok Pesantren Pembinaan Muallaf Shengho Budaya Sentul Selatan Jawa Barat ini terwujud. Ayahnya menerima dengan ikhlas keislaman anaknya. Tapi masalah baru kemudian muncul Bibi dari ayahnya Ako Kotiu memanggil Koko Liem ke rumahnya dan memaksa untuk kembali menyembah Tao Pekong dengan iming-iming uang tiga juta rupiah.

“Bi, jangankan uang tiga juta! andaikan rumah bibi yang besar ini bisa bibi jadikan emas kemudian diberikan kepada saya untuk mengajak saya masuk Budha maka demi Tuhan saya tidak akan meninggalkan agama Islam” tegas penceramah yang pernah mengisi di berbagai televisi dan radio nasional ini sambil meninggalkan bibinya yang terdiam seribu bahasa dan uang yang pada waktu itu jumlahnya sangat besar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tsanawiyyah YLPI Riau tahun 1995, Koko Liem merantau ke Banten Jawa Barat untuk mendalami Islam di Pondok Pesantren Daar el Qolam Gintung. Di pondok ini pula Koko Liem berkenalan dengan ustadz Jefry sahabat dekatnya. Selanjutnya pada tahun 1999 Koko Liem merantau kembali.

Kali ini Jawa Timur menjadi tempat pilihannya yaitu di Pondok Pesantren Tahfizhul Quran Raudhatul Muchsinin. Dengan waktu hanya 1 tahun 8 bulan Koko Liem berhasil menghafal Alquran 30 juz. Bekal dari hafalan ini memberi kesempatan Koko Liem untuk menerima beasiswa S1 dan S2 di Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ)  Jakarta Selatan

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 34

Minggu, 02 Januari 2011

Balada Muhammad Mu’min Mencari Tuhan


Siapa Tuhan, Tuhan Dimana, Tuhan setinggi apa? Siapa aku? kenapa aku diciptakan? kenapa harus ada yang jahat dan yang baik?

Muhammad Mu’min. Sosok tinggi besar, lagi tegap ini, merupakan momok paling menakutkan bagi para misionaris, khususnya di Jawa Barat (Jabar). Sepak terjangnya dalam membabat habis Gereja liar, serta mengikis banyak tempat kemunkaran mulai dari tempat miras, judi dan prostitusi, membuat banyak kalangan, termasuk jajaran kepolisian di Jabar, segan pada sosok yang satu ini.

Namun, tak banyak orang tahu jika Mu’min adalah seorang muallaf yang sempat kehausan mencari Tuhan yang hilang. Kisah itu bermula 36 tahun silam, saat usianya menginjak tahun kedelapan.

Saat itu Mu’min kecil yang diberi nama Hanibal, sebagai rasa kagum ayahnya terhadap pahlawan Muslim Cartago ini, sering mendengar bahwa yang menciptakan matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan dan manusia adalah Tuhan. Maka ia bertanya pada ayahnya, Sahal, “Pak, Tuhan itu setinggi apa?” Sang ayah yang beragama Kristen malah terpaku diam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan polos dari anaknya. Sikap ayah ini membuat Mu’min kecewa.

Suatu hari, saat Hanibal berjalan di trotoar Kosambi, Bandung, tiba-tiba pandangannya tertarik pada sebuah buku yang dijual di emperan jalan. Buku tersebut mengisahkan dua orang anak yang baik dan nakal. Anak yang baik ini sering melakukan sembahyang sedangkan anak nakal banyak melawan kehendak orang tua dan tidak mau sembahyang.

Kedua anak ini kemudian tumbuh besar. Anak yang baik menikah dengan seorang wanita berjilbab kemudian membangun rumah ibadah dan banyak membantu orang kesusahan. Sedangkan anak yang nakal tumbuh dewasa dengan kriminalitas, suka mabuk, berzina dan durhaka pada orang tua.

Keduanya kemudian meninggal. Anak yang baik dimasukan ke dalam surga sebaliknya anak yang durhaka dimasukan ke dalam neraka. Di dalam surga anak yang baik mendapatkan pahala dari apa yang ia lakukan di dunia, sebaliknya anak yang durhaka disiksa akibat zina, mabuk dan melawan orang tua.

Kisah ini akhirnya masuk di dalam memori anak yang sekolah di SD Katolik Dwisakti ini. Ia berpikir “Apakah hidup saya begini setelah mati? Apakah saya masuk surga atau neraka?” Saat itu ia tidak menyadari bahwa yang dibacanya adalah buku cerita Islam. Ia hanya berangan bahwa kelak ingin seperti si anak baik yang menikah dengan wanita berjilbab, membangun tempat ibadah dan masuk surga.

Menginjak usia 11 tahun, Hanibal baru mengetahui bahwa ada beberapa agama yang terdapat di Indonesia. Ia pun baru menyadari bahwa dirinya penganut agama Kristen. Saban Minggu Mu’min rajin berangkat ke Gereja. Sabtunya, ia tidak ketinggalan mengikuti Perseketuan, kegiatan ektra sekolah yang diadakan di ruangan khusus. Sedangkan di rumah ia sangat rajin membaca kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kegelisahan Mu’min
Bosan hinggap di benak dia, setiap kali mendengar ceramah pendeta. Materi yang disampaikan hanya berkutat seputar mukjizat Yesus yang bisa membangkitkan orang mati dan bisa membuat orang buta dapat melihat kembali. Ia juga mulai berpikir kenapa harus ada orang yang baik dan jahat serta kaya dan miskin. Hal ini membuat hatinya menjadi gelisah.
           
Satu waktu, ia bertengkar hebat dengan ibundanya, Yuliana. Pasalnya Hanibal memisahkan piring karena tidak mau makan daging babi yang dimasak sang ibu. Alasannya hal itu bertentangan dengan perjanjian lama yang mengharamkan babi. “Itukan Perjanjian Lama, sekarang itu Perjanjian baru! yang tidak makan babi itu orang Islam!” Kenang Komandan BAP (Badan Anti Pendzoliman) Forum Ulama Umat Indonesia ini, mengutip jawaban ibunya.

Beranjak remaja, kegelisahan Hanibal semakin menjadi-jadi. Di saat usianya menginjak 15 tahun ia sampai pada kesimpulan semua agama adalah benar. Buku-buku agama, sastra, filsafat dan politik pernah dilahap, sekedar mencari tahu agama apakah yang paling benar.

Setahun berlalu, setelah banyak membaca buku tentang Budha dan Tao akhirnya Hanibal tertarik pada ajaran Budha. “Saya belajar wedanya, sampai saya hanya makan nasi dengan garam saja kemudian belajar meditasi secara rahasia supaya orang tua tidak tau,” ungkap Kepala Bagian kemahasiswaan Universitas Sangga Buana (USB), Bandung ini, akibat doktrin Budha yang dipelajarinya waktu itu.

Ini pun tak membuat kegelisahan hatinya terobati. “Siapa Tuhan, Tuhan Dimana, Tuhan setinggi apa? Siapa aku? kenapa aku diciptakan? kenapa harus ada yang jahat dan yang baik? Pertanyaan ini selalu saja muncul di benaknya  waktu itu. Sehingga saat ia melakukan dosa, merasa dirinya menjadi orang yang sangat kotor.

Kegelisahan Hanibal memuncak. Ia berteriak dalam doanya, “Biarkan aku masuk neraka asalkan semua manusia masuk surga! Tuhan mulai hari ini aku Atheis!”  Setelah itu, ia menjadi pendiam, dan kerap mengurung diri bertemankan buku-buku filsafat.

Saat menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas di SMA 6 Pasirkaliki, Bandung, ia mulai mengenal murid-murid dari beragam agama dan strata sosial.  Banyak diantara murid-murid miskin di sekolahnya yang beragama Islam. karena selama sekolah SD dan SMP mayoritas teman sekolahnya berasal dari keluarga berada. Hanibal terenyuh menyaksikan kondisi para siswa yang terus berjuang, meskipun dengan kondisi seadanya.

Seperti lazimnya sekolah umum, ketika pelajaran agama dimulai para siswa mengikuti pelajaran sesuai kepercayaannya masing-masing. Hanibal yang kadung mendeklarasikan diri sebagai Atheis, tetap mengikuti pelajaran agama Kristen. Tanpa diduga, saat ibu guru agama sekaligus pendeta itu bertanya, “siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan” Hanibal hanya diam seribu bahasa. Sementara, semua murid di sekeliling dia, mengangkat tangan.

Pertanyaan itu pun diulang berkali-kali oleh pendeta sembari menjelaskan tentang kekuasaan Yesus dengan harapan Hanibal mau mengangkat tangan. Namun ia bersikukuh dengan pendiriannya. “Kenapa kamu ngga angkat tangan?” tanya pendeta keheranan.  “Yesus bukan Tuhan, dia hanya manusia yang mengaku Nabi,” Jawab Hanibal tegas sambil berdiri dan langsung keluar meninggalkan kelas. “Saya tidak peduli nilai rapot saya agamanya merah,” kenang ayah dua anak ini sambil tertawa.

Kejadian ini kemudian berulang ditempat yang berbeda. Saat Hanibal mengikuti kegiatan Persekutuan, seorang pendeta laki-laki di sela-sela ceramahnya mengatakan “Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan angkat tangan?” Semua peserta Persekutuan mengangkat tangan kecuali Hanibal. Pertanyaan yang  diulang-ulang sampai setengah jam, hanya untuk menunggu kepastian Hanibal sungguh sia-sia. Ia tetap konsisten dengan sikapnya sampai pergi meninggalkan ruangan.

Tidak hanya di sekolah, ternyata sikap nyeleneh Mu’min ditunjukan sewaktu ia menghadiri ceramah umum oleh pendeta terkenal, Yusuf Romi, di GKP Pasirkaliki, Bandung. Acara yang dihadiri oleh ribuan jemaat itu menampilkan seseorang yang lumpuh. Dengan doa Pendeta Yusuf Romi, “Sembuh kamu atas nama kekuatan Yesus” orang lumpuh yang sedang duduk di kursi roda itu langsung berdiri, dan sontak ribuan pasang mata terpana.

Siapa yang mengaku Yesus sebagai Tuhan, semuanya berdiri” ucap pendeta mengakhiri aksinya. Serentak semua jemaat berdiri, dan lagi-lagi Hanibal hanya duduk terdiam. Sikapnya itu diketahui setelah panitia acara memeriksa setiap jemaat. Pendeta itu kemudian kemudian kembali menjelaskan tentang keagungan Yesus dengan harapan Hanibal dapat berdiri. Akhirnya Ia pun berdiri. Namun, bukan untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan, melainkan pergi meninggalkan acara.

Sampai suatu waktu
Kegelisahan, kemarahan dan kekecewaan bertumpuk dalam benak. Pencariannya menemukan Tuhan, ternyata masih belum mendapat titik terang. Sampai satu waktu, saat usia 21 tahun, ia bermimpi. Dalam tidurnya ia didatangi Yesus. Sosok yang dituhankan oleh umat Kristen itu mengambil tangan Hanibal, lantas membawanya ke sebuah cahaya yang terlihat agung. “Assalamualaikum,” sapa Yesus. “Wa’alikum salam,” Jawab cahaya itu. 

Yesus kemudian mengangkat suara “Ya Muhammad saya serahkan anak ini ke dalam Islam untuk dibina dan dikembangkan dalam Islam. Kasihan anak ini, sepanjang hidupnya dihabiskan hanya untuk mencari Tuhan.” kemudian di dalam mimpi tersebut Hanibal akhirnya dibawa ke dalam cahaya agung tersebut.

Keesokan harinya, tiba-tiba tekad Hanibal untuk memeluk Islam begitu menggebu. Ia langsung mendatangi teman SMA-nya yang beragama Islam, Evi Isviantini. Melalui Evi ia dibawa menghadap ayahnya, Ustadz Ahim, yang juga tokoh Persatuan Islam (PERSIS) di jalan Jurang Gang Namapura, Bandung. Dari Ustadz ini kemudian Hanibal mengikrarkan syahadat di Kantor Urusan Agama (KUA) Cipaganti, Bandung, Agustus tahun 1986 atau 18 Dzulhijjah 1407. Untuk memantapkan ke-Islamannya, nama Hanibal pun berganti menjadi Muhammad Mu’min, dan tak lama setelahnya ia kemudian dikhitan.

Saat orang tua  mengetahui keislaman Mu’min, sang ayah sangat murka. Namun pada akhirnya merelakan keislaman dia. Sang ibu pun hanya pasrah. “Ya dari pada gila,” ungkap ibunya saat itu, karena melihat Mu’min sering menyendiri dan terlihat depresi.

Muhammad Mu’min akhirnya menemukan Tuhan yang hilang. 24 Agustus 1986, Mu’min lantas mempersunting teman yang sangat berjasa dalam proses keislamannya, Evi Isvianti. Mereka pun sementara tinggal di kediaman utadz Ahim, ayahanda Evi. Di rumah ini pula, pria yang diamanahi sebagai ketua AGAP (Aliansi Gerakan Anti pemurtadan) ini banyak belajar shalat, surat Al-Fatihah dan Iqra, dari ustadz Ahim, guru sekaligus bapak mertuanya.

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 33

Senin, 27 Desember 2010

Kisah Muallaf "Papah, Mamah, Rio Tunggu di Pintu Surga"



Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang 'disulap' menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.
Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.

“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal.

Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.
Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah.

Rio Sedang bersepeda
Muhammad Yasin
Dierbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

Kamis, 23 Desember 2010

Di Balik Kesuksesan Gonzales

Christian Gonzales, pemain cemerlang bertabur bintang dengan gelar peraih top skor 4 tahun berturut-turut merupakan sosok yang tak asing lagi di dunia persepakbolaan tanah air Indonesia. Namun siapa menyangka, dibalik kesuksesan Gonzales terdapat suatu kekuatan yang menyemangati hidupnya, terlebih setelah ia menjadi Muallaf, kekuatan itu tidak lain adalah kekuatan doa.

Gonzales atau yang memiliki nama lengkap Christian Gerard Alfaro Gonzales dilahirkan di Monteveido, Uruguay pada tanggal 30 Agustus 1976 dari seorang ayah angkatan militer bernama Eduardo Alfaro dan ibu seorang suster di rumah sakit Montevideo bernama Meriam Gonzales.

Kedua pasangan ini, khususnya sang ibu adalah penganut agama Katolik yang taat. Gambar Bunda Maria selalu menempel di setiap sudut ruangan rumah dan tempat kerjanya. Bahkan saking fanatiknya, gambar Bunda Maria kerap dibawa kemana-mana oleh ibunya.

Ketaatan dari sang ibu nampaknya berpengaruh pada diri Gonzales, anak ketiga dari enam saudara ini kerap pergi ke Gereja dua sampai tiga kali dalam seminggu, oleh karena itu tidak heran jika Gonzales dikenal sebagai anak yang taat dalam beragama.

Perkenalannya dengan dunia sepak bola, dimulai ketika Gonzales berusia 6 tahun. Semula ayahnya berharap Gonzales dapat meneruskan jejaknya menjadi seorang militer, namun karena kegilaannya terhadap dunia sepak bola, harapan itu tak terpenuhi.

Menginjak usia ke 18 tahun, pria yang menyukai warna hitam ini bertemu dengan seorang wanita beragama Islam asal Indonesia, Eva Nurida Siregar di Cile, Amerika latin pada tahun 1994. Saat itu Eva menekuni salsa di sekolah Vinadelmar. Lama berkenalan akhirnya Gonzales menyimpan hati pada Eva. Dan tak lama kemudian Cintanya berbalas.

Sebagai penganut Katolik, lelaki yang dikenal pendiam ini sama sekali tidak mengenal agama Islam yang dianut pujaan hatinya, begitu pun dengan sang ibu. “Sebelum ketemu istri, saya sama sekali tidak tahu Islam” ungkap pria penggemar Rivaldo. Maka peran Eva pun menjadi berat, ia berulang kali menjelaskan tentang ajaran Islam yang dianutnya.

Usaha wanita kelahiran Pekanbaru ini akhirnya berhasil. Eva Nurida Siregar yang beragama Islam dan Christian Gerard Alfaro Gonzales yang beragama Katolik menikah dan hidup bersama di Uruguay pada tahun 1995.

Karir pria yang memiliki tinggi badan 177 Cm ini di dalam persepak bolaan terus berkembang, mulai dari Klub Penarol Uruguay (1988-1991), South Amerika (1994-1995), Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002) pernah dijajaikinya.
Perkembangan karir ini sebetulnya tidak lepas dari peran Eva. Setiap kali pemain sepak bola yang dijuluku elloco (si gila) ini mau berangkat bertanding, wanita yang biasa dipanggil Amor oleh Gonzales ini selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam berdoa terkadang Eva sengaja mengeraskan suara dengan harapan Gonzales dapat mendengarnya.

Kebiasaan inilah yang membuat Gonzales mulai tertarik dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak akan beranjak pergi sebelum kekasihnya selesai berdoa. Karena dari doa inilah Gonzales menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak didapatkan dari agama yang dianut sebelumnya. Doa ini pula yang membuat dirinya semakin bersemangat dan optimis setiap kali bertanding di lapangan hijau.

Tidak hanya itu, Gonzales terkadang memperhatikan kebiasaan Eva yang selalu mengucapkan bismilah ketika mau melakukan sesuatu atau mengucapkan istighfar ketika dihadapkan pada konflik, serta ucapan lainnya yang menjadi doa umat Islam.

Pada tahun 2002 pria yang menyukai aktor Tom Cruise ini menerima sebuah tawaran dari agen sepak bola untuk bermain di Indonesia. Ia pun tertarik dan akhirnya menerima tawaran tersebut dengan merumput di Indonesia bersama PSM Makassar pada tahun 2003.

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, selama ini Gonzales hanya mengenal Islam melalui istrinya dan ini dirasa tidak cukup. Sekarang pemain yang doyan sup ayam ini bisa langsung menemukan Islam dari para penganutnya.

“Saya tidak pernah memaksa Gonzales masuk Islam”. Ungkap Eva “Kadang-kadang setelah saya baca buku tentang ajaran Islam, saya simpan buku itu di meja dan Christian diam-diam membacanya, maka dia kemudian tau bagaimana sikap suami terhadap istrinya dalam Islam dan bagaimana sikap istri terhadap suaminya” Lanjutnya mengenang saat pertama kali tinggal di Indonesia bersama Gonzales.

Maka tepat pada tanggal 9 Oktober 2003 Christian Gonzales memutuskan untuk masuk Islam atas dasar kemauan sendiri dengan disaksikan oleh ustadz Mustafa di Mesjid Agung al Akbar Surabaya. Christian Gerard Alfaro Gonzales kemudian diberi nama Mustafa Habibi. Nama Mustafa diambil dari guru spiritualnya, ustadz Mustafa sedangkan Habibi (cintaku) diambil karena rasa cinta sang istri amat besar kepada Christian Gonzales.

Islam memiliki kesan tersendiri bagi Gonzales “Karena di dalam Islam setiap ada sesuatu ada ucapan doanya seperti ketika masuk rumah mengucapkan assalamualaikum, ketika mau melakukan sesuatu diawali dengan basmalah, dan setiap melangkah dalam Islam selalu aja ada bacaan. Dan ini menjadi hati saya merasa tenang” Ungkap Eva mengutip ucapan Gonzales.

keislaman pria penggemar Manchester United ini kemudian dilegalkan di Kediri dengan Piagam muallaf dari Urusan agama setempat sekaligus melegalkan pernikahan antara Christian Gonzales dengan Eva Siregar.

Sang ibu, Meriam Gonzales saat dikabarkan keislaman anaknya, menerima dengan ikhlas agama yang dipilih anak tercintanya, ia hanya berharap anaknya meraih kesuksesan di masa depan. Namun untuk menjalin hubungan keluarga, Gonzales dan Eva setiap hari tidak ketinggalan menghubungi ibunya, hanya sekedar menanyakan kabar dari negara nun jauh di sana.

Seakan menemukan air di gurun sahara, begitulah kondisi pemain yang mencetak 33 gol untuk PSM Makassar saat itu. Dengan bimbingan Ustadz Mustafa, Gonzales mulai mengenal Islam lebih dalam. Selain itu Hj Fatimah, ulama terkenal asal Mojosari dan Hj. Nurhasanah turut menjadi guru spiritual Gonzales. Bahkan Majlis Ulama Gresik sendiri sampai mengangkat Gonzales beserta keluarganya sebagai anak angkat mereka.

Hj. Nurhasanah biasa dipanggil Bunda, selalu menyemangati Gonzales dengan nasehat untuk selalu berdoa. “Kamu harus kuat-kuat doa” kenang Eva menirukan ucapan Hj. Nurhasanah. Begitu pun Hj Fatimah, ustadzah yang membangun mesjid dengan nama Gonzali ini baik via telephone atau tatap muka selalu menyemangati Gonzales dengan doa sambil menangis.

Selama di Kediri, ayah empat anak ini bermain membela Persik Kediri dan tinggal di perumahan Taman Persada. Rumah ini menjadi awal kehidupan baru bagi Mustafa Habibi. Islam telah banyak merubah dirinya. Setiap tengah malam ia terbiasa membangunkan istrinya untuk shalat tahajud atau sekedar berdoa.

Setiap kali pertandingan akan digelar keesokan harinya, Eva sang istri selalu mengadakan pengajian yang dihadiri oleh ibu-ibu sekitar rumahnya dan diakhiri dengan pembacaan doa. Sementara pengajian berlangsung, Gonzales selalu memperhatikan pengajian dan duduk disamping Eva atau terkadang ia duduk di belakang ibu-ibu pengajian. Maka tidak heran jika Eva lupa tidak mempersiapkan pengajian orang yang pertama kali menegurnya adalah suaminya sendiri.
Namun Gonzales bukanlah manusia yang sempurna, sama seperti pemain lainnya dalam pertandingan sepak bola, konflik kadang tidak bisa dihindari. Tercatat pada tahun 2004, Gonzales pernah memiliki masalah dengan Abu Shaleh Pengurus Pengda PSSI Banten saat PSM Makassar menjamu Persikota Tanggerang. Tahun 2006, Gonzales bermasalah dengan Emanuel de Porras striker PSIS. Setahun kemudian Gonzales berurusan dengan wasit Rahmat Hidayat saat melawan Pelita Jaya Jawabarat dan pada tahun 2008 Gonzales berurusan dengan Erwinsyah Hasibuan bek dari PSMS.

Tentunya permaslahan ini berujung pada sanski yang dikeluarkan tim disiplin PSSI, mulai dari denda sampai larangan bermain. Sanksi ini bagi Gonzales merupakan ujian berat, dan pada saat yang sama guru-guru spiritual Gonzales selalu membingbing dan menyemangati Gonzales untuk tetap bangkit dan bersabar menerima cobaan. Terbukti, nasehat ini berhasil membawa Gonzales terus bangkit dan kembali berlaga untuk menciptakan gol di lapangan hijau.

Popularitas dan harta yang melimpah ruah tidak begitu mempengaruhi Gonzales, ia bukanlah tipe orang yang suka menghambur hamburkan uang. Bahkan ia akan sangat marah jika ada orang yang mengajaknya ke klub atau tempat hiburan malam dan tak segan Gonzales akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut.

Harta yang ia raih dari perjuangannya di persepakbolaan lebih suka ia berikan kepada anak yatim, fakir miskin dan ibu-ibu pengajian sebagai zakat dan shadaqah. Hal ini dilakukan karena Gonzales mengetahui kewajiban zakat yang ia baca dari buku-buku keislaman milik istrinya.

Sempat Gonzales beserta istrinya berkeinginan untuk menunaikan haji tahun 2008, namun Allah berkehendak lain uang yang di dapatkan dari peralihan top skor sebanyak 50 juta digunakan guna membiayai operasi istrinya untuk melahirkan anak keempat, Vanesa Siregar Gonzales .

Menyangkut kebiasaanya dalam pertandingan sepak bola, pemain yang rajin bersih-bersih rumah ini setiap kali berangkat bertanding selalu membawa tasbih di dalam tasnya dan beberapa buku doa sebagai perbekalan. Selain itu tidak seperti pemain muslim lainnya yang sujud syukur ketika menciptakan gol, bagi Gonzales bentuk rasa syukur ketika berhasil mencetak gol adalah dengan mengangkat telunjuknya ke mulut seraya menengadah ke langit, hal ini merupakan isyarat rasa syukur terhadap Allah yang Maha Esa.

Bahkan pada saat membela tim Persib Bandung, pria berkalung ayat kursi ini menggunakan nomor punggung 99. Nomor ini dipilih bukan tanpa alasan, 99 merupakan isyarat asma Allah yang dikenal dengan asmaul husna.

Terkait harapannya ke depan, Gonzales sangat perhatian dengan keluarga “Saya berharap anak-anak menjadi anak yang shaleh dan sehat wal afiyat, semoga Allah melindungi, supaya ketika masalah datang ya cepat hilang” demikian keinginan Gonzales.
Muhammad Yasin

Biodata
Nama Lengkap : Christian Genard Alfaro Gonzales
Istri : Eva Siregar
Anak : Amanda Gonzales ()
Michael Gonzales ()
Fernando`Alvaro ()
Vanesa Siregar Gonzales ()
Karir Klub : 1988-1991 Penarol (Uruguay)
1994-1995 South America (Uruguay)
1995-1998 Huracan de Carientes (Argentina)
1998-2000 South America (Uruguay)
2000-2001 Sport Moldonado (Uruguay)
2001-2002 Campo Mayor (Portugal)
2003-2004 PSM Makassar
2005-2008 Persik Kediri
2009 Persib Bandung
Prestasi : Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2005
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2006
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2007
Top Scorer LSI (Persib)2009

Muhammad Yasin

Selasa, 21 Desember 2010

Vivi Novianti, Memilih Islam sebagai Jalan Keselamatan

Suasana sejuk dan tenang menghiasi ruangan yang terletak di bilangan Tubagus Ismail, Utara Bandung. Di samping kanan dan depan ruangan yang ditata rapih dengan beragam tanaman itu, tampak terlihat deretan perbukitan Bandung yang elok. Saban minggu pagi di tempat ini biasa diadakan ceramah ke-Islaman.

Vivi Novianti, salah seorang jama’ah yang akrab disapa Vivi, tampak khusyuk menikmati tausyah yang keluar dari pencermah. Perempuan kelahiran Bandung 10 November 1976 ini, adalah salah seorang mualaf. Pilihan hidupnya untuk memeluk Islam memiliki rangkaian kisah yang menarik.

Kedua orang tua Vivi berlainan keyakinan. Ayahnya, Abdul Syukur, keturunan India beragama Islam. Teng Tiun Nio, sang Ibu, berdarah Cina Tionghoa yang beragama Kristen.

Saat menikah, Teng Tiun Nio hidup di tengah keluarga Kristen yang taat. Keputusan dia untuk memeluk Islam dikarenakan calon suaminya, Abdul Syukur beragama Islam. Namun dalam keseharian, keduanya tak menampakkan jati diri sebagai seorang Muslim. Shalat, puasa serta ibadah wajib lainnya kerap ditinggalkan.

Karena lingkungan keluarga pihak ibu yang taat beragama, suatu hari saat baru berusia 4 tahun, Vivi diajak oleh ibunya ke Gereja GKI Pasir Koja. Bahkan sang Ibu memilih SD Kristen Trimulya Kebon Jati, sebagai tempat pendidikan dasar Vivi.

Pengaruh dari keluarga ibunya membawa Vivi semakin rajin pergi ke Gereja saban Minggu. Peran bapak sebagai seorang Muslim yang seharusnya bisa melarang Vivi dan ibunya pergi ke Gereja, tampak kurang begitu berpengaruh dibandingkan dengan keluarga dari pihak ibu. Begitu pun ketika vivi dan sekeluarga pindah rumah ke jalan Nyengseret, Bandung tahun 1998, aktifitas ibadahnya terus berlangsung di Gereja Rehobot, tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka.

Tahun 1999, setelah Vivi menyelesaikan sekolahnya di SMA 18 Kopo, Bandung, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan di LPKI (Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia), Jakarta. Di kampus, selain kuliah, Vivi malah ditawari pekerjaan sebagai Marketing di salah satu perusahaan property di sana. Kesempatan yang langka ini langsung diambilnya. Maka pantas jika krisis ekonomi saat itu, tak terlalu berdampak pada Vivi yang telah memiliki pekerjaan tetap.

Anugerah rejeki yang melimpah, membuatnya semakin bersyukur. Sesekali Vivi menangis terharu saat mendengar kidung pujian yang dilantunkan di Gereja Pantekosta, tempat dia rutin beribadah di Jakarta.

Tahun 2001, bentuk syukurnya itu Vivi wujudkan dengan melakukan ritual pembaptisan, dengan cara dimandikan di Gereja Pantekosta, Jakarta. Sang ibu sendiri yang menyaksikan langsung ritual peneguhan jati diri sebagai seorang penganut Kristen ini.

Setahun berlalu, tahun 2002. Karena kesibukannya, Vivi memutuskan untuk pulang ke Bandung dan tidak melanjutkan kuliah. Di Bandung, Vivi ditawari pekerjaan yang menjanjikan penghasilan lebih besar dibandingkan pekerjaan dia sebelumnya. Menjadi distributor sparepart motor se-Jawa Barat.

Mulanya pekerjaan baru ini berjalan lancar. Namun tak lama kemudian, Vivi mengalami peristiwa yang cukup menggoncang batinnya. Aksi penipuan yang dilakukan oleh seseorang membuat usaha Vivi mengalami kerugian cukup besar.

Suatu malam Vivi menangis tersedu. Bingung, tak tahu harus berkata apa pada atasannya yang telah mempercayai dia sebagai distributor. Air mata terus mengalir hingga dia tertidur.

Dalam tidurnya, Vivi bermimpi. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak seseorang disamping telinganya. “Jangan! Dia bukan Tuhan kamu,” teriak seorang lagi dari telinga sebelahnya. Teriakan ini berlangsung lama, hingga Vivi terhenyak dan bangun, lalu spontan mengucap Allahu Akbar.

Pengalaman ini membekas lama dalam benak Vivi. Sekali dua, ia sempatkan untuk melihat tayangan ceramah Aa Gym di televisi. Ceramah yang kerap diakhiri tangisan Jama’ah saat muhasabah ini mulai mengusik batinnya.

Perasaan Vivi terhanyut, lalu gelisah. Satu persatu buku-buku bertema ke-Islaman mulai ia lahap. Namun, ketenangan tak kunjung Vivi dapatkan. Sampai setahun kemudian, dia kembali mengalami mimpi yang nyaris sama dengan sebelumnya.

Vivi tak percaya. Mungkinkah mimpi itu adalah sebuah petunjuk?
Baru, tahun 2006, Vivi Novianti akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Setelah melalui pencarian yang cukup panjang, Vivi yakin bahwa Islam adalah satu-satunya jalan bagi keselamatan hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Vivi bersyahadat di rumah temannya yang beragama Islam, dengan disaksikan oleh sang Ibu, Teng Tiun Nio.

Untuk mempelajari Islam lebih dalam, selain melalap beragam literatur ke-Islaman, kini Vivi juga bergabung sebagai Jama’ah di Majelis Taklim Yayasan Ukhuwah Mualaf Indonesia (YUMI), Bandung. Bahkan aktif sebagai salah seorang pengurus YUMI.

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah Edisi 31

Sabtu, 09 Oktober 2010

Ahmad Sumyanto Mendapat Hidayah dari Mimpi

Di dalam mimpi itu saya kehujanan kemudian lari ke dalam mesjid dan melihat disana banyak orang sedang berdzikir

Kemewahan tidak menjadi tujuan hidup bagi semua orang, hal ini sangat dirasakan oleh Bpk. Ahmad Sumyanto salah satu muallaf yang kini sibuk membantu pengurusan mesjid dan majlis ta’lim Nurhidayah di daerah Subang Jawabarat.

Beliau lahir di Jawa Tengah pada Tahun 1955 dengan nama Naswan dari ayah yang sebelum menikah masih beragama Kristen Katolik sedangkan ibunya beragama Islam. Ketika beliau lahir ayahnya sudah meninggal dunia dan kemudian beliau dibawa ke Jakarta oleh Nadiman, kakak ayahnya yang beragama Kristen Katolik ke Jakarta. Disana beliau tumbuh besar sebagai seorang penganut Kristen Katolik.

Di Jakarta beliau menikah dan memiliki tiga orang anak. Usahanya yang maju membuat beliau memiliki banyak rumah yang berada di Karawang, Bekasi dan Bandung. Setelah beliau memiliki tiga orang anak, tidak lama kemudian istrinya meninggal.

Suatu saat belia bermimpi. di dalam mimpi itu beliau kehujanan kemudian lari ke dalam mesjid dan melihat disana ada banyak orang sedang berdzikir. Keesokan harinya setelah bangun beliau meninggalkan rumah menuju Bogor. Di sana beliau mengikrarkan diri memeluk agama Islam di mesjid Al ikhwan dengan disaksikan oleh K.H. Sholeh. Dengan pengikraran ini beliau mengganti nama Naswan menjadi Ahmad Sumyanto.

Setelah memeluk islam Bpk Sumyanto tidak ingin pulang ke rumahnya yang di Karawang. Dengan uang seadanya beliau menuju ke station cikampek Karawang. Di station ini beliau melihat seorang ibu yang duduk termenung dan kelihatannya sedang mengalami masalah berat. Bpk sumyanto pun menanyakan permasalahan yang sedang dialami oleh ibu tersebut. Ibu yang bernama siti Fatimah ini adalah seorang janda yang memiliki tiga orang anak. Ia menceritakan permasalahannya bahwa ia sedang bangkrut setelah tokonya yang di Cilamaya Karawang mengalami kerugian 100.000.000. Ibu yang telah menunaikan haji ini kemudian melepaskan beban permasalahannya dengan keluar rumah tanpa ada arah tujuan.

Namun setelah ibu H. Siti Fatimah mendengar cerita bapak Sumyanto yang baru masuk Islam hatinya menjadi iba dan bertekad memberikan pemahaman Islamnya kepada Bapak. Takdirpun menentukan kedua orang ini menikah dan tidak terbersit keinginan untuk pulang ke rumahnya masing-masing.

Setelah menikah kedua pasangan ini berpindah-pindah tempat tinggal dari Bogor ke Jakarta, Bekasi sampai ke Karawang. Dari satu rumah teman ke rumah yang lainnya. Mereka juga sempat bertemu dengan ustadz Arifin Ilham. Dengan bekal seadanya hasil dari para dermawan kedua pasangan ini tetap tidak mau pulang ke rumah mereka masing-masing.

Mereka juga sempat tinggal distation cikampek kemudian pindah ke station lainnya. Setiap malam Ibu H. Fatimah selalu mengajarkan suaminya baca tulis al Qur’an dan beliau tak hentinya bermunajat kepada Allah SWT. Untuk memberikan ketabahan terhadap dirinya dan suaminya dalam menghadapi permasalahan ini. Bahkan setiap kali mendengar azan mereka lari-lari di station untuk memenuhi panggilan Allah SWT.

Tak lama kemudian bpk. Sumyanto bertemu dengan seorang dermawan dari petinggi kepolisian di daerah Bandung yang memberikan tempat tinggal di komplek Jabong Indah I Rt 41 rw 06 Jalan cagak kab Subang. Disinilah aktiftis sosialnya untuk kepentingan dakwah Islam mulai dibangun, Rizki pun berdatangan. Kadang-kadang ada yang memberikan uang sejumlah 20 sampai 30 juta lewat rekeningnya.

Setiap rizki yang diberikan dari Allah SWT. mereka selalu menyalurkannya melalui aktifitas social keislaman, baik itu pengajian ataupun pembangunan mesjid. Bpk Ahmad Sumyanto sendiri sekarang sedang mendirikan Majlis Ta’lim dan mesjid di kompleknya tersebut. Mesjid dan Majlis ta’lim ini diberinama Nur Hidayah. Nama ini erat kaitannya dengan pengalaman hidup Bpk. Ahmad sumyanto yang baru dua tahun ini memeluk Islam.

Pembangunan ini menelan biaya 120 juta. Sedangkan biaya yang terkumpul baru 20 juta. Beliau sendiri berharap ada bantuan dari para dermawan untuk memberikan kemudahan dalam mendirikan bangunan ini.

Muhammad Yasin