Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Selasa, 04 Januari 2011

Politik Cinta Pernikahan Beda Agama

“Di Minggu kedua bulan Maret 2009 ini saja, sudah ada tiga kasus yang kita tangani. Misalnya ada yang sudah menikah selama 6 tahun setelah sebelumnya masuk Islam dan telah memiliki 2 anak akhirnya lelaki tersebut balik lagi pindah agama. Terus ada juga pasangan yang sudah punya anak 2 dan telah menikah selama 9 tahun kemudian suaminya balik lagi pindah agama”

"Sembilan puluh sembilan persen dalam agama kita menghukumi kamu kawin tidak sah, suatu dosa yang sangat besar, salah satu yang terbesar dalam agama kita setelah syirik, durhaka pada orangtua, membunuh, dan merusak alam," tulis Cak Nur  dalam suratnya kepada Nadia, 13 Agustus 2001. (Gatra.com, 16 April 2002)

Nadia adalah putri  mendiang Nurcholish Madjid. Jika menilik kutipan surat orang  yang oleh banyak kalangan disebut-sebut  sebagai tokoh Liberalisasi Islam di Indonesia ini, tersirat kekecewaan yang luar biasa, tatkala putrinya yang muslimah itu berencana menikah dengan seorang pemuda Yahudi bernama David Bychkov.

Malah, seperti dilansir situs Gatra.com, Cak Nur sempat mengancam putus hubungan keluarga dengan Nadia kalau nasihatnya tak dipatuhi. Namun, akhirnya, dia bisa diyakinkan oleh Nadia. Menurut putri Cak Nur satu-satunya ini, sejak September 2000, David mulai tertarik pada Islam setelah membaca buku-buku tentang Islam. Namun, masalahnya dianggap belum tuntas, karena David menolak menyatakan keislamannya secara terbuka, seperti yang diminta Cak Nur.

Keinginan sang anak tak mampu dibendung. 29 September 2001, di Washington, DC, Amerika Serikat, mereka akhirnya menikah.
         
Di Bandung September 2002, setahun setelah peristiwa yang menghebokan itu, terulang pula peristiwa nyaris serupa. Seorang muslimah mojang priangan, sebut saja N, dinikahi Eric Madsen, seorang pria warga negara Norwegia.

Inilah politik cinta. Atas nama cinta, N termakan bujuk rayu bule Skandinavia itu. Ia berpura-pura  rela menjadi mualaf. Setelah menikah dan memiliki 2 anak, Madsen pergi begitu saja menelantarkan N lahir batin, setelah sebelumnya menggugat N dengan tuduhan pemalsuan akta nikah dan sertifikat mualaf. N pun sempat mengecap penat hotel prodeo, akibat kasus tersebut.

Kisah N berhasil terkuak, setelah tim Alhikmah berhasil mewawancarai pamannya di kediaman dia, kawasan Bandung Timur. Sang Paman, menceritakan pengalaman keponakannya itu (N_red) panjang lebar. Termasuk saat menemukan pesan dalam catatan harian N dengan judul besar “Pernikahan Beda Agama Berakhir Duka”. “Untuk para wanita berhati-hatilah sebelum menikah, jangan mengandalkan cinta semata, teliti terlebih dahulu calon suami kita, jangan sampai beda keyakinan dan jangan sampai terjerembab ke perzinahan dan pemalsuan, yang bisa berakibat sakit lahir dan batin,” begitu pesan N dalam catatan hariannya itu.

Motif  Cinta dan Hak Asasi Manusia
Bagi Abu Deedat Syihabudin, Sekjen Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA), kasus-kasus Pernikahan Beda Agama (PBA) seperti tergambar di atas merupakan bahaya nyata yang harus terus diwaspadai. 

Saat dihubungi Alhikmah via telepon, Abu Deedat menyatakan keprihatinannya. “Di minggu kedua bulan Maret 2009 ini saja, sudah ada tiga kasus yang kita tangani. Misalnya ada yang sudah menikah selama 6 tahun setelah sebelumnya masuk Islam dan telah memiliki 2 anak akhirnya lelaki tersebut balik lagi pindah agama. Terus ada juga pasangan yang sudah punya anak 2 dan telah menikah selama 9 tahun kemudian suaminya balik lagi pindah agama,” Jelas Abu Deedat.

Ada dua motif, menurut Deedat, yang melatarbelakangi PBA. Pertama, kelemahan umat dalam pemahaman agama. Sehingga, meski berbeda keyakinan, asalkan cinta sepasang muda-mudi merasa biasa-biasa saja membina mahligai rumah tangga. Padahal jelas, agama melarang PBA.

Kedua, karena diusungnya paham pluralisme agama dan Liberalisme, diantaranya  oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Sehingga siapapun yang menghalangi pasangan beda agama untuk menikah, dianggap melanggar HAM.

Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Adian Husaini, saat dihubungi Alhikmah, mengamini pendapat Abu Deedat. Kandidat Doktor bidang pemikiran dan peradaban Islam di International   Institute of Islamic Thought and Civilization-- Internasional Islamic  University Malaysia (ISTAC-IIUM) ini mengatakan, di dalam deklarasi universal Hak Asasi Manusia (HAM) dijamin hak setiap orang untuk menikah dengan siapa saja tanpa memandang bangsa, suku dan termasuk agama. Perkawinan itu termasuk HAM. Jadi, jika orang ingin menikah dengan beda bangsa, suku dan agama itu hak asasi mereka dan tidak boleh ada yang menghalang-halangi.

“Nah, kaum liberal menggunakan pasal ini untuk memperbolehkan pernikahan beda agama. Maka kemudian lahirlah buku seperti buku Fiqh Lintas Agama, Kado Cinta Pernikahan Beda Agama. Mereka membuat kajian tafsir-tafsir ulang terhadap ayat-ayat yang melarang menikah beda agama, “ ungkap Cendekiawan muslim yang gigih menentang paham isme Sipilis (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) ini.

Sudut Pandang Islam, Psikologi dan Komunikasi
 Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali M. Da’i, MA kepada Alhikmah mengatakan, bahwa  Pernikahan Beda Agama harus dipisahkan antara seorang laki-laki muslim ataupun wanita muslimah. “Kalau wanita muslimah jelas haram menikah kepada laki-laki non muslim,” tegas ustadz Athian, menukil Q.S. Albaqarah: 221,

 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik  walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Permasalahan timbul, ungkap Athian, ketika laki-laki muslim akan menikahi  wanita non muslim.

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”. (Q.S. Almaidah:  5)

Maksud ayat tersebut, lanjut ustadz Athian, ketika kaum Muslimin telah memenangkan peperangan, kemudian para sahabat bertanya kepada Rasul tentang sembelihan mereka boleh dimakan atau tidak? Allah menjelaskan hidangannya halal, begitu juga wanitanya.

“Dasar pendapat membolehkan, kebanyakan jumhur ulama membolehkan. Tetapi yang dimaksud ahlul kitab pada masa turunnya Alquran di zaman Rasul, ketika belum mengalami kesesatan. Ahlul kitab saat ini banyak mengalami kesesatan,” tegas ulama kharismatik Jawa Barat ini.

Masih menurut ustadz Athian, ada juga kecenderungan para ulama beranggapan kepada pendapat yang mengharamkan PBA, karena ikatan Rumah Tangga perkawinan bukan hanya sekedar menyatukan dua insan, melainkan sakinah  mawaddah wa rahmah.

Senada dengan ustadz Athian, Direktur Irena Center, Hj. Irena Handono yang ditemui Alhikmah di kediamannya beberapa waktu lalu menegaskan, “berbicara tentang ahlul kitab kalau kita jujur melihat semua gereja diseluruh dunia ini, konsep tuhannya trinitas.  Jadi, mereka masuk golongan ahlul kitab yang ingkar.”

Mereka, ungkap mantan biarawati ini, memakai injil Matius, Markus, Yohannes, Lukas sebagai pedoman hukum yang isinya tentang kehidupan bermasyarakat. Berarti bukan menggunakan kitab Allah. “Lagi pula yang dipakai adalah kitab yang sudah diubah-ubah. Berarti mereka masuk ke golongan ingkar. Mereka yang yang ingkar inilah yang dinamakan Kristen,” papar Irena.

Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa tentang haramnya PBA. Fatwa MUI Nomor 4/MUNAS VII/MUI/ 8/ 2005 ini keluar dengan berbagai pertimbangan. Antara lain, bahwa PBA bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, fatwa ini pun didasari  kemunculan pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan.

Saat dihubungi Alhikmah belum lama ini, Prof. Dr. H.M. Amin Suma, MA., SH, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI pusat membenarkan perihal fatwa haram Pernikahan Beda Agama yang dikeluarkan MUI medio 2005 lalu.

Fatwa MUI ini, menurut Amin, sejalan dengan Instruksi Presiden no 1 tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam kategori perkawinan harus antar pemeluk agama yang terdapat dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 poin C dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. 

Kemudian pasal 44 yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. “Dan ini pun sesuai dengan pasal 2 UU No. 1/1974, bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,” ungkapnya.

Gejala PBA ini pun tak luput digali dari sudut pandang komunikasi. Prof. Deddy Mulyana, Guru Besar komunikasi  Unpad ini mengatakan bahwa pada tataran komunikasi, perkawinan merupakan akulturasi dua budaya. Suatu sistem nilai, ada sisi manusianya.

Lebih lanjut, menurut Deddy, “Sistem nilai  mempengaruhi cara pandang manusia terhadap suatu realitas. Maka, semakin beda sistem nilai, akan semakin sulit pula berkomunikasi dan berinteraksi secara harmonis.”

Mengenai dampak psikologis pelaku PBA, Psikolog Islam, yang juga merupakan salah satu Ketua MUI Pusat, Prof. Dr. Hj. Zakiah Darajat, kepada Alhikmah mengemukakan pandangannya. “Agama itu psikologi, masalah kejiwaan bagi penganutnya, bukan sesuatu yang dangkal. Kalau prinsip beda, bagaimana bisa rukun? Mungkin rukun, tapi yang ada saling mengejek ajaran agama pasangannya secara tidak langsung,” Papar Zakiah.

HB Sungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Soleh, Mia Gamalia
 Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 33

0 komentar:

Posting Komentar