“Eh, Tahu Nggak Sih? dia sekarang punya motor baru. Sombongnya minta ampun. Baru dapat motor kayak gitu aja udah petantang-petenteng. Cape deh… saya aja dulu pas beli motor baru, ngga kayak gitu-gitu amat. Iih amit-amit deh …”
Obrolan yang ‘hari ini’ tampak biasa. Menggunjing teman, saudara, tetangga, public figur, atau siapapun, tentang apapun. Bak pepatah lidah tak bertulang, lisan atau obrolan serampangan, sungguh dapat berakibat fatal.
Sepasang suami-istri yang begitu harmonis mengarungi bahtera rumah tangga, bisa seketika kandas akibat terpaan kabar dari lisan yang tak menyenangkan. Dua orang sahabat yang telah menjalin ukhuwah sekian lama, sangat mungkin terlibat perselisihan, lantaran ‘racun’ lisan yang tak terjaga. Peperangan antar bangsa, bahkan negara di dunia, kerap terjadi akibat celoteh lisan para pemangku kepentingan.
Itulah diantara ekses pergunjingan, atau yang dalam khazanah Islam dibahasakan Ghibah. Sedemikian berbahayanya lisan kita, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan manusia agar berhati-hati dalam penggunaannya. “Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (HR. Bukhari)
Celakanya, Ghibah saat ini telah menjadi tren di tengah masyarakat, sebagai konsekuensi kebebasan informasi di berbagai media (cetak, elektronik dan online) yang cenderung liberal.
Sebelum hadir di media televisi di negeri ini, pemberitaan soal-soal pribadi para selebritas telah dirintis di media cetak. Adalah Tabloid Monitor yang digawangi Arswendo Atmowiloto sebagai Pemimpin Redaksi, yang mengawali mengangkat persoalan publik figur baik dari dalam maupun luar negeri.
Kehadiran televisi memperparah aktivitas gunjing-menggunjing ini. Tahun 1995, stasiun televisi RCTI mencoba peruntungannya dengan menampilkan program Kabar-Kabari yang dibidani Amazon Dalimunthe. Saking ‘prospektif’-nya Program ini, hingga memunculkan laporan di Koran Tempo 4 Februari 2001 bertajuk “Manisnya Berbisnis Gosip”.
Melihat pangsa pasar yang begitu menggairahkan, stasiun televisi lain pun berlomba-lomba menayangkan program serupa. Tercatat, SCTV kemudian merilis program Bibir Plus, Poster, Hot Shot, Halo Selebriti, Otista dan Ngobras. Stasiun televisi TPI memproduksi Selebrita dan Go Show. ANTV menayangkan Panorama, Kharisma, Selebriti Dunia dan Berita Selebritis Spesial. Sementara Indosiar muncul dengan KISS-nya.
Data Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagaimana dituturkan Anggota KPI Bidang Struktur dan Sistem Penyiaran, Muhammad Izzul Muslimin kepada Alhikmah menyebutkan, tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment baru berjumlah 24 episode perminggu, atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air.
Tahun 2003, jumlah itu berlipat empat menjadi 101 episode perminggu (14 episode per hari). Setahun kemudian, 2004, frekuensi tayangan ini kian bertambah menjadi 151 episode perminggu (22 episode per hari). Begitu pula di tahun 2005, jumlah tayang infotainment terus bertambah menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari).
Bulan Januari sampai dengan Agustus di tahun 2007, jumlah penayangan infotainment menjadi 210 episode per minggu atau sebesar 15 jam per hari. Artinya, setiap tahun ada lonjakan episode. Masya Allah.
Bisnis Untung Konsumen ‘Buntung’
Maraknya tayangan berbau Gosip ini bukan tanpa alasan, motif meraup keuntungan berlipat tanpa harus mengeluarkan biaya produksi yang besar, menjadi pilihan banyak media.
Pengamat media, Ade Armando kepada Alhikmah menyebut Infotainment sangat menguntungkan secara bisnis, karena pembuatannya relatif murah; tidak membutuhkan sutradara, penulis skenario, aktor dan aktris yang perlu dibayar. Sementara itu, masih menurut Ade, ada sekian banyak penonton yang memang suka dengan tayangan tersebut, terutama kalangan ibu-ibu.
“Kalangan ibu-ibu ini penting buat menarik pengiklan, Ibu-ibu ini kan pengambil keputusan di rumah termasuk keputusan untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga,” tutur Ade Armando.
Penuturan Ade Armando diakui betul oleh ‘raja’ infotainment Indonesia, Ilham Bintang. “Kebetuhan televisi terhadap program ialah yang murah & cepat. Tidak ada yang salah di situ. Yang penting dalam hal menayangkan berita mereka tunduk pada kode etik jurnalistik yaitu mendahulukan ketepatan dibandingkan kecepatan,” aku Ilham Bintang kepada Alhikmah.
Ilham mengklaim tayangan infotainment tersebut akan memberi kontribusi untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang pejabat publik serta dapat menekan jumlah artis yang hidup di luar norma-norma susila masyarakat.
Artis terkenal yang diidolakan masyarakat menurutnya harus membayar keterkenalan itu dengan contoh keteladanan hidup, bukan sebaliknya. “Untuk tujuan itu, infotainment harus mampu mengontrolnya,” tegas Ilham.
Namun, pendapat Ilham yang cenderung melihat sisi positif tayangan infotainment dibantah Ade Armando. Menurut Ade, infotainment membuat masyarakat dilenakan dan dibuat bodoh oleh media. Dampaknya, bukan hanya pada konsumen media, tetapi juga bagi individu yang menjadi objek pemberitaan.
Ade menegaskan, kehidupan seseorang bisa hancur karena pemberitaan infotainment tersebut. Hal tersebut, lanjut Ade, bukan saja berdampak pada orang yang terlibat perselingkuhan ataupun perceraian, misalnya, namun juga pada keluarga mereka, terutama anak-anak. Mereka tidak lagi punya ruang pribadi (privacy), padahal seharusnya dihormati dalam kerangka hak asasi manusia.
Masyarakat sebagai konsumen media lantas menjadi pecandu gosip, dan secara psikologis lebih tertarik pada hal-hal yang tidak penting semisal mengurusi kehidupan pribadi orang lain, ketimbang hal-hal produktif lain yang bisa dilakukan.
Mantan anggota KPI ini bahkan dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada dampak positif infotainment bagi masyarakat, kecuali bagi stasiun televisi dan production house-nya.
Pergeseran Istilah dan Pelanggaran Kode Etik
Dari segi istilah, Infotainment, menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof. Engkus Kuswarno, merupakan kepanjangan dari informasi dan entertainment, yakni suatu program yang memilik tiga fungsi; informasi, edukasi (pendidikan) dan entertainment (hiburan).
Sayangnya istilah ini, masih menurut Prof. Engkus Kuswarno Guru Besar FIKOM (Fakultas Ilmu komunikasi) Unpad sudah jauh bergeser sedemikian rupa. “Ada pengertian yang salah kaprah tentang infotainment. Jika sebelumnya adalah tayangan seperti keberhasilan petani di pedesaan yang diceritakan dalam bentuk hiburan, kini tayangannya lebih kepada informasi tentang artis,” papar Engkus.
Dalam teori komunikasi, Engkus melanjutkan, ada efek media massa yaitu apa yang disampaikan media maka akan menjadi pengetahuan bagi masyarakat (kognisi) namun secara otomatis tidak langsung ditiru. Pengetahuan yang didapat masyarakat akan langsung diserap dan terbentuk dalam pikirannya, kemudian menjadi kebiasaan karena terkumpulnya pengetahuan tersebut. “Sangat disayangkan program ini dominan dalam menceritakan aib-aib orang lain. Jika saja infotainment tidak diminati masyarakat maka dengan sendirinya tayangan tersebut tidak bertahan lama dan kemudian mati,” katanya.
Dari sisi kode etik Jurnalistik, peran wartawan yang berkecimpung di dunia infotainment masih banyak dipertanyakan statusnya. Ade Armando misalnya, yang mengkritik akurasi dan objektivitas berita yang dibuat oleh jurnalis infotainment.
“Gosip itu bukanlah berita. Karena berita adalah sesuatu yang akurat, disampaikan secara objektif bahkan ada nilai kepentingan publik dan tetap menjaga ruang pribadi orang lain,” tutur Ade Armando.
Kode etik jurnalistik Bab II pasal 6 menyebutkan bahwa “wartawan Indonesia menghormati dan menjungjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang merugikan nama baik seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum”.
Standarisasi peraturan tentang program siaran infotainment menurut Anggota KPI, Muhammad Izzul Muslimin sebetulnya juga sudah diatur dalam standarisasi P3-SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Diantaranya, program infotainment tidak boleh menyiarkan informasi yang masih dapat dikategorikan sebagai gosip atau kabar burung. Kemudian program infotainment diwajibkan menyajikan informasi yang akurat, berimbang dan objektif.
Tetapi, masih saja banyak media yang tidak mengindahkan. Tahun 2008 program Infotainment di RCTI, Trans TV dan Trans 7 ditegur oleh KPI. Belum lama ini, September 2009 KPI melayangkan surat himbauan kepada seluruh station TV supaya berhati-hati ketika menayangkan program infotainment yang mengulas perihal rumah tangga atau perceraian artis.
Desertasi Dr. Agus Maladi Irianto, M.A. berjudul ‘Kontestasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi: Studi tentang Program Tayangan Infotainment’ menguatkan fakta bahwa KPI dari gambaran di lapangan ternyata tak bisa berbuat banyak ketika sejumlah stasiun televisi menyajikan program tayangan infotainment yang menyimpang dari P3-SPS.
Pedoman tersebut tak sepenuhnya dipatuhi oleh para produser maupun pengelola program tayangan infotainment. Otoritas yang melekat pada KPI, ternyata tidak bisa dianggap sebagai penentu “hidup-matinya” sebuah sajian acara televisi. Sebab, menurut desertasi tersebut, selain KPI masih ada TV rating yang kemudian dijadikan tolok ukur sejumlah pengelola stasiun televisi untuk menayangkan suatu sajian acara.
Keresahan Ulama
Tayangan infotainment yang berlebih-lebihan telah membuat gerah banyak ulama. Pada Musyawarah Alim Ulama NU yang digelar di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur 31 Juli 2006, NU menyatakan acara infotainment yang membeberkan aib seseorang tanpa alasan yang jelas hukumnya haram.
Muhammad Adnan Ketua PWNU Jawa Tengah, membacakan bunyi teks fatwa tersebut kepada Alhikmah. "Menayangkan, menyiarkan, menonton, atau mendengarkan acara yang mengungkap/membeberkan kejelekan seseorang melalui acara apa pun adalah haram, kecuali berdasar tujuan yang dibenarkan Syariat, seperti memberantas kemungkaran, memberi peringatan, menyampaikan pengaduan/laporan meminta bantuan atau meminta fatwa hukum. Pandangan ini didasari pada teks-teks primer (al-Quran dan Sunnah), teks sekunder (pandangan para ulama klasik)."
Landasan argumentasi dikeluarkannya fatwa haram tersebut antara lain; Pertama, tayangan infotainment sudah masuk terlalu jauh ke ruang privat, yang bisa dikategorikan pergunjingan (ghibah) atau membuka aib orang lain di muka umum.
Kedua, tayangan infotainment merupakan salah satu acara yang durasinya sudah masuk kategori berlebihan karena hampir setiap saat, mulai pagi hingga malam hari, penonton dijejali tayangan itu. Ada kesan kuat bahwa televisi dan produser hanya memerhatikan aspek komersial dan keuntungan.
Ketiga, tayangan infotainment telah menimbulkan dampak negatif pada masyarakat. Dalam bahasa agama, menimbulkan marabahaya (madharrat). Karena saking banyaknya tayangan infotainment, masyarakat mudah terbius untuk terus-menerus menonton. Hal ini dapat menyuburkan budaya pergunjingan di tengah masyarakat.
Penulis : Muhammad Yasin
Peliput : M. Yasin, Ernie Ari Susanti
Penyunting : hb Sungkaryo
Diterbitkan Oleh Tabloid Alhikmah edisi 41
Diterbitkan Oleh Tabloid Alhikmah edisi 41
0 komentar:
Posting Komentar