Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa. (Q.S. Al- Baqarah: 275)
Dalam keterdesakan untuk membayar SPP anak, atau melunasi biaya perawatan Rumah Sakit, dan kebutuhan yang bersifat darurat lainnya, pernahkah Anda berhutang? Boleh jadi sebagian makhluk manusia pernah melakukan. Bahkan kita.
Namun, kerap, pinjaman tersebut harus dilunasi sebesar pokok pinjaman, dan sekian persen sebagai tambahan. Dalihnya untuk membayar jasa yang sudah diterima si peminjam dari pemilik modal, baik institusional maupun individual.
Yang lain, sistem bunga lembaga keuangan. Anda menabung sejumlah uang di bank, misalnya, dalam jangka sekian waktu, dengan iming-iming penambahan sejumlah tertentu, yang populer dibahasakan bunga (interest). Tanpa harus bekerja keras, harta Anda dengan sendirinya akan bertambah.
Prolog di atas adalah contoh sederhana tentang praktek riba yang melekat dalam keseharian kita.
Riba sendiri secara harfiah berarti “kelebihan”. Qadhi Abu Bakar ibnu al- Arabi, dalam karyanya Ahkamul Qur’an memberi definisi sebagai berikut: ‘Setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai tandingnya (nilai barang yang diterimakan). Kelebihan ini mengacu pada dua hal. 1) Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran. 2) tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan. (Umar Ibrahim Vadillo, dalam Mukadimah “Tinggalkan Riba Tegakkan Muamalah” ; 2005)
Dua aspek di atas telah mendorong para ulama mendefinisikan dua jenis riba.
Pertama, riba an-nasiah. Menurut Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, riba nasiah berasal dari kata nas-un, yang berarti mengakhirkan atau menunda.
Riba jenis ini juga terbagi dua: 1) Mengubah hutang atas orang yang kesulitan. Jika tempo pengembalian utang itu tiba, pemilik harta berkata kepadanya, “Kau bayar atau kau tambah?” Jika dia melunasi, tidak ada penambahan; jika tidak dilunasi maka setiap bertambah waktu bertambah pula harta sehingga menjadi berlipat ganda menjadi tanggungan penghutang.
2) Kesepakatan dalam jual-beli dua jenis barang yang sama adanya tambahan ketika ditangguhkan kepemilikan mereka berdua atau kepemilikan salah satu dari keduanya. Misalnya, jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam dan jual beli antara jenis yang sama sebagaimana yang telah disebutkan itu dengan kepemilikan yang ditangguhkan. Semua barang yang sama illatnya dengan barang-barang tersebut diatas, maka berlaku hukum yang sama.
Kedua, riba al-fadhl. Berasal dari kata al-fadhl, yaitu tambahan pada salah satu dari dua pengganti. Syari’at telah melarangnya dalam enam (6) barang yaitu: emas, perak, gandum (yang bagus), gandum (bahan bir), korma dan garam. Jika salah satu dari barang-barang ini dijual dengan barang semisalnya, haram mengadakan tambahan pada salah satunya. Para ulama sependapat akan hal tersebut. Hal itu berdasarkan hadits Ubadah bin Shamit Radhiallahu Anhu dengan derajat marfu’ :
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum bagus dengan gandum bagus, gandum buruk dengan gandum buruk, korma dengan korma dan garam dengan garam; sejenis, sama dan langsung” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim)
Kepada Alhikmah awal Januari 2009 lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin menegaskan bahwa fatwa haramnya bunga bank, telah dikeluarkan MUI sejak dua tahun lalu, tepatnya 12 Desember 2004.
“Bukan sekedar MUI, lembaga-lembaga keagamaan baik nasional ataupun internasional sudah menyatakan bahwa riba itu haram, serta bunga itu terkategori riba,” ungkap anggota Dewan Syariah Nasional ini.
Mengapa Haram?
Dalam salah satu keterangan, riba adalah dosa atau kesalahan kedua, setelah syirik, yang paling ditakuti oleh para Penduduk Madinah pada saat itu.
Riba bisa dikatakan salah satu bentuk penjajahan. Betapa tidak, praktek riba dengan segala kemasannya dapat menimbulkan sikap permusuhan, dan menghilangkan rasa saling tolong-menolong sesama manusia. Padahal Islam mengajak manusia agar suka mendermakan hartanya kepada saudaranya yang membutuhkan.
Para pelaku riba, seperti hantu drakula dalam mitologi barat, telah menghisap darah banyak orang yang membutuhkan bantuan. Kaum lemah semakin tertindas karena sistem riba. Sebaliknya, yang kaya akan semakin kaya dengan tumbuh suburnya praktek riba.
Informasi yang dilansir Portal berita8.com 22 Desember 2008, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Provinsi Banten, M. Hasan Basri mengatakan, sekitar 80 persen dari 873 ribu UMKM di Banten disinyalir terjerat rentenir.
Di Jawa Barat, data tahun 2007 yang dirilis di situs incubator-bisnis.com, 50 Persen pelaku UMKM terjerat utang pada rentenir. Ketua Koperasi Serba Usaha Wanita Lintas Jabar (KSUWLJ) Nina Mariana mengatakan, keadaan ini yang membuat pelaku UKM di Jabar tidak berkembang dengan baik.
Lebih luas lagi, krisis ekonomi global belum lama ini mengguncang banyak Negara, termasuk Indonesia. Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto dalam artikelnya “Dekonstruksi Kapitalisme dan Rekonstruksi Ekonomi Syariah” mengatakan, Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa bank besar yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di Amerika Serikat segera memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.
Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bursa saham di mana-mana terjun bebas ke jurang yang dalam. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%.
Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS, bursa saham Wall Street terus melorot. Dow Jones sebagai episentrum pasar modal dunia jatuh. Angka indeks Dow Jones menunjukkan angka terburuknya dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah angka 10.000.
Berdasarkan fakta dan realita yang terjadi saat ini, jelas sekali bahwa drama krisis keuangan memasuki tingkat keterpurukan yang amat dalam, dan arena itu dapat dikatakan bahwa krisis finansial Amerika saat ini, jauh lebih parah dari pada krisis Asia di tahun 1997-1998 yang lalu.
Karena itu, seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa guncangan ekonomi akibat badai keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930. Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah sejak era 1930-an. Hal itu diperkirakan akan menggerus pertumbuhan ekonomi dunia melambat menjadi 3% pada tahun 2009 atau 0,9% poin lebih rendah dari proyeksi World Economic Outlook pada Juli 2009.
Direktur Eksekutif PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) Ir. Zaim Saidi dalam bukunya “Kembali ke Dinar: Tinggalkan Riba Tegakkan Muamalah” mengatakan bahwa sistem perbankan dan finansial dunia secara keseluruhan yang berlaku saat ini dapat dipandang merupakan bentuk riba. Dua elemen kunci sistem finansial sekarang adalah bunga dan uang kertas, beserta turunannya.
Dalam siklus penciptaan uang lewat kredit perbankan, menurut Zaim, selisih antara uang yang ada (berupa uang negara yang kita kenal sebagai uang kertas) dan uang yang (seolah) ada di perbankan, hanyalah byte yang ada di computer saja. Sementara itu, mekanisme penciptaan kredit dengan memutar uang berbunga ini, telah berakibat inflasi atau harga barang dan jasa yang terus meningkat. Dari sisi yang lain ini berarti terjadi depresiasi atau penurunan nilai mata uang. Hasilnya adalah keuntungan melimpah ruah bagi banker atau rentenir, tapi di sisi lain adalah pemiskinan kaum dhuafa dan masyarakat yang berpendapatan tetap.
Dari paparan di atas, terlihat dengan nyata, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis riba kembali tergugat.
Jebakan riba sungguh begitu keji. Tak sedikit individu, lembaga, bahkan institusi negara kehilangan harta bendanya, akibat tak mampu membayar bunga pinjaman yang berlipat-lipat.
Selain itu, praktek riba menyuburkan mental konsumtif, malas, karena ingin mendapatkan harta tanpa kerja keras. Tak harus berpikir banyak bagi mereka yang memiliki harta berlebih. Masa depan seolah dalam genggaman, hanya dengan menyimpan hartanya di institusi ribawi. Dampaknya, roda perekonomian di sektor riil tentu saja tidak akan berputar.
Angka pengangguran semakin bertambah. Perceraian, stress, pelacuran, pembuangan bayi, perselingkuhan dan segala bentuk permasalahan sosial lainnya marak, sebagai konsekuensi logis dari kejahatan riba, yang merusak segenap tatanan sosial kehidupan masyarakat.
Krisis keuangan global seperti terpapar, menurut ketua MUI, KH Didin Hafidhuddin merupakan dampak penerapan sistem ekonomi ribawi di hampir seluruh negara di dunia.
Itulah mengapa dengan tegas Allah SWT mengharamkan riba. "Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit jiwa. (Q.S. Al- Baqarah: 275)
Solusi Penangkal Riba
Sebagai ulama sekaligus pakar ekonomi Syariah, Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin mengingatkan, bahwa segala jenis bisnis bisa terkena riba. “Lembaga ekonomi konvensional semuanya mengarah ke sana. Baik itu pegadaian, pasar modal, koperasi, asuransi dan semua lembaga yang non syari’ah semuanya terjerat riba,” kata Didin kepada Alhikmah via telepon pada kamis (08/01).
Saat ditanya tentang solusi untuk menghapuskan riba, Didin yakin ekonomi akan jalan dengan sistem ekonomi syariah. Ia beralasan, “karena sistem kapitalis sudah gagal, sistem komunis sudah gagal, tinggal sekarang berilah kesempatan sistem ekonomi syariah untuk dijalankan. Sistem syariah ini sudah terbukti dalam sejarah telah berhasil menyejahterakan rakyat.” Terang Didin.
Namun, sebagian masyarakat masih belum akrab dengan istilah ekonomi Islam, yang belakangan disinonimkan dengan ekonomi syariah. Seperti apa makhluk bernama ekonomi syariah itu?
Dalam sebuah perhelatan ekonomi syariah di Bandung awal Januari 2009 lalu, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Agustianto, kepada tim peliput Alhikmah mengatakan bahwa ekonomi Islam merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia baik konsumtif produksi atau institusi yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan menciptakan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
Senada dengan Agustianto, pakar Ekonomi Syariah, Adiwarman A. Karim kepada Alhikmah, mendefinisikan ekonomi Islam sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan prinsip Islam. Sedangkan sistem ekonomi Islam, tambah Adiwarman, prinsip ekonomi Islam yang telah diadopsi suatu negara dan telah menjadi hukum positif.
Bagaimana Implementasinya di Indonesia?
Memang harus diakui, sistem ekonomi yang dominan berlaku di Indonesia adalah kapitalisme. Saat ini, semangat kembali kepada syari’ah muncul dengan bermunculannya institusi keuangan dan perbankan syari’ah. Bahkan di tahun 2008, hadir Undang-Undang Perbankan Syariah (UUPS) No. 21 tahun 2008. Diharapkan UU tersebut menjadi landasan yang kuat bagi perkembangan ekonomi syari’ah.
Meski demikian, adanya perbankan syariah-pun bukan tanpa kritik, diantaranya karena Indonesia menganut dual banking sistem, maka pasti salah satunya akan menjadi lebih kuat. ”Dengan dual banking system pasti akan ada yang jadi supra sistem dan akan ada yang menjadi sub sistem. Pada kenyataannya, perbankan syariah menjadi sub sistem, sedangkan supra sistemnya masih perbankan konvensional.
Di Indonesia, Ekonomi Islam sebagai sebuah sistem yang diterapkan secara total, memang belum diterapkan, akan tetapi semangat dan upaya kembali syari’ah Islam, harus terus didukung dan dikembangkan, agar praktek ekonomi ribawi dapat segera tersingkirkan. Wallahu A’lam.
Liputan: Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Sholeh, Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah 31
Ilustrasi Foto : http://www.zastavki.com
Tulisan Berkaitan
Mengubur Riba Meretas Jalan Agama
Sejarah Riba dalam Perspektif Berbagai Agama
Adi Warman A. Karim, Rentenir Jelas Dilarang!
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, “Kalau Mau Nabung Harus ke Bank Syariah!”
Ir. Zaim Saidi, Kembalilah Pada Muamalah!
Agustianto Mingka, Bank Syariah Hanya Bagian Kecil dari Ekonomi Islam
0 komentar:
Posting Komentar