Ramadhan di Persimpangan. Artinya, sebuah pilihan yang kita sendiri pada akhirnya menentukan, kemana hidup ini diarahkan. Sekedar mampir di Rest Area, untuk rehat sejenak melepas penat, lalu kembali terjebak di rutinitas yang serba tak jelas. Atau, juga mampir di Rest Area, berkontemplasi, merenung, temukan jawaban atas pertanyaan dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup? Dan akan kemana kita nanti menuju? Barulah memutuskan, simpangan mana yang akan dipilih, sebagai jalan kebenaran.
Sebagaimana firman Allah Swt;
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil).” (Q.S. Albaqarah; 185)
Masih dalam surat, yang sama Allah SWT mengabulkan doa seseorang di bulan Ramadhan.
“Dan apabaila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) tetang aku, maka sesungguhny aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklan mereka itu memenuhi (perintah)Ku dan beriman kepadaKu, agar mereka memperolah kebenaran.”(Q.S. Albaqarah; 186)
Sejarah bahkan merekam, Perang Badar yang terjadi di tahun ke-2 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, meraih kemenangan besar. Beberapa pertempuran dalam perang Tabuk, terjadi pada bulan Ramadhan. Dan sederet peristiwa penting lainnya.
Ramadhan dan McDonaldisasi Agama
Namun, kini, disadari atau tidak, ada pergeseran pemaknaan bulan suci Ramadhan itu sendiri. Semangat memperbaiki diri, melalui beragam aktivitas keagamaan, mulai terkontaminasi, bahkan termarjinalisasi dalam kepungan arus modernitas.
Maka, tantangannya pun tak kalah hebat dibandingkan para pendahulu yang telah memberi contoh sejak mula. Terlebih, arus informasi sudah sedemikian deras mengaliri alam pikir setiap orang, termasuk umat Islam.
Muncul istilah “McDonaldisasi Agama” di Bulan Ramadhan. Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Asep Purnama Bahtiar, dan Direktur American Corner UMY, Endro Dwi Hatmanto dalam artikelnya menyebut terminologi McDonaldisasi pertama kali dikemukakan oleh George Ritzer (1993), sosiolog kawakan dari Amerika Serikat, untuk menggambarkan bentuk partikular dari proses rasionalisasi dan standardisasi dari seluruh wilayah kehidupan.
Acara-acara Ramadhan di televisi misalnya, dibuat secara instan dan selebritif, serta model dan formatnya mirip antara satu dengan lainnya. Semangat masyarakat dalam menyambut bulan suci ini digiring menjadi suatu peluang bisnis yang menguntungkan bagi “mereka”.
Kepada Alhikmah, Dina Sudjana (40), seorang ibu rumah tangga yang saat ini berdomisili di Jepang mengikuti suaminya, mengakui hal tersebut. Dina, menyebutkan bahwa tradisi Ramadhan memang saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh budaya konsumtif, permisif dan cenderung mementingkan materi semata.
“kami para ibu memang gampang tergoda dengan hal-hal yang berbau konsumtif. Kadang iklan yang gencar di TV memang membuat saya tergoda untuk membeli suatu produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan.”
Dina mengakui juga bahwa pada masa ini budaya Ramadhan mengalami pergeseran yang sangat terasa. Saat ini seluruh lapisan masyarakat berlomba-lomba menyambut Ramadhan dengan iberbagai macam kegiatan yang sangat kreatif. Iklan – iklan dan tayangan sinetron religi pun marak berseliweran di televisi, di majalah atau koran di pinggir-pinggir jalan.
Dina yang sudah lima (5) tahun hidup di Jepang menyoroti fenomena serba mendadak religius di bulan ramadhan ini sebagai sesuatu yang sebenarnya cukup baik. Namun, katanya, harus diimbangi dengan tingkat religiusitas yang sama di bulan-bulan lain di luar Ramadhan.
Menjaga Nilai Ramadhan
Upaya mempertahankan nilai positif dalam beribadah seusai Ramadhan menurut Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Islam, Drs. Yadi Purwanto, MM., MBA ditentukan oleh dua faktor; Yaitu indivudu dan lingkungan.
Pertama, Faktor Individu. Di dalam Individu, terdapat dua bagian yang perlu diperbaiki, yaitu: 1) Akal. Akal disuapi dengan ilmu yang benar. Sarananya di bulan ramadhan sangat banyak, mulai dari mengaji dan ceramah. 2)Nafsiyah atau Jiwa. Dari jiwa ini ada kebutuhan bathiniyah. Bulan Ramadhan sudah saatnya nafsiyah harus dibersihkan dengan banyak istigfar.
Kedua, Faktor Lingkungan. Lingkungan menurut Yadi perlu dibersihkan dari beragam maksiat. Penutupan ini tidak hanya dilakukan selama Ramadhan, melainkan setiap hari. Sehingga, anak-anak dididik dengan baik oleh lingkungan yang baik.
Sedangkan menurut pandangan Wakil Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI), Drs. Aminuddin Yakub, untuk menjaga kesucian Ramadhan itu caranya dengan menganggap bahwa setiap bulan itu bulan Ramadhan. Artinya, semangat Ramadhan tidak hanya dijalankan dan dimanfaatkan hanya dalam waktu satu bulan saja.
“Seseorang yang bertakwa kepada Allah akan menjaga perilakunya setiap hari. Cermin ketakwaan seseorang akan bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari selama setahun. Maka, untuk menjaga ketakwaan tentunya dengan menjaga semangat Ramadhan terus membara di sepanjang bulan,”ungkapnya.
Insya Allah, Ramadhan kali ini, kita lebih siap memutuskan, jalan mana di persimpangan nanti yang akan dipilih. Wallahu a’lam
Hbsungkaryo, Muhammad Yasin, Ligya Nostalina
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 37
Tulisan berkaitan
0 komentar:
Posting Komentar