Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Minggu, 30 Januari 2011

Antara Hisab, Rukyat, dan Konsensus Kriteria Hilal

"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."
(QS Al Maidah : 48)

Perbedaan memang tidak dapat lagi dihindari dalam wacana keislaman. Alasannya syar'i, selama ada dalil yang mendasarinya maka setiap golongan akan bersikukuh dengan pendapatnya.

Rasulallah pernah bersabda “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan ternyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan jika salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun apakah benar perbedaan penentuan hari raya tidak bisa disatukan? Jawabannya mungkin saja bisa. Karena akar permasalahannya menurut banyak pengamat astronomi sudah bisa ditemukan, yaitu terletak pada kriteria hilal bukan lagi pada metode hisab dan rukyat.

Ketua Komite Penyatuan Penanggalan Islam (KPPI) ITB Moedji Raharto bahkan menegaskan bahwa ada hukum alam yang mengatur dan dipahami bersama. Oleh karena itu umat Islam seluruh dunia harus mencari kriteria yang pas untuk menetapkannya.

“Katakanlah hilal persatuan, nantinya ini merupakan hasil kontribusi dan rumusan umat Islam di Indonesia. Dengan dasar syariah dan sains yang akurat sehingga pertanggungjawaban semua pihak bisa lebih enak,” tutur Moedji kepada Alhikmah.

Hal senada dipertegas Pakar Astronomi ITB Hendro Setianto. “Masing-masing ormas punya kelebihan dan kekurangan, saya melihat kenapa nggak kelebihan masing-masing ini digabungkan yang kurangnya disempurnakan,” tuturnya.

Duduk bersama antar ormas dan pengamat Astronomi akan menjadi solusi untuk merumuskan kriteria hilal. Kesempatan ini tentu sangat terbuka dalam sidang itsbat yang digelar pemerintah Indonesia setiap menjelang Hari Raya.

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Aminuddin Yakub mengatakan bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa Pada tahun 2004 nomor 2 /2004, tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sebagai penjembatan perbedaan diantara ormas-ormas Islam.

Dalam fatwa itu dikatakan awal Qomariyah bisa menggunakan hisab dan rukyatul hilal. Pada poin berikutnya MUI memutuskan supaya tidak terjadi perbedaan maka negaralah yang menjadi hakim untuk memutuskan kapan dimulai.

“Maka kaidah fiqihnya Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf, keputusan pemimpin menghentikan perbedaan. Jadi keputusan hakim dalam hal ini pemerintah negara mutlak dan berfungsi untuk menghilangkan perbedaan,” tegas Aminuddin.

Serahkan Pada Ahlinya
Di tempat terpisah, Dewan Pakar Jogja Astro Club (JAC) Ma’rufin Sudibyo kepada Alhikmah, lebih menekankan pada penyamaan definisi sebagai solusi perbedaan penentuan Idul Fitri. “Tentu saja dengan menyamakan definisinya. Karena jika menggunakan definisi yang sama, maka baik dengan cara dihitung (menggunakan hisab) ataupun diamati secara langsung (menggunakan rukyat), maka hasilnya akan sama. Dan persoalan penyamaan definisi ini murni berada di ranah empirik, artinya kita harus mengembalikannya kepada data observasi yang sahih dan tepercaya,” tegas Ma’rufin Sudibyo.

Analogi untuk penyamaan definisi, menurut peneliti Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak - Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF-RHI), dapat dilihat dalam waktu shalat. “Sebenarnya waktu shalat juga berada dalam ranah hisab dan rukyat, namun hasilnya tetap satu kesatuan karena definisi yang digunakan dalam hisab waktu shalat dan rukyat waktu shalat adalah sama,” ungkapnya.

Ia memisalkan penentuan shalat Dzuhur. Awal waktu Dzuhur terjadi ketika Matahari tepat meninggalkan kondisi istiwa’ (kulminasi atas) atau transit. Waktu transit didefinisikan sebagai waktu saat Matahari tepat berada di atas garis bujur setempat, sehingga bayang–bayangnya tepat mengarah ke utara–selatan sejati. Waktu transit ini bisa diramalkan dengan metode hisab, yakni dengan memperhitungkan selisih bujur tempat dan acuan serta nilai perata waktu (equation of time). Namun waktu transit ini juga bisa dibuktikan dengan metode rukyat, misalnya dengan menggunakan jam matahari atau tongkat istiwa’.

“Jika dibandingkan, hasil prediksi metode hisab awal waktu Dzuhur akan tepat sama dengan hasil pengamatan jam matahari. Penyamaan definisi seperti inilah yang hendak dituju.

Ketika ditanya, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menyatukan perbedaan yang terjadi? Ma’rufin memaparkan 3 opsi;

Pertama, pemerintah sebaiknya memfasilitasi upaya penyatuan kalender diawali dengan penyatuan definisi yang melibatkan seluruh ormas dan elemen Umat Islam di Indonesia. Pertemuan semacam ini sebaiknya dilakukan dalam forum resmi dan diselenggarakan secara periodik, misalnya dalam 5 tahun sekali, sehingga setiap perkembangan terbaru bisa dianalisis dan diterapkan.

Kedua, pemerintah sebaiknya mengatur permasalahan penanggalan Hijriyyah di Indonesia ini dengan lebih spesifik dalam peraturan perundangan yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan keputusan menteri. Jika masalah yang berkaitan dengan peradilan agama, zakat dan wakaf telah berhasil dibuatkan undang–undangnya, maka masalah penentuan awal bulan Qamariyyah ini juga membutuhkan peraturan perundangan yang setara.

Ketiga, pemerintah sebaiknya juga mengupayakan terbentuknya lembaga independen yang bertugas memutuskan penentuan awal bulan Qamariyyah, semacam Komisi Kalender atau Komisi Penanggalan. Embrio untuk lembaga independen ini sebenarnya sudah ada, yakni dari Badan Hisab dan Rukyat (BHR). Tinggal dilakukan perbaikan–perbaikan yang perlu agar bisa mencapai tujuan tersebut.

Senada dengan Ma’rufin Sudibyo, Pakar Astronomi dan Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Dr Thomas Djamaluddin kepada Alhikmah mengatakan bahwa saat ini tengah diupayakan adanya kriteria bersama oleh Departemen Agama, Badan Hisab dan Rukyat (BHR), serta Komite Penyatuan Penanggalan Islam (KPPI). “Mudah-mudahan masalah kriteria itu bisa segera diselesaikan,” pungkas Thomas.

Penulis          : Muhammad Yasin
Penyunting    : hb Sungkaryo
Tim Liputan  : Muhammad Yasin, Ernie Ari Susanti
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 38

0 komentar:

Posting Komentar