Kita Adalah Apa yang kita makan!
Pentingnya Konsumsi Produk Halal dan Thayyib
Pernahkah terlintas tanya dalam benak, tentang kehalalan makanan, minuman, pun beragam produk yang kita konsumsi sehari-hari, baik di rumah, restoran dan warung-warung nasi?
Daging ayam, misalnya. Dalam hukum Islam, secara zat, jenis daging ini terkategori makanan yang halal dikonsumsi. Namun kemudian, jika tidak diiringi proses yang juga syar’i, mulai penyembelihan, peracikan bumbu, hingga penyajian, tentu saja kehalalannya menjadi diragukan.
Boleh jadi, ayam tersebut disembelih tanpa mengucap basmalah. Atau saat tengah meregang nyawa setelah disembelih, jasad ayam yang belum benar-benar mati sudah dicelupkan ke dalam air mendidih. Kemungkinan besar ayam itu mati karena panasnya air, bukan sebab disembelih. Atau digoreng menggunakan minyak yang sebelumnya telah digunakan untuk memasak daging babi. Bahkan, bisa jadi ayam yang sudah mati sebelum disembelih, yang moncer dibahasakan ayam tiren (mati kemaren_red).
Tak hanya ayam, ada banyak daging dan sayuran lainnya yang sebetulnya halal, tapi dalam proses penyajiannya ternyata menyalahi perintah yang telah ditentukan oleh Islam.
Belum lagi, zat haram yang terkandung dalam daging babi kini tidak hanya terdapat dalam makanan dan minuman, namun merambah ke obat-obatan, kosmetik, sikat gigi dan produk lainnya yang belum banyak diketahui oleh kaum Muslim secara luas.
Tahun 1989, merespon keresahan masyarakat atas hasil penelitian Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang Prof. dr Ir. Tri Susnto, M.Sc yang menemukan beberapa produk mengandung lemak babi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera membentuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan Dan Kosmetika (LPPOM). Tugas LPPOM mengeluarkan sertifikasi halal bagi perusahaan-perusahaan yang ingin memasarkan produknya.
Namun, sayangnya sertifikasi halal ini sampai sekarang masih belum bisa sepenuhnya mententramkan hati umat Islam dalam mengkonsumsi berbagai macam produk yang beredar.
Masih segar dalam ingatan kita, saat beberapa waktu lalu masyarakat Jawa Barat digemparkan oleh penemuan produk makanan bertuliskan dendeng sapi berlabel halal, yang ternyata berisi dendeng babi. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri oleh Lembaga Advokasi Konsumen Muslim Indonesia (AKMI). yang diketuai Azra'i Ridha, SH.
“Seperti kasus dendeng sapi yang rupanya dendeng babi, kita langsung melaporkan ke Mabes Polri. Hasilnya, sampai hari ini tidak ada reaksi dari Mabes Polri,” sesal Ketua AKMI, Azra’i Ridha, kepada Alhikmah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dinas Peternakan Jawa Barat sejak saat itu menghimbau masyarakat agar berhati-hati dalam membeli produk dendeng atau abon.
Selang sebulan isu vaksin meningitis berisi unsur babi yang disuntik kepada para calon haji merebak hingga manca negara. Kasus vaksin meningitis bermula dari hasil penelitian LPPOM MUI Sumatera Selatan yang bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, bahwa vaksin tersebut mengandung enzim babi. Hasil penelitian tersebut kemudian dirilis Ketua MUI Sumsel, KH Sodikun, 24 April 2009 lalu.
Jika kita melihat data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, seperti yang disampaikan Dosen Jurusan Teknologi Industri Pertanian Universitas Brawijaya Sucipto, STP. MP. kepada Alhikmah, industri pangan skala besar, sedang, kecil, dan rumah tangga telah mengeluarkan 1.209.172 produk pangan yang beredar dipasaran.
Menurut LPPOM MUI, dari jumlah 1.209.172 produk pangan yang beredar dipasaran, hanya 874 produk yang memiliki sertifikasi halal atau hanya sekitar 0.070 persen. Belum lagi banyaknya Rumah Potong Hewan (RPH) di Indonesia yang belum bersertifikasi halal.
Tidak jauh beda dengan data pangan, data Perkosmi (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) dari 744 perusahaan kosmetika dan toiletries di Indonesia, hanya sekitar 3% yang telah memiliki sertifikasi halal dari LPPOM MUI.
Direktur LPPOM MUI, Ir. H. Muhamad Nadratuzzaman Hossen, MS., MEc., Ph.D., kepada Alhikmah menyebutkan, terdapat sekitar 5000 perusahaan dengan jumlah produk hampir 200.000 yang mendaftarkan produknya ke MUI pusat.
“Untuk obat dan kosmetik masih sedikit, karena mereka tidak tertarik untuk melakukan sertifikasi halal. Lebih banyak makanan dan minuman. Restoran juga belum banyak. Yang banyak itu industri besar, industri yang menengah ke bawah masih sedikit,” ungkap Nadratuzzaman saat ditemui Alhikmah di kantor LPPOM MUI, medio Oktober 2009 lalu.
Lemahnya perangkat Hukum
Perlu diketahui bahwa sertifikasi halal hanyalah logo yang dikeluarkan oleh BPOM MUI setelah melakukan penelitian terhadap perusahaan yang secara suka rela ingin mendapatkan sertifikasi halal dari MUI. Artinya bahwa logo ini tidaklah memiliki payung hukum yang kuat di Negeri ini.
Hal tersebut diakui oleh Muhamad Nadratuzzaman, bahwa berbicara mengenai logo halal harusnya wewenang pemerintah, LPPOM tidak mempunyai wewenang apa-apa.
Meski demikian, terdapat produk hukum lain seperti UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU No 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan serta UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bisa menjerat para penyebar produk haram.
Misalnya, dalam UU No No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disebutkan pada Pasal 4 bahwa konsumen berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur dari produsen. Selain itu, dalam pasal 7, dijelaskan bahwa produsen wajib memberi jaminan kepada konsumen dan beritikad baik dalam usahanya.
Artinya, menurut Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Kota Bandung Yayan Sutarna, MH, setiap pelaku usaha sudah tahu bahwa halal dan haram itu bukan rahasia umum lagi. Sehingga, tambah Yayan, ketika ada produk haram yang ingin dipasarkan, maka dari hati kecilnya pengusaha harus jujur mengatakan bahwa produk itu haram.
Namun semua itu, menurut Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Muslim (YLKM), Aries Kurniawan, S.E,M.Hum, tetap saja belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum kepada umat Islam untuk mengenal pangan dan produk lainnya yang halal.
Jaminan Produk Halal
Lemahnya payung hukum membuat banyak lembaga konsumen muslim menginginkan terbentuknya UU Jaminan Produk Halal (JPH), sehingga logo halal nantinya akan berbadan hukum, tidak sekedar formalitas label.
Sayangnya pembahasan RUU JPH yang tengah dimusyawarahkan oleh Komisi VIII DPR periode 2004-2009 terus tertunda, hingga kini, saat digantikan anggota DPR periode 2009-2014. Terjadi polemik antara MUI dan Departeman Agama, tentang siapa yang berwenang mengatur Jaminan Produk Halal.
“Kalau polemik itu terus terjadi maka para pedagang seenak saja melakukan beragam penyalahgunan. Tapi kalau ada nilai eksekusitorial maka ada dasar hukum bagai penegak hukum untuk melakukan tindakan hukum. Ini yang kita harapkan dengan adanya UU Jaminan Produk Halal. Maka kita berpikir supaya antara MUI dan Depag ini bisa ada titik temu,” tutur ketua Advokasi Konsumen Muslim Indonesia, Azra'i Ridha, SH.
Kurangnya Kesadaran Masyarakat
Masyarakat Indonesia yang mayoritas umat Islam setidaknya bisa bersikap kritis terhadap segala produk yang masih diragukan kehalalannya. Sayangnya hal ini jauh dari harapan,
Seperti yang dialami lembaga Advokasi Konsumen Muslim Indonesia (AKMI), misalnya. Menurut penuturan Azra’i, pertahun, masyarakat yang menyampaikan produk teridentifiksi haram hanya ada 10 kasus, dari ratusan ribu produk yang masih diragukan kehalalannya.
“Ini menunjukan faktor minimnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya konsumsi produk halal. Kurangnya kesadaran masyarakat juga tercermin ketika kita melakukan survei ke supermarket dan pusat perbelanjaan. Mereka yang berbelanja tidak melihat label halalnya, mereka asal beli saja,” papar Azra’i.
Selain itu, Azrai melihat masyarakat kadang tidak mau sedikit repot. “Ada yang melaporkan, namun ketika AKMI menindaklanjuti untuk melaporkan ke polisi mereka lantas mundur,” katanya.
Hal tersebut diamini Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Muslim (YLKM) Imbalo Iman Sakti. Tak hanya masyarakat biasa, banyak diantara pejabat dan tokoh agama, kerap mampir untuk menikmati menu seafood di beberapa restaurant di Batam.
“Padahal sebenarnya jika ditelusuri seafood itu bisa saja haram karena sausnya yang dari angciu (Arak Cina) atau campuran yang lain dalam bumbu. Atau masakan dengan pembakaran menggunakan khamar. Apalagi di restoran-restoran yang besar sudah banyak tercampur antara daging yang halal dengan daging haram di freezer. Termasuk ada beberapa mall yang menjual daging babi dan sapi dalam satu tempat,” papar Imbalo.
Karena masyarakat Muslim tidak terlalu jeli dan mempermasalahkan logo halal maka produsen pun menurut Imbalo juga tidak akan peduli. Mereka berpikir meskipun produknya tidak berlabel halal konsumen pasti akan membeli produk itu.
Lain halnya pendapat Pakar Ekonomi Syariah, Agustianto. Menurutnya konsumen atau masyarakat Indonesia sendiri secara kuantitatif kesadarannya cukup tinggi, namun hal itu tidak berbanding lurus dengan kesadaran para produsennya.
“Apalagi produsen seringkali tidak menjadikan halal haram ini sebagai tujuan, yang ada hanyalah keuntungan ekonomi saja. Ada pemasukan uang untuk mereka. Di Indonesia sendiri lebih banyak produsen yang non muslim sehingga ketika ada Undang-undang halal tersebut banyak produsen yang tidak setuju,” ungkap Agustianto
Belum lagi hal ini diperparah dengan produsen muslim yang memiliki tingkat kesadaran dan pengetahuan agama yang rendah. Karena masalah agama bukanlah prioritas mereka, yang paling terpenting adalah adanya uang atau pemasukan yang dihasilkan.
Sertifikasi Halal di Negeri Minoritas Muslim
Data cukup mencengangkan terjadi. Menurut Pengkaji Produk Makanan Halal di Asia Tenggara, Afriadi Sanusi, Statistik mencatat bahwa saat ini Negara-negara non Islam seperti Jepang, USA, Australia, Singapura dan Negara lainnya lebih intensif melakukan berbagai macam kajian, seminar, dan pendanaan sertifikasi halal, daripada Negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam seperti Indonesia.
Senada dengan Afriadi Sanusi, Pengurus Halal Watch, DR. Yono Reksoprodjo, mengatakan bahwa saat ini Thailand, Philipina dan Australia sedang gencar-gencarnya melakukan sertifikasi halal. Bahkan Australia menurutnya berencana menjadikan produk susu dan keju mereka menjadi halal.
“Mereka sadar bahwa pangsa pasar muslim sangat besar. Alasan lainnya, orang-orang yang baru saja mempelajari Islam, lebih yakin dan aman jika memilih produk yang ada sertifikasi halalnya. Sebab dari produk itu pastinya akan terjamin kebersihannya,” tegas Yono.
Mengapa Harus Halal dan Thayyib
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”
(QS. Al maidah : 88)
Merujuk kepada pengertian, kata halal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Secara sederhana Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, KH Anwar Ibrahim memberikan penjelasan bahwa halal adalah segala sesuatu yang suci, baik, dan tidak mengandung madhorot (memiliki efek negatif). Demikian pula sebaliknya, haram adalah semua yang najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung madhorot.
Makanan yang telah Allah SWT halalkan mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya makanan yang telah Allah haramkan memberikan madharat kepada ruh dan jasad kita. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad.
“Islam ini kan agama yang memberi tuntunan dan pedoman hidup secara menyeluruh untuk mengantarkan umat manusia yang tidak hanya memperoleh kesejahteraan dunia dan akhirat, tapi juga bertujuan untuk memelihara keselamatan agama, jiwa dan akal serta keturunan. Segala sesuatu yang dilarang Allah pasti ada manfaatnya,” Ungkap Anwar Ibrahim.
Dilihat dari sisi medis konsultan AKMI dr. Amirsyah Tambunan kepada Alhikmah mengemukakan bahwa makanan yang kita makan baik berupa karbohidrat, vitamin dan mineral merupakan zat yang langsung diserap oleh tubuh kita dalam rangka melakukan aktivitas. Maka aktivitas fisik kita sangat dipengaruhi oleh makanan yang kita makan.
Makanan yang halal dan thayyib (baik dan sehat) akan memberikan pengaruh positif dalam melakukan aktivitas. Sebaliknya makanan yang haram juga memberikan pengaruh negatif.
Liputan Erni AS
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 40
Tulisan Berkaitan
Pilih yang Halal, Tinggalkan yang Haram dan Meragukan
Mengungkap Rumah Potong Ayam hingga Cokelat Memabukkan
0 komentar:
Posting Komentar