“Sebuah riset di Amerika menegaskan,bahwa shalat dapat memberikan kekuatan terhadap tingkat kekebalan tubuh orang-orang yang rajin melaksanakannya melawan berbagai penyakit, salah satunya penyakit kanker.”
Allah SWT dalam menyampaikan wahyunya kepada Nabi Muhammad Saw menggunakan perantara Malaikat Jibril. Namun wahyu untuk perintah shalat, tidak seperti biasanya. Allah SWT saat itu langsung mengundang Nabi Muhammad Saw ke langit.
Bahkan dalam beberapa riwayat Bukhari dan Muslim, isi hati Rasulullah dibersihkan dulu dengan cara dibedah oleh malaikat Jibril. Pertemuan Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw ini kemudian dikenal dengan sebutan peristiwa Isra Miraj.
Shalat merupakan salah satu ibadah wajib diantara ibadah-ibadah wajib lainnya. Sebagaimana termaktub dalam alquran surat Ibrahim ayat 31. “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: Hendaklah mereka mendirikan shalat..”
Tapi shalat memiliki perbedaan dari ibadah wajib lainnya. Perbedaan tersebut selain dari segi penerimaan wahyu secara langsung, juga terletak dari penekanan keutamaan shalat itu sendiri.
Jika dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat seseorang tidak mampu mengerjakan kewajiban shaum, zakat dan haji, itu tak menjadi soal. Lain halnya dengan shalat. Seandainya tak tersedia air untuk bersuci, maka gunakan debu, yang kita kenal dengan istilah tayamum. Jika tengah dalam perjalanan, ada dispensasi dengan meringkaskan shalat (shalat Safar). Ketika tak mampu berdiri, maka ada keringanan dengan cara duduk. Jika tidak mampu duduk, maka berbaringlah. Jika tidak bisa dengan berbaring, maka gunakan isyarat mata.
Jika tidak hafal bacaan-bacaan shalat, bacalah takbir atau bacaan lainnya yang mudah. Bahkan, saat berada di tengah medan pertempuran pun, shalat harus tetap ditegakkan (Shalat Khauf). Perintah shalat baru bisa gugur apabila seseorang mengalami kehilangan ingatan (gila) dan perempuan sedang mengalami masa haidh dan nifas.
Maka tidak aneh jika kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa menjaganya (shalat), maka shalat itu baginya menjadi cahaya, bukti dan keselamatan di hari kiamat. Siapa yang tidak menjaganya, maka shalat itu tidak menjadi cahaya baginya, tidak menjadi bukti, dan tidak menjadi keselamatan. Dan di hari kiamat dia itu bersama Qarun, Firaun, Hamam, dan Ubaiy Ibnu Khalaf.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Haitsami).
Definisi dan Dimensi
Nabil Abdurrahman, Lc dalam artikelnya “Manfaat Dimensi Shalat dalam Sendi Kehidupan Manusia” menuliskan terminologi shalat sebagai sebuah ibadah yang terdiri dari beberapa ucapan dan gerakan yang sudah ditentukan aturannya yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Lebih jauh, definisi ini merupakan hasil rumusan dari apa yang disabdakan Nabi SAW: “Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Dengan demikian, dasar pelaksanaan shalat adalah shalat sebagaimana yang sudah dicontohkan Nabi SAW mulai bacaan hingga berbagai gerakan di dalamnya, sehingga tidak ada modifikasi dan inovasi dalam praktik shalat.
Adapun secara etimologi, Nabil mengatakan, bahwa Shalat bermakna doa. Shalat dengan makna doa tersirat di dalam salah satu ayat al-Qur;an: “Dan shalatlah (mendo’alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do’a) kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS. At-Taubah: 103)
Shalat diartikan dengan doa, karena pada hakikatnya shalat adalah suatu hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya hamba, apabila ia berdiri untuk melaksanakan shalat, tidak lain ia berbisik pada Tuhannya. Maka hendaklah masing-masing di antara kalian memperhatikan kepada siapa dia berbisik”.
Ia mengklasifikasikan pengaruh shalat ke dalam Tiga dimensi: Dimensi Rohani, Dimensi Sosial, dan dimensi medis.
Dimensi Rohani Shalat mencakup kesadaran sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam shalatnya. Dalam hadist riwayat Abu Hurairah di sebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah).
Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.Sedangkan gerakan batin tidak bisa di ganti. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan tanpa arti.
Dimensi Sosial Shalat mengandung arti bahwa shalat merupakan salah satu rukun Islam yang mendasar dan pijakan utama dalam mewujudkan sistem sosial Islam. Setelah seorang hamba melakukan hubungan (komunikasi) yang baik dengan Allah, dengan melaksanakan shalat, maka diharapkan hubungan yang baik tersebut juga berdampak pada hubungan yang baik kepada sesama manusia.
Hal ini diwujudkan dengan jaminan melakukan apa saja yang dibenarkan syariah guna membantu saudara-saudaranya yang memang membutuhkan. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuasa membantu yang teraniaya, yang berilmu membantu yang masih belajar, supaya terjadi hubungan yang serasi dan harmonis.
Dimensi Medis Shalat, mencakup bagaimana shalat itu berdampak langsung terhadap kesehatan fisik seorang muslim. Sebuah riset di Amerika menegaskan,bahwa shalat dapat memberikan kekuatan terhadap tingkat kekebalan tubuh orang-orang yang rajin melaksanakannya melawan berbagai penyakit, salah satunya penyakit kanker.
Riset itu pun mengungkapkan, tubuh orang-orang yang shalat jarang mengandung persentase tidak normal dari protein imun Antarlokin dibanding orang-orang yang tidak shalat. Protein imun Antarlokin adalah protein yang terkait dengan beragam jenis penyakit menua, di samping sebab lain yang mempengaruhi alat kekebalan tubuh seperti stres dan penyakit-penyakit akut.
Hikmah Menjaga Shalat
Allah SWT menyampaikan perintah shalat kepada nabi Muhammad Saw ketika peristiwa Isra Mi’raj, dengan lima waktu yang berbeda-beda dalam sehari semalam.
Yaitu ketika tampak fajar di bawah ufuk sebelah timur (Subuh), ketika tergelincirnya matahari (Zuhur), ketika panjang bayang-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri (Asar), ketika tenggelamnya matahari (Magrib) dan ketika hilangnya mega merah (Isa).
Berkaitan dengan pembagian waktu shalat, Wijaya Kusumah, seorang motivator sekaligus praktisi ICT (Information & Communications Technology) ini meyakini adanya hikmah yang terkandung di dalamnya.
Sholat Subuh misalnya, dikerjakan waktu fajar, agar manusia terbangun dari tidurnya. Shalat Zuhur dilaksanakan di siang hari, agar manusia ingat akan Tuhan-Nya saat sedang asyik-asyiknya bekerja.
Shalat Asar dilaksanakan sore karena manusia semakin sibuk dengan urusan dunianya. Maka, Allah memintanya untuk mendirikan shalat.
Ketika waktu magrib menjelang, maka mulailah matahari terbenam yang menandakan waktu siang telah berakhir dan malam akan segera menjelang. Sedangkan Shalat Isa, manusia diminta melakukan refleksi diri tentang apa yang telah dilakukannya seharian.
“Dari perbedaan waktu sholat itu, jelas sekali bila Allah selalu mengingatkan kita sebagai hambanya agar menyembah Tuhan yang telah menciptakannya,” kata Wijaya.
Sebuah penelitian bersumber dari National Geographic 2002 Road to Mecca menyebutkan, Doktor Neurologi sekaligus muallaf asal Amerika Serikat, Dr. Fidelma menemukan beberapa urat saraf di dalam otak manusia yang tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup supaya otak berfungsi normal.
Darah tersebut akan memasuki urat saraf di dalam otak hanya di saat-saat tertentu, ketika seseorang melakukan shalat, yaitu ketika sujud. Dan subhanallah, shalat yang dilaksanakan dalam lima waktu yang berbeda, adalah saat ketika urat saraf di otak kita tersebut memerlukan pasokan darah.
Selain mengandung hikmah dibalik penetapan waktu yang berbeda-beda, Shalat juga menurut Pimpinan Pondok Pesantren Alquran Babussalam, Bandung, K.H. Mochtar Adam mengandung efek positif bagi seluruh segi kehidupan manusia. Aspek tersebut mencakup; aspek kesehatan fisik, aspek kesehatan spiritual hingga aspek ekonomi seorang muslim.
”Orang yang disiplin sholat, insya Allah akan memperoleh kelapangan rezeki, keberkahan harta. Cuma untuk menjamin kedisiplinan ini dibutuhkan sebuah amalan yang terjaga, yaitu menjaga wudhu setiap saat, membiasakan baca Alquran dan membiasakan hidup dalam majelis taklim,” katanya.
Tentang relasi disiplin shalat dengan aspek ekonomi seorang muslim diamini Ketua Umum Keluarga Insan Tahajud Call Indonesia (KITa Call), Agus Hamdani. Hal ini muncul, menurut Agus, dikarenakan orang yang disiplin mengerjakan shalat tepat waktu akan memiliki etos kerja yang sangat tinggi.
“Jika kita tidak menghargai waktu, jangan berpikir etos kerja yang tinggi. Orang yang tidak menghargai waktu pasti orang yang sangat lalai. Artinya orang yang tidak mampu memenej waktunya berarti etos kerjanya lemah,” ungkap pria akrab disapa Kang Agus Almuhajir ini kepada Alhikmah.
Selain itu tambah Agus, Allah SWT memberi rumusan dalam alquran, dengan mengingat Allah, maka hati akan tentram. (QS Ar-Ra'd: 28) Shalat itu mengingat Allah. Orang yang stress tidak akan bisa bekerja dengan optimal. Begitu juga orang yang tidak tenang dan tidak konsentrasi, tak akan bisa bekerja dengan optimal.
Agar Shalat Kita Bermakna
“Celakalah orang-orang yang shalat, tetapi lalai akan (makna) shalat, yaitu mereka yang riya’ dan menghalangi pemberian bantuan” (QS. 107: 47).
Agar shalat kita bermakna, tentu tak sekedar melaksanakannya, melainkan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah shalat itu sendiri dalam keseharian kita selaku hamba-Nya.Prosesnya tentu tidak seketika, tetapi dimulai secara bertahap.
Ketua Program Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. H. Amir Mu'allim, MIS, sebagaimana pendapat Iqbal, membagi tahap perkembangan religiusitas seseorang menjadi tiga fase: fase keyakinan, pemikiran dan penemuan.
Fase keyakinan ditandai dengan disiplin kuat yang harus diterima oleh perseorangan maupun kelompok. Disipilin ini sebagai perintah tanpa syarat dan tanpa pengertian rasional tentang makna dan tujuan dari perintah shalat tersebut.
Fase pemikiran adalah munculnya pengertian rasional terhadap disiplin shalat dan sumber asasi kekuasaannya. Pada fase ini kehidupan agama mencari landasan metafisika, suatu pandangan yang logis mengenai dunia dan Penciptanya.
Fase penemuan, metafisika tergeser oleh psikologi. Selanjutnya kehidupan religius mengembangkan hasrat mengadakan hubungan langsung dengan realitas terakhir. Pada fase ini shalat menjadi persenyawaan pribadi antara kehidupan dan kekuasaan.
Hal ini menyebabkan seseorang mencapai kepribadian yang merdeka, namun tidak melepaskan diri dari ikatan hukum. Di sini individu menemukan sumber asasi hukum di kedalaman kesadarannya sendiri.
“Musholli (Orang yang shalat) yang akan mampu merasakan manfaat dari shalatnya adalah yang telah memasuki fase kedua dan ketiga. Untuk memasuki fase kedua dan ketiga musholli harus memproses dirinya menuju fase kedua, yaitu Fase pemikiran. Proses menuju fase kedua ini dapat dimulai dengan memahami esensi shalat dan hikmah tasyri’ yang ada dalam shalat,” ungkap Amir kepada Alhikmah.
Untuk memahami esensi shalat dan hikmah tasyrinya diawali dari pengertian perintah shalat. Perintah-perintah shalat dalam alquran, hampir semua menggunakan aqimu, aqimu bukan terambil dari kata qoma yang berarti “berdiri”. Tetapi kata aqimu itu berarti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah shalat bermakna “melaksanakan dengan baik, khusyuk dan bersinambungan sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya.”
Setelah memahami perintah shalat maka selanjutnya masuk ke makna shalat itu sendiri. Shalat berarti do’a. Do’a adalah keinginan yang dimohonkan kepada Allah SWT. Jika seseorang memohon, maka harus merasakan kelemahan dan kebutuhan di hadapan Dzat tempat memohon.
Shalat yang dilakukan dengan penghayatan bahwa dirinya tak lebih dari seorang hamba, yang menerima karunia berupa segala apa yang melekat pada dirinya; mulai dari bulu mata sampai detakan nafasnya dan rasa kebutuhannya akan kasih, sayang dan pertolongan-Nya, paling tidak akan memberikan kekhusyukan dalam shalat.
Esensi shalat juga dapat ditelusuri adalah dari pemahaman bahwa shalat adalah kesempatan merasakan berinteraksi dengan Allah SWT. Sebagaimana sabda Nabi tentang keutamaan surat al Fatihah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Ka’ab.
“Allah tidak menurunkan surat seperti surat al Fatihah, baik di dalam kitab Taurat dan kitab Injil. Surat al Fatihah adalah surat yang terdiri dari tujuh ayat yang terbagi menjadi dua bagian, satu bagian untuk-Ku dan satu untuk hamba-Ku.”
Bagian Allah SWT adalah saat dibaca basmallah sampai maliki yaumiddin, dan bagian hamba adalah mulai iyyakana’budu sampai waladdhollin. Memahami makna ini akan mengantarkan pada kondisi interaksi yang harmonis antara Allah dan hambaNya.
Setiap gerakan dan bacaan dalam shalat mengandung esensi dan hikmatut tasyri’ yang akan memberikan pemahaman dan penghayatan yang sangat penting bagi proses menuju fase-fase religiusitas seseorang.
Hikmah tasyri’ yang dimaksud adalah seperti kedisiplinan, kebersihan, kesehatan, sugesti kebaikan, dan kebersamaan. Pengetahuan dan pemahaman secara komprehensip akan memberikan pengertian rasional terhadap shalat dan sumber asasi shalat. Dan pada gilirannya musholli akan menemukan makna dari shalat adalah tiang agama.
Selanjutnya, untuk memasuki pada fase ketiga, adalah dengan pengamalan dan pengamalan dengan tanpa putus asa mengharap. Pada tahap inilah, sebagaimana sering dikemukakan para ustadz sebagai penemuan akan manisnya ibadah shalat. Pada fase ini, shalat adalah kebutuhan hidupnya. Wallahua’lam
Penulis : Muhammad Yasin
Penyunting : hbsungkaryo
Tim Liputan : M.Yasin dan Siti Rokhayah
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 44
0 komentar:
Posting Komentar