Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Kamis, 13 Januari 2011

Sinetron, Prahara Rupa Realitas Kedua

”Realitas yang dibentuk didesain sedemikian rupa. Sinetron, termasuk film, bisa merumuskan realitas imajinatif. Realitas kedua yang dibentuk, didesain secara khusus karena ingin menggiring realitas yang nyata menjadi realitas yang diinginkan,”

Berselancar di dunia maya, Alhikmah menemukan sebuah esai menarik di situs www.old.rumahfilm.org. Dalam esai tersebut, sang penulis sekaligus pengamat perfilman, Eric Sasono,  berujar, bahwa sinema dan budaya pop saat ini sedang menjadi sebuah ajang pergulatan baru bagi umat Islam di Indonesia.

“Saya sempat mengomentari kesuksesan AAC (Ayat-Ayat Cinta_red) adalah karena keberhasilannya mencabut sekat antara Islam dan romansa. AAC berhasil memindahkan romansa yang biasanya ada pada film-film remaja dan sinetron TV ke dalam bentuk layar lebar, sambil tetap mempertahankan ungkapan ke-Islamannya”, kata Eric dalam esainya itu.

Namun, menurut Eric, AAC tetap menuai banyak protes, terutama dari kalangan Muslim yang dia labeli sebagai kelompok yang lebih skriptural. Protes pertama adalah ungkapan-ungkapannya yang dianggap ‘kurang mewakili semangat Islam’, terutama dalam karakterisasi tokoh utama film itu. Tokoh utama film itu, Fahri, tampak bimbang dan tak punya semangat ideologis ketika mengambil keputusan. Dalam novel, Fahri adalah seorang tokoh sempurna – cenderung idyllic – yang mengambil keputusan berdasarkan kesadaran ideologisnya. Namun dalam film, Fahri seperti orang tak berdaya dan tersudut oleh keadaan.

Yoyo Dasriyo, pemerhati film nasional dan sinetron, dalam artikelnya  yang berjudul “Keutuhan Film Dakwah Belum Kembali” menuliskan, bahwa film dakwah Islam yang utuh salah satunya adalah film Al-Kautsar (1977),  besutan sutradara kawakan, Chaerul Umam.  Film ini bahkan meraih The Best Sound Recording dan The Best Social Cultural Film pada Festival Film Asia, Bangkok, 1977 silam.

Wartawan senior ini mengakui dalam tulisannya tersebut, formula islami amat deras mewarnai wajah sinetron kita saat ini, tetapi masih sedikit sinetron religi yang layak dipujikan. Keberadaan tayangan atas nama "sinetron religi", lanjut Yoyo, banyak yang kering dari kesungguhan membangun kemasan berdaya pikat. Metode kerja "kejar tayang" dengan pemeranan asal "menjual bintang" membuat sinetronnya tak berpamor sebagai tontonan dan tuntunan.

Sampai-sampai, ia menuliskan,”betapa terasa, keutuhan film dakwah Islam yang pernah lahir merupakan kerinduan panjang yang belum terpuaskan.”

Bicara Sinetron
Bicara sinetron, tak lepas dari ulasan mengenai media elektronik, televisi. Dalam menjalankan fungsinya sebagai tranformer warisan sosial sebuah masyarakat, televisi memiliki kekuatan strategis dalam menyebarkan pengaruh kepada khalayak. Bukan sekadar menyajikan informasi, berita ataupun hiburan saja, namun juga memiliki kemampuan untuk mengajak dan mengukuhkan norma-norma tertentu dalam masyarakat. Termasuk isi di dalam televisi tersebut, salah satunya adalah sinetron.

Namun sangat disayangkan, isi dari sinetron kita saat ini masih berkutat dalam masalah pornografi, eksploitasi seks, tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak-anak di Indonesia. Pun bentuk manipulasi atau pelecehan terhadap suku, agama, ras dan golongan tertentu, seperti yang terjadi belum lama ini.

Deputi Direktur yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Jakarta, Agus Sudibyo, saat dihubungi Alhikmah mengatakan, bahwa penelitian yang dilakukan SET bersama beberapa lembaga mitra awal tahun 2009 lalu, fokus pada indikator kualitas tayangan televisi, termasuk sinetron.

Dalam laporan penelitian tersebut, kualitas program sinetron televisi diturunkan pada 10 aspek. Yakni:  Meningkatkan empati sosial, memberikan model perilaku yang baik, menghibur, non kekerasan, non pornografi, tema relevan dan bersentuhan dengan kenyataan masyarakat, ramah anak, ramah lingkungan, tidak bias gender, dan mengandung kepentingan publik.

Hasilnya, dari 10 aspek kualitas tersebut di atas, mayoritas  responden yang tersebar di 11 kota di Indonesia, menjawab kualitas sinetron Indonesia sangat buruk. Persentasenya sebagai berikut: meningkatkan empati sosial (50,5%), memberikan model perilaku yang baik (65,0%), menghibur (30,5%), non kekerasan (62,7%), non Pornografi (39,5%), tema relevan dan bersentuhan dengan kenyataan masyarakat (60,5%), ramah anak (68,6%), ramah lingkungan (53,6%), tidak bias gender (60,9%), dan mengandung kepentingan public (57,3%).

Pengaruh Sinetron
Dr. Asep Saeful Muhtadi, Pemerhati Media  UIN (Universitas Islam Negeri) Bandung kepada Alhikmah mengatakan, bahwa sinetron itu sebagai satu tayangan untuk menyampaikan pesan. Bisa mengemas pesan yang imajinatif, membentuk realitas kedua (second reality).

Ia mencontohkan, di Indonesia misalnya, orang pedesaan dalam sinetron bisa muncul sebagai masyarakat glamor. ”Realitas yang dibentuk didesain sedemikian rupa. Sinetron, termasuk film bisa merumuskan realitas imajinatif. Realitas kedua yang dibentuk, didesain secara khusus karena ingin menggiring realitas yang nyata menjadi realitas yang diinginkan,” papar sosok yang akrab disapa kang Samuh ini.

Dari sudut pandang komunikasi, Guru Besar Komunikasi Unpad, Prof. Deddy Mulyana mengatakan bahwa tayangan yang disaksikan berulang-ulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama tentu saja akan jadi mudah diingat. Jadi komunikasi yang terjadi di sinetron, antar pemain, dan komunikasi yang terjadi antara sinetron dan penonton akan terekam dalam otak dan mudah diingat karena berulang-ulang. Ditambah lagi audio visual, sehingga penonton berkomunikasi tidak hanya menggunakan telinganya tapi juga melibatkan mata.

Seperti penuturan Sari (29), seorang Ibu rumah tangga kepada Alhikmah beberapa waktu lalu dirumahnya di kawasan Dago, Utara Bandung. Anaknya, Zahra, meski baru duduk di bangku TK (Taman Kanak-kanak), namun gaya bicaranya terkesan jauh lebih dewasa dari usianya yang baru menginjak 5 tahun. “Jika berbicara dengan orang yang tidak kenal akrab pasti menyangka Zahra berusia 7 tahun. Kata-kata yang dilontarkan juga sebagian adalah kata-kata yang biasa diucapkan orang dewasa, dan kini Zahra pun mengenal ‘Bahasa gaul’ sinetron,” papar Sari.

Sari mengaku, bahwa dia tidak pernah mengajarkan anaknya menonton sinetron. Namun statusnya yang masih tinggal bersama dengan orangtua walau sudah berkeluarga, bisa jadi merupakan faktor pemantik kebiasaan baru anaknya itu. Terlebih, Ratna, ibunda Sari, memang penggemar sinetron.

Kepada Alhikmah, Ratna mengakui kegemarannya menonton sinetron. “Saya suka nonton sinetron Hareem. Awalnya iseng nonton, terus karena ceritanya beda saya jadi suka,” katanya. Saat menyaksikan tayangan tersebut, Ratna kerap tidak menyadari bahwa ada Zahra, cucunya yang ikut menyaksikan. Apalagi Jam tayang sinetron tersebut berada di prime time, saat semua keluarga berkumpul bersama-sama untuk makan malam, sembari menyalakan TV.

Awalnya Sari tidak menyadari bahwa sang anak juga menyimak sinetron yang ditonton Ibunya. Sampai suatu ketika saat sang ibu sudah merasa jenuh dengan sinetron yang hanya menampilkan kekerasan tersebut, Zahra mengamuk. “Tiba-tiba dia meraung-raung supaya jangan diganti saluran TV-nya, saat Ibu saya merasa bosan,” kata Sari. Kesal dengan tindakan anaknya saat itu, Ibu dua anak ini pun memarahi Zahra dan mengurungnya di kamar.

TV memang satu-satunya hiburan  di rumah keluarga Ny. Ratna, yang beranggotakan 9 orang ini. Maka mau tak mau setiap anggota keluarga pun turut menyaksikan, meski tanpa disengaja. Menurut penuturan Ibu Sari, kegemaran masing-masing anggota keluarga berbeda. Ayahnya menyukai film yang banyak menampilkan adegan perang, sedangkan Ibunya penggemar sinetron. Lain lagi dengan sang kakak yang sangat menyukai tayangan berbau mistis.

Yang membuat Ibu Sari kaget alang kepalang adalah ketika sang anak tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang tak pernah sama sekali ia duga. “Mah, Zahra pengen nikah, terus punya anak,” begitu kenang Sari. Saat ditanya alasannya, Zahra pun bisa menjelaskan dengan bahasanya sendiri tentang pernikahan, bahkan juga bisa sedikit menjelaskan tentang proses kelahiran.

Astagfirullah, dia tahu dari sinetron!” tukas Sari, lemas. Tak disangka memang sebuah pertanyaan dewasa terlontar dari mulut manis seorang bocah mungil. Tapi begitulah kenyataan yang terjadi, bahwa sinetron telah merasuk hingga ke alam pikir bocah ingusan semisal Zahra. Mengendap di dasar memori mereka, dan menjadi sebuah gambaran seolah-olah begitulah realita yang ada sebenarnya.

Melalui tema-tema eksploitatif seputar seks, pornografi, gaya hidup glamor, sampai hal-hal yang menjurus pada pelecehan agama, sinetron-sinetron di televisi kita seolah menutup mata terhadap dampak yang akan ditimbulkan kelak bagi pemirsanya.

Beri Contoh

Sutradara senior, Chairul Umam, melihat sikap acuh, tak mau tahu, dari sebagian produser pun sutradara sinetron saat ini. “Mereka tidak peduli, yang penting ditonton, karena mereka bukan pendidik. Mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap pendidikan. Mereka hanya mementingkan cari uang,” tukas sutradara yang banyak mengangkat tema dakwah dalam karya-karya filmnya ini.

Saat ditanya tentang cara menumbuhkan kesadaran bagi produser agar mau memproduksi sinetron yang berkualitas, ia menjawab,” lebih baik anjurkan masyarakat untuk tidak menonton. maka rating mereka rendah, lama-lama mereka ganti haluan.”

Selain itu, menurut dia, perlu ditumbuhkan minat sineas muda agar mau dan mampu membuat sinetron-sinetron yang berkualitas. “Bikin workshop, kelompok pelatihan, mengundang tokoh agar terlatih. Berikan contoh! Jangan hanya memerintah, tapi fasilitasi mereka untuk berkarya lebih baik,” kata  sutradara yang tengah menggarap film terbarunya, adaptasi dari novel “Ketika Cinta bertasbih” karya Habiburrahman el-Shirazy ini.


HBSungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Sholeh, Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 34

0 komentar:

Posting Komentar