Idul Fitri adalah hari besar bagi umat Islam. Tak hanya di Indonesia yang memiliki massa Islam mayoritas, bagi umat Islam di belahan dunia lain pun Idul fitri memiliki keistimewaan tersendiri.
Di Indonesia, misalnya, hari raya Idul Fitri dimanfatkan untuk berkumpul bersama keluarga, bersilaturahim dengan tetangga, menyajikan masakan dan minuman, berpakaian bersih dan rapih serta saling menyapa dengan ucapan khas hari raya Ied.
Jelas, ini merupakan momen untuk mempersatukan hati, pikiran dan barisan umat yang tampak larut dalam rutinitas dunia.
Pada praktiknya, kerap terjadi perbedaan, spesifik saat penentuan tanggal 1 Syawal. Klasik sebetulnya, dan masih terjadi, memberikan warna tersendiri bagi umat Islam negeri ini.
Tercatat, tahun 1992, sebagian umat Islam Indonesia merayakan Idul fitri pada hari Jumat 3 April, mengikuti Arab Saudi. Sebagian yang lain menyambut 1 Syawal baru terjadi keesokan harinya, Sabtu, 4 April 2009. Bahkan, ada pula yang melaksanakan pada hari Ahad, 5 April.
Perbedaan hari raya Idul Fitri pun kembali terjadi di tahun 1993, 1994 dan 1998, hingga terakhir, tahun 2008 lalu. Perbedaan ini muncul akibat organisasai massa (Ormas) Islam yang ada berpegang pada masing-masing cara dalam menentukan penanggalan. Pemerintah melalui Departemen Agama RI, juga mengeluarkan keputusannya sendiri. Namun tidak selalu dipatuhi oleh ormas Islam.
Penanggalan Hijriyah
Kalender Hijriyah adalah sistem penanggalan yang digunakan umat Islam dalam menentukan tanggal dan bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya.
Sistem penanggalan ini menggunakan sistem kalender lunar atau bulan (Qomariyyah). Penentuan dimulainya hari/tanggal pada Kalender Hijriyah ketika terbenamnya matahari di wilayah tersebut. Terbenamnya matahari inilah yang mengakibatkan perubahan jam dari hari ke hari.
Sistem ini berbeda dengan sistem Kalender Masehi, dimana hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Maka, tentu saja tidak akan terjadi perbedaan.
Sistem kalender Umat Islam ini, menurut peneliti Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak - Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF-RHI), sekaligus anggota Dewan Pakar Jogja Astro Club (JAC), Ma’rufin Sudibyo, telah digarisbawahi dalam al–Qur’an sebagai kalender lunar murni. Hal tersebut didasarkan pada peredaran Bulan di langit (Q.S. Yunus : 5), dimana 300 tahun kalender yang digunakan umat Nasrani setara dengan 309 tahun kalender Islam (Q.S. al–Kahfi : 25).
“Setahun kalender terdiri dari 12 lunasi/bulan (Q.S. at–Taubah : 36) dan transisi antar lunasi merujuk pada teramatinya hilaal, yakni Bulan yang bentuknya mirip sehelai benang melengkung (Q.S. al–Baqarah : 185, 189),” papar Ma’rufin Sudibyo kepada Alhikmah.
Masih menurut Ma’rufin Sudibyo, penetapan tanggal 1 bulan Hijriyah ditentukan oleh munculnya bulan sabit terkecil yang dapat dilihat oleh mata manusia, beberapa saat setelah matahari terbenam. Bulan sabit ini di dalam istilah keislaman dinamakan hilal.
“Terlihatnya hilal akan didahului peristiwa ijtimak atau konjungsi. Yakni saat bulan dan matahari sejajar dalam meridian yang sama secara astronomis. Maka saat terlihat hilal itulah tanggal satu sudah langsung ditetapkan,” terangnya lagi.
Namun, tambahnya, jika tidak terlihat maka jumlah bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Artinya tanggal 1 terjadi pada esok hari.
Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah “Nabi bersabda, ‘Berpuasalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari : 924)
Keragaman Metode Penentuan Tanggal
Secara umum di Indonesia, dikenal dua metode penentuan tanggal baru bulan Hijriah, yakni; metode Hisab dan Rukyat.
Kepada Alhikmah, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ghazalie Masroeri menerangkan bahwa hisab adalah praktek astronomi, berupa hitungan-hitungan sebagai prediksi akan terjadinya awal bulan, waktu shalat, arah kiblat dan gerhana.
“Hisab itu semacam hitungan dan perkiraan yang didasarkan kepada pengamatan benda langit secara empiris,” ungkap Ghazalie.
Sedangkan Rukyat, masih menurut Ghazalie, adalah pengamatan hilal di lapangan untuk mendeteksi penempakan hilal pada awal bulan, setiap tanggal 29 bulan Hijriyah yang sedang berjalan. Praktek melihat hilal bisa menggunakan alat tradisonal seperti gawang atau juga alat yang modern seperti teropong mekanik.
Dari kedua metode inilah lahir beberapa kriteria penentuan awal bulan yang digunakan oleh ormas-ormas Islam di Indonesia.
Hisab, misalnya, sesuai keterangan Ma’rufin Sudibyo, terbagi ke dalam dua jenis; Hisab modern dan Hisab urfi (tradisional). “Hisab modern dianut antara lain oleh Muhammadiyyah dan Persis (Persatuan Islam). Sedangkan Hisab tradisional dengan segala variasinya digunakan oleh Tarekat Naqsyabandiyah di Padang, Islam kejawen dan Jamaah an–Nadhir,” terang Ma’rufin Sudibyo.
Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Dr. Susiknan Azhari, kepada Alhikmah menegaskan, bahwa sistem yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab haqiqi wujudul hilal.
Hisab ini, menurut Azhari, berdasarkan pada tiga criteria. Pertama; menurut perhitungan hisab telah terjadi ijtimak (bulan dan matahari sejajar). Kedua; ijtimak terjadi sebelum magrib (sebelum matahari terbenam). Dan terakhir; pada saat terbenamnya matahari, bulan masih berada di atas ufuk, belum terbenam.
“Bila ketiga kriteria itu terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru. Namun jika tidak terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari terakhir di bulan yang sedang berjalan dan bukan bulan baru,” tutur Susiknan.
Adapun Persis, seperti disampaikan Ketua Umumnya, KH. Shiddiq Amien, dalam menentukan penanggalan, menggunakan sistem hisab wujudul hilal (adanya hilal) dan juga Imkanur Rukyat (Hilal memungkinkan untuk dilihat). Kriteria Imkanur Rukyat sendiri adalah pada saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas cakrawala minimum 2° (derajat).
“Metode yang digunakan oleh Persis sama dengan Departemen Agama, Wujudul Hilal dan juga Imkanur Rukyat. Karena perintah Nabinya ‘Shaumlah kamu karena kamu sudah melihat hilal dan berIdul fitrilah kamu kalau sudah melihat hilal,’ ”tegas Shiddiq Amien.
Sistem rukyat terbagi ke dalam dua bagian, rukyat lokal dan rukyat global. Rukyat lokal dianut oleh NU dan Mabims (Menteri–Menteri Agama di Brunei Darussalam , Malaysia , Indonesia dan Singapura). Sedangkan rukyat global dianut oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Muslimin Hizbullah.
“Sebenarnya baik NU maupun MABIMS tidak menggunakan rukyat murni, karena keduanya juga berpedoman pada hisab untuk memfilter hasil rukyatnya. Filter itu dinamakan “kriteria” MABIMS/Imkanur Rukyat,” ungkap Ma’rufin Sudibyo kepada Alhikmah.
Hal tersebut diperkuat KH Ghazalie Masroeri ketua Lajnah PBNU, “jangan menganggap NU dalam menentukan penanggalan tidak pakai hitungan (Hisab). Namun yang perlu diperhatikan hisab disini hanya sebagai pendukung rukyat, makna pendukung berarti sebagai ancang-ancang pelaksanaan rukyat agar hasilnya memiliki kulitas yang sangat sempurna,” ungkapnya.
Sama halnya dengan NU, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menganut pola perpaduan antara hisab dan rukyat.
“Hitungan hisab kami kokohkan dengan pengamatan rukyat di awal maupun di akhir Ramadhan. Perpaduan metode hisab-rukyat ini sejauh pandangan kami –wallahu a'lam bissawab- lebih akuratif, valid dan teruji daripada memilih dan atau meninggalkan salah-satunya,” ungkap Sekretaris Pelaksana Majelis Fatwa DDII, Drs. H. Syamsul Bahri.
Pemerintah Indonesia atas dasar Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura atau yang dikenal dengan MABIMS secara resmi memadukan Wujudul Hilal dan Imkan Rukyat.
Sedangkan sitem rukyat global dalam menentukan penanggalan dianut salah satunya oleh Hizbut Tahrir (HT). Sistem ini memandang, jika hilal bisa dilihat salah satu tempat di Negara manapun, maka pada saat itulah masuk bulan baru.
“Artinya, kita menunggu berita rukyat tidak sekedar dari Aceh, tetapi juga dari seluruh dunia,” Ungkap Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI, Ustadz Fahmi Amhar. Dasar keputusan ini menurut Fahmi dilandaskan pada bahwa dalil-dalil puasa itu berlaku umum, tidak dibatasi hanya pada orang tertentu atau penduduk negeri tertentu. “Metode ini disepakati oleh para imam Madzhab, kecuali Imam Syafi’i,” katanya.
Substansi Perbedaan
Perbedaan-perbedaan penentuan tanggal itu terjadi menurut pakar Astronomi dan Astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Dr Thomas Djamaluddin, lebih disebabkan pada kriteria ketinggian hilal.
“Di Indonesia setidaknya ada dua ormas besar yaitu Muhammadiyah dan NU yang berbeda kriteria, namun kini sudah semakin dekat menuju titik temu. Muhammadiyah pada kriteria 0 derajat dan NU pada kriteria 2 derajat, ” papar Thomas kepada Alhikmah.
Senada dengan Thomas, Kepala Observatorium Bosscha, Bandung, Dr. Taufik Hidayat menegaskan bahwa pangkal persoalannya bukan masalah hisab dan rukyat, melainkan pada kriteria dari penampakan hilal. “Jadi Itu yang membuat resiko terjadi perbedaan dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal selalu terjadi,” ungkap Taufik.
Selain perbedaan kriteria, kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan kejadian di sudut belahan dunia manapun bisa diketahui secara global, menjadikan fenomena ini semakin menarik. Teknologi ini memberikan laporan bahwa di satu Negara melihat hilal segera menyebar keseluruh dunia, dan segera dijadikan rujukan rukyat bahwa itu dianggap rukyat yang bersifat global.
Sedangkan peneliti LP2IF-RHI Ma’rufin Sudibyo, melihat perbedaan antara Wujudul Hilaal dan Imkanur Rukyat, sejatinya terletak pada pendefinisian hilaal. Wujudul hilaal, Sudibyo, berhipotesis bahwa hilaal telah wujud (terbentuk/lahir), ketika Matahari terbenam sedikitnya 1 menit lebih awal dibanding Bulan dalam beberapa jam setelah ijtima’.
Sementara, masih menurut Sudibyo, para penganut Imkanur Rukyat berpandangan bahwa pada saat wujudul hilaal, hilaal memang telah terbentuk. Namun sesungguhnya belum mungkin untuk dilihat (belum imkan). Hilaal baru mungkin untuk dilihat jika tingginya minimal 2o saat Matahari terbenam, dengan umur Bulan minimal 8 jam dan elongasi minimal 3o.
“Definisi inilah yang kemudian memunculkan perbedaan,” ungkapnya.
Diantara Solusi
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Aminuddin Yakub mengatakan bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa Pada tahun 2004 nomor 2 /2004, tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sebagai penjembatan perbedaan diantara ormas-ormas Islam.
Dalam fatwa itu dikatakan awal Qomariyah bisa menggunakan hisab dan rukyatul hilal. Pada poin berikutnya MUI memutuskan supaya tidak terjadi perbedaan maka negaralah yang menjadi hakim untuk memutuskan kapan dimulai.
“Maka kaidah fiqihnya Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf, keputusan pemimpin menghentikan perbedaan. Jadi keputusan hakim dalam hal ini pemerintah negara mutlak dan berfungsi untuk menghilangkan perbedaan,” tegas Aminuddin.
Penulis : Muhammad Yasin
Penyunting : hb Sungkaryo
Tim Liputan : Muhammad Yasin, Ernie Ari Susanti
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 38
0 komentar:
Posting Komentar