Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Senin, 17 Januari 2011

Penjajah itu Bernama Korupsi, Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia

Istilah korupsi memang belum ada di zaman Nabi Muhammad. Namun bukan berarti perilaku yang mengarah ke tindakan korupsi itu tidak ada. Kisah sahabat Fatimah menjadi contohnya. Suatu saat Fatimah meminjam kalung hasil ghanimah (harta rampasan perang) dari seseorang. Kemudian kalung itu diambilnya.

Usamah, kerabat dekat rasul mengetahui tindakan yang dilakukan oleh Fatimah segera memberitahu Rasul. Mengetahui hal itu, Rasulullah langsung mengatakan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya umat sebelum kamu binasa karena tatkala si bangsawan mencuri, mereka membiarkannya. Sedangkan apabila si lemah mencuri, mereka mengenakan hukuman hudud. Demi Allah, kalaulah Fatimah binti Muhammad itu mencuri, niscaya akan kupotong tangannya” (HR Bukhari Muslim).

Hadits ini dinilai oleh Guru Besar Universitas Islam Bandung (Unisba) Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA, merupakan kisah yang menggambarkan tindakan korupsi di zaman rasul. Karena ketegasan rasul akhirnya sahabat itu mengembalikannya. Namun yang menjadi perhatian di sini, ternyata korupsi erat kaitannya dengan kekerabatan dan kekuasaan. Dimana Fatimah adalah sahabat dekat Usamah dan Usamah sahabat dekat Rasul.

Bagaimana dengan Negeri ini? Nampaknya kekerabatan ini pula yang memuluskan jalan korupsi di Indonesia, mulai pra kemerdekaan hingga kini. Sementara itu kepemimpinan yang tegas dan adil, masih menjadi mimpi panjang yang belum juga terwujud.

Era Kerajaan
Menurut Amin Rahayu, SS, Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI, sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.

Tradisi korupsi terjadi akibat perebutan kekuasaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekuasaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), dan beberapa prahara lainnya.

Era Belanda
Tahun 1755, dengan Perjanjian Giyanti, asosiasi dagang Belanda, VOC, memecah Mataram menjadi dua kekuasaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dua tahun Kemudian giliran Kasunanan Surakarta menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Namun akhirnya tahun 1799 kejayaan VOC runtuh akibat korupsi. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC.

M. Husni Thamrin dalam tulisannya yang disiapkan bagi program pelatihan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu, menyebut penyebab korupsi yang menghancurkan VOC akibat kecilnya gaji yang diterima para pegawai.

Era Jepang
Jepang awalnya menjadi harapan rakyat Indonesia setelah terusirnya Belanda dari tanah air. Namun, ternyata Jepang memperlakukan Indonesia sebagai arena perang. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya untuk penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian waktu itu. M. Husni Thamrin menyebut saat itu dengan masa merajalelanya korupsi.

Era Kemerdekaan dan Orde Lama
Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, tidak berarti penjajahan korupsi berakhir. Indonesia di bawah Soekarno, tercatat sudah dua kali membentuk Lembaga Pemberantasan Korupsi. Yaitu Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) dan Operasi Budhi.

Paran yang diketuai Abdul Haris Nasution meminta para pejabat pemerintah agar mencatat kekayaannya. Ternyata tindakan itu mendapat reaksi keras dari para pejabat. Paran pun bubar.

Tahun 1963, munculah lembaga Operasi Budhi. Nasution yang saat itu menjabat Menkohankam ditunjuk sebagai ketua. Kali ini tugasnya lebih berat, yaitu meneruskan kasus korupsi ke pengadilan. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.

Era Orde Baru
Lengsernya Soekarno dari kursi presiden memunculkan rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Melalui pidatonya di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi.

Dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung saat itu, Letjen Soegih Arto.

Tahun 1970, mahasiswa melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Hal ini ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat yang dianggap bersih dan berwibawa. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun komite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

M. Husni Thamrin menyebut era orde baru saat itu dengan istilah “Madame Ten Percent.” Setiap ijin investasi baru harus mendapat restu dari istri Soeharto, Ny. Tien Soeharto, yang biasanya meminta imbalan saham 10-15%.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) untuk memberantas korupsi. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi.

Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi
- Bj Habibie
Berakhirnya rezim Soeharto menyimpan PR besar dalam pemberantasan korupsi yang sudah mengakar. BJ Habibie yang diamanahi sebagai presiden mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.

- Abdurrahman Wahid
Setelah Abdurrahman wahid dinobatkan menjadi Presiden berikutnya. Ia membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo. Namun di tengah semangat memberantas korupsi, melalui judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.

- Megawati
Megawati yang muncul menggantikan Abdurrahman Wahid, masih belum membawa angin segar. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN saat itu menjual aset-aset negara. Belum lagi hancurnya wibawa hukum yang membiarkan Pemberian SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan) untuk para pengemplang BLBI, semisal: Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King.

Hal tersebut menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan kurang serius dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pada tahun 2003 dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis. Kemunculan KPK yang diharapkan bisa menggebrak koruptor pada era Megawati masih belum terlihat taringnya.

- Susilo Bambang Yudhoyono
Di era Susilo Bambang Yudhoyono setahun setelah pembentukan KPK beberapa pejabat yang semula tidak tersentuh hukum, satu persatu mulai diusut. Tidak tanggung-tanggung pelacakan KPK sampai pada Aulia Pohan, besan Presiden. Apakah ini sebuah keberhasilan? Belum tentu!

Situs Okezone menyebutkan bahwa Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, selama tiga tahun sejak 2005 hingga 2008, sebanyak 950 terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh pengadilan umum dan Mahkamah Agung. Menurut  kinerja pengadilan umum dan Mahkamah Agung berada pada tren yang terus memburuk.

Dalam catatan ICW, tren vonis bebas di pengadilan umum terus meningkat sejak 2005-2008, yakni 54 divonis bebas dari 243 terdakwa atau 22,22 persen di tahun 2005, 116 divonis bebas dari 361 terdakwa 31,4 persen di tahun 2006, 212 divonis bebas dari 373 terdakwa atau 56,84 persen di tahun 2007, dan 277 divonis bebas dari 444 terdakwa atau 62,38 persen di tahun 2008.

Perjalanan penjajah korupsi masih panjang. KPK dinilai lambat oleh sebagian kalangan dan belum menyentuh kasus-kasus besar. Belum lagi kasus yang telah ditangani ternyata begitu mudah dilepas oleh lembaga lain.

0 komentar:

Posting Komentar