“… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S. al- Baqarah; 275)
Rasulullah Muhammad SAW terkenal jujur (shiddiq) dan terpercaya (amanah), termasuk dalam hal bisnis. Hal ini merupakan dasar-dasar dari etika bisnis yang seyogyanya dijadikan teladan dalam praktek bisnis yang ada.
Dalam artikelnya “Bisnis Dalam Perspektif Syariah Islam dan Tantangannya”, ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Mustafa Edwin Nasution, Ph.D mengatakan, bisnis yang berbasis syariah Islam di Indonesia sepengetahun dia muncul pada waktu berdirinya Bank Muamalat Indonesia (1992), walaupun mungkin di beberapa daerah sistem syariah ini juga sudah dipraktekkan seperti sistem bagi hasil.
Semenjak berdirinya Bank Muamalat tersebut, maka telah muncul pula berbagai bank lainnya yang membentuk usaha yang berdasarkan syariah Islam seperti BNI 46, BRI, BII, Bank IFI, HSBC, Bank Danamon, Bank Bukopin, Bank Jabar dan lain lain.
Selanjutnya pada Juni 1997, untuk pertama kalinya ditawarkan reksadana Syariah yang dikelola oleh PT Danarekso Investment Management. Pada tanggal 5 Mei 2000, berdasarkan kesepakatan antara Bursa Efek Jakarta dan PT Danareksa Investment telah lahir Index Syariah di Bursa Efek Jakarta. Pada tanggal 25 Mei 2000 telah lahir pula reksadana syariah yang kedua yaitu yang dikelola oleh PT PNM Investment Management.
Dengan demikian lantai bursa syariah semakin meriah dan semakin banyak instrument-instrument investasi syariah yang dapat digunakan masyarakat dalam kegiatan bisnisnya. Pada saat ini di dunia diperkirakan sudah terdapat lebih kurang 100 reksadana syariah.
Di bidang perasuransian, muncul PT Asuransi Takaful Indonesia yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah Islam. Sampai awal tahun 2003 tercatat lebih dari enam perusahaan asuransi syariah telah muncul merapaikan kegiatan bisnis syariah dibidang asuransi tersebut. Bidang pegadaianpun tidak mau ketinggalan dalam bisnis syariah ini. Sampai akhir tahun 2003 telah ada 35 outlet pegadaian Syariah.
Presiden Direktur KARIM Business Consulting, Adiwarman A. Karim, yang juga mantan Dirut Bank Muamalat ini saat ditemui tim peliput Alhikmah baru-baru ini mensyaratkan dua hal yang harus dilakukan agar institusi syariah yang tengah berkembang di negeri ini, berjalan efektif. Pertama, menjunjung tinggi kejujuran. Jujur kepada Allah, berarti meninggalkan yang haram. Jujur kepada sesama manusia, berarti amanah. Kedua, harus cerdas membaca situasi dan cerdas dalam menyampaikan misi.
Masih menurut Adiwarman, dengan adanya UU Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008 memberikan pijakan yang kuat untuk investor dan bank konvensional untuk membuka unit syariah. Di tahun 2009 diperkirakan ada 9 bank umum syariah jika digabungkan dengan bank syariah yang sudah ada, semisal: Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah. Diharapkan jumlah bank umum syariah di tahun 2009 mencapai minimal 12, di samping bank-bank lain yang sudah membuka unit-unit syariah mereka.
Maraknya kegiatan bisnis yang berbasis syariah tersebut, tentu harus dilakukan Secara benar, sesuai ketentuan syariah Islam. Dengan demikian menjadi penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana sebenarnya praktek bisnis yang Islami tersebut, baik bagi pelaksana bisnis maupun bagi pengguna jasa-jasa perusahaan yang berbasis bisnis syariah Islam. Termasuk hal-hal yang membedakan dengan praktek perbankan konvensional.
Kepada Alhikmah, Anggota Dewan Syariah Nasional, KH. Didin Hafidhuddin mengatakan bahwa terdapat 4 hal pokok yang membedakan bank atau lembaga keuangan konvensional dan bank/lembaga keuangan syariah.
Pertama, akadnya berbeda. Akad konvensional adalah riba. yaitu menetapkan keuntungan di depan sedangkan syariah tidak seperti itu, kecuali sistem jual beli atau murabahah. Akad ini menentukan keabsahan, apakah yang digunakan sistem riba atau non riba.
Kedua, struktur organisasi. Di bank/lembaga keuangan konvensional ada komisaris, direksi dan lainnya, tetapi tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi jalannya produk-pruduk. Sedangkan Bank syariah disamping ada komisaris dan direksi, juga ada Dewan Pengawas Syariah.
Ketiga, Pembiayaan. Bank/lembaga keuangan konvensional itu mementingkan keuntungan. Haram atau halal, madharat atau manfaat tidak jadi masalah yang penting menguntungkan. Bank konvensional itu bisa membiayai perjudian minuman keras. Syariah tidak sekedar melihat keuntungan tetapi bank syariah akan meneliti pengajuan usahanya apakah halal atau haram.
Keempat, budaya kerja. Konvensional budaya kerjanya karena kebiasaan. Tetapi bank syariah harus berdasarkan pada ajaran Islam, seperti amanah, sopan dan santun.
Itu perbedaan antara institusi formil Syariah dan konvensional. Belum termasuk fenomena maraknya bank-bank keliling (non formil/ illegal), yang kerap disebut rentenir. Ternyata, seperti di tulisan awal, Informasi yang dilansir Portal berita8.com 22 Desember 2008, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Provinsi Banten, M. Hasan Basri mengatakan, sekitar 80 persen dari 873 ribu UMKM di Banten disinyalir terjerat rentenir.
Di Jawa Barat, data tahun 2007 yang dirilis di situs incubator-bisnis.com, 50 Persen pelaku UMKM terjerat utang pada rentenir. Ketua Koperasi Serba Usaha Wanita Lintas Jabar (KSUWLJ) Nina Mariana mengatakan, keadaan ini yang membuat pelaku UKM di Jabar tidak berkembang dengan baik.
Pinjaman yang berbunga berapapun besar kecil bunganya, dalam bentuk apapun dan dari institusi manapun tetap saja dinamakan riba. Seperti penuturan Zaim Zaidi kepada Alhikmah, bahwa yang membedakan antara insitusi keuangan formal dan nonformil yang meminjamkan uang adalah bahwa yang formil terlegitimasi sedangkan yang nonformil itu ilegal.
Dalam hal hutang piutang, Islam melarang adanya kelebihan atau tambahan pada saat pengembalian. Cara yang dibenarkan adalah yang tidak memberatkan dan saling percaya. Saling percaya ini ditunjukkan dengan bagi hasil. Dengan bagi hasil, setiap keuntungan yang diterima dan kerugian yang diderita akan disikapi bersama oleh pemilik modal dan pemberi modal. Istilah ini dikenal dengan Mudharabah. Satu dari sekian banyak produk perbankan/lembaga keuangan syariah.
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul maal) memercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.
Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal (kreditor) dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib (pengelola) harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.
Jadi bagi hasil atau profit sharing ini dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kerjasama antara pihak investor atau penabung, istilahnya shahibul maal dengan pihak pengelola atau mudharib, dan nantinya akan ada pembagian hasil sesuai dengan persentase jatah bagi hasil (nisbah) sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Transaksi jenis ini dapat kita temui di Bank-bank/ lembaga keuangan syariah.
Menurut Atik Gusnati, Pemimpin Seksi Pemasaran Bank Jabar Syariah saat ditemui tim peliput Alhikmah, jumat (16/01) di kantornya, Jl. Pelajar Pejuang 45 No. 54, menjelaskan bahwa Bank Jabar Syariah berharap bahwa masyarakat dapat menggunakan pola syariah dalam bertransaksi. “Sederhana saja, kami ingin masyarakat lebih terbuka kesadarannya untuk menggunakan pola syariah untuk muamalah bukan paksaan dan tanpa iming-iming bunga yang besar, tapi dengan kesadaran bahwa dengan bermitra dengan ikut bank syariah berarti ikut membangkitkan ekonomi syariah,” ungkapnya.
Ihwal maraknya institusi keuangan syari’ah, Zaim Saidi mengingatkan tentang apa yang dimaksud dengan institusi syariah. Menurut Zaim, syariahnya sudah betul, akan tetapi dalam syariah kita harus mengerti bahwa yang bertentangan dengan riba adalah perdagangan, berarti itu adalah muamalah. Jadi kalau ada institusi yang mengklaim bahwa dia syariah tapi bertentangan dengan muamalah justru dia bagian dari sistem riba.
Walhasil, mengubur ekonomi ribawi memang bukan pekerjaan mudah, karena riba yang dibawa oleh Ideologi Kapitalis sudah sangat mengakar dan sistemik. Perlu ada Ideologi dan sistem pembanding yang dapat menggusur riba secara tuntas, yang bukan sekedar institusi syariah. Sistem itu tidak lain, Sistem Islam.
Luthfi A.F., HBSungkaryo
Liputan: Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Sholeh, Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah Edisi 31
Tulisan Berkaitan
Agustianto Mingka, Bank Syariah Hanya Bagian Kecil dari Ekonomi Islam
0 komentar:
Posting Komentar