Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Ar-Ruum:21)
Kerap terdengar dalam berbagai kesempatan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah (tenteram), mawaddah (penuh cinta), dan wa rahmah kasih-sayang). Dengan sebuah ikatan suci pernikahan, sepasang makhluk telah menjaga kelangsungan generasi pelanjut kehidupan Islam, selain berharap mendapatkan ketenangan jiwa dalam mengarungi samudera kehidupan rumah tangga yang fana, untuk pencapaian tujuan mulia, Ridla Allah Subhanahuwata’ala.
Bahkan Baginda Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, kalau ada di antara kalian yang sudah mampu menikah, segeralah menikah. Sebab, pernikahan bisa menahan penglihatan dan menjaga kemaluan. Tapi, kalau ada yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa. Sebab, puasa adalah peredam gejolak syahwat."
Namun, perlu diingat sebuah keterangan yang menyebutkan syarat pasangan hidup yang kelak akan mendampingi kita, agar kelak di kemudian hari hikmah hakiki dari pernikahan itu sendiri benar-benar dapat terwuju: Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : 1) karena hartanya 2) karena (asal-usul) keturunannya 3) karena kecantikannya; 4) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a)
Jangan sampai, hanya karena hawa nafsu yang dibalut cinta sesaat, membuat kita mengambil sebuah keputusan sembrono dalam menentukan pasangan hidup. Terlebih menikah dengan pasangan berlainan keyakinan.
Prof. Dr. dr. Dadang Hawari, Psikolog sekaligus Guru Besar Tetap di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) ini kepada Alhikmah mengingatkan dampak yang akan terjadi terhadap para pelaku Pernikahan Beda Agama (PBA). “Selain akan merasa berbeda dalam melaksanakan keimanan dengan pasangannya, pelaku PBA akan mengalami depresi dan rasa cemas. kemudian lingkungan sosial mengucilkannya, bahkan kemudian mereka menjalankan ibadah agamanya masing-masing, hanya sebagai formalitas belaka,” ungkap Dadang.
Pengamat Sosial Keagamaan, sekaligus Dosen Psikologi Agama Universitas Padjadjaran (UNPAD), Drs. K.H. Mustafid Amna. M.A., yang ditemui Alhikmah di sela kesibukannya sepenggal waktu lalu, sempat menuturkan kisah nyata seorang rekannya, pelaku Pernikahan Beda Agama. Sebelum disahkannya UU No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan yang melarang praktek PBA, temannya itu jatuh cinta pada seorang pemudi Kristen. Mereka pun menikah tanpa ada hambatan hukum positif.
Namun, lanjut Mustafid Amna, ketika istri rekannya itu hamil, mulai ada masalah.”Anak kita nanti agamanya apa?” Mereka pun berkomitmen bahwa agama anaknya bergantung pada jenis kelamin anak tersebut. Kalo perempuan ikut sang istri. Sebaliknya, jika laki-laki ikut bapaknya. Komitmen tertulis pun disepakati dan ditanda tangani bersama.
Saat melahirkan bayi pertama ternyata perempuan. Berarti di rumah ada 2 katolik 1 Muslim, sesuai kesepakatan. Saat anak kedua lahir, disusul yang ketiga dan keempat, dan lagi-lagi semuanya berjenis kelamin perempuan, akhirnya sang bapak berpikir untuk ikut menjadi Katolik, untuk menjaga keutuhan rumah tangga mereka.
Mendengar kisah KH. Mustafid Amna, menegaskan betapa pentingnya hubungan secara akidah antara sepasang suami-isteri dan anak-anaknya dalam sebuah mahligai rumah tangga.
Direktur Irena Center, Hj. Irena Handono, menganalogikan Pernikahan Beda Agama sebagai sebuah kapal dengan dua Nakhoda, yang otomatis memiliki dua keinginan. Agama, menurut irena, adalah pedoman hidup.
“Tapi dalam kehidupan Pernikahan Beda Agama, misalnya, suaminya yang muslim, saat menggauli istrinya seharusnya itu kan ibadah. Sebelum menggauli, berdo‘a, setelah selesai mandi besar. Tapi karena istrinya non muslim, maka tidak kenal hukum itu, tidak mensucikan diri, dan malam berikutnya berhubungan lagi. Perbuatan ini menjadi haram bukannya ibadah,“ tegas mantan biarawati ini.
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang menjadikan Allah SWT sebagai pemersatunya.
Maka, selipkanlah do’a dalam setiap kesempatan yang Allah berikan, agar kita senantiasa terlindung dari nafsu cinta yang menyesatkan. Agar pernikahan yang akan, pun tengah kita jalani, tergolong pernikahan yang indah. Pernikahan penuh hikmah.
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa."
HB Sungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy AS, Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 33
0 komentar:
Posting Komentar