“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumu’ah: 10)
Sahabat Rasulullah Saw, Ali bin Abi Thalib bersama istrinya Fatimah, putri Rasulullah pernah menderita kelaparan berhari-hari. Tak ada sebiji kurma pun yang bisa mereka makan di rumahnya.
Dengan berkata lirih, Fatimah menyemangati suaminya, “Pergilah mencari makanan!” Ali langsung bangkit. Ia kenakan jubah berbulu domba untuk menahan rasa dingin yang menusuk.
Sebelum menginjakkan kaki keluar, Ali berdoa kepada Allah agar dimudahkan mencari nafkah. Tiba-tiba, Ali teringat dengan seorang pedagang Yahudi yang memiliki kebun di Khaibar. Maka Ali bergegas pergi menemuinya.
Sesampainya di tempat tujuan, Ali melamar kerja kepada orang tersebut. Lamarannya pun diterima. Lalu Ali bekerja menguras air sumur dengan upah satu kurma setiap embernya.
Setelah selesai bekerja, upah pun didapat. Ali lantas menemui Rasulullah untuk menceritakan apa yang telah ia kerjakan. Rasulullah tersenyum mendengar cerita Ali. Kemudian Rasul mengajaknya makan beberapa butir kurma.
Setelah itu Ali menemui istrinya sambil membawa kurma hasil jerih payahnya. Subhanallah, Allah memberkahi kurma itu, dengan mencukupi kebutuhan keluarganya hingga beberapa hari kemudian.
Begitulah kisah Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-harinya bersama sang istri tercinta, Fatimah Az Zahra. Kisah ini tentu menyiratkan kepada kita, betapa pentingnya peran seorang suami dalam mencari nafkah untuk keluarganya.
Saat ini, setiap hari kita saksikan anak manusia dengan ragam aktivitasnya hilir mudik di siang hari, bahkan malam, menjemput rizki untuk diri pun keluarganya. Ada yang mengandal otot, semisal; tukang becak dengan kayuhan pedal becaknya, pedagang sayur tradisional yang harus bercucuran peluh memikul kayu penyangga wadah sayuran, petugas pembersih jalan dengan sapunya.
Ada pula yang profesinya menuntut sumbangsih pemikiran, ketimbang otot. Misalnya; Seorang Pemimpin Puncak di sebuah perusahaan yang dituntut untuk bisa melakukan terobosan-terobosan baru yang dapat membawa perusahaan ke arah kemajuan. Seorang konsultan kebijakan publik, yang bertugas memberikan masukan-masukan berharga kepada para pejabat publik, yang membawa kemaslahatan, utamanya bagi rakyat.
Mereka adalah suami dari istrinya, sekaligus ayah dari anak-anaknya yang berjuang mencari nafkah untuk memenuhi ragam kebutuhan keluarga. Bagi yang belum berumah tangga, selain untuk diri sendiri, nafkah yang Anda cari tentu orang tua pun sebaiknya menikmati. Meski bukan sebuah kewajiban, dalam kondisi tertentu seorang istri yang ikut bekerja untuk tambahan kebutuhan keluarga, adalah fakta yang hari ini marak terjadi.
Oleh karena itu, Allah menjamin setiap orang dengan rizkinya masing-masing“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Hud : 6)
Pengertian Nafkah
Lantas seperti apa pengertian nafkah. Nafkah dalam bahasa Arab disebut nafaqoh. Secara bahasa nafaqoh bermakna ‘keluar’ dan ‘pergi’. Misalnya, binatang melata yang keluar dari kandangnya disebut nafaqoh al-Dabbah.
Secara istilah, nafkah dalam konteks fikih bermakna harta yang dibelanjakan untuk keperluan orang-orang yang menjadi tanggung jawab seseorang, berupa sandang, pangan, papan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. (fiqh ‘ala madzahibil arba’ah). Namun setelah disadur ke dalam bahasa Indonesia, pengertian nafkah menjadi sedikit berubah yakni, rejeki atau pendapatan.
Ada hal yang menarik di dalam pembahasan nafkah. Jika kita melihat ayat-ayat yang menerangkan nafkah di dalam Alquran, maka akan banyak ditemukan kalimat beriringan antara nafkah dan fi sabilillah.
Salah satunya terdapat dalam surat Albaqarah ayat 262 “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah (fi sabilillah), kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka...”.
Hal itu menurut Ketua Jurusan Tafsir Hadist Universitas Islam Negri Bandung (UIN) Sunan Gunung Djati, Dr Engkos Kosasih Lc, M.Ag., memiliki makna bahwa harta dalam Islam membolehkan adanya kepemilikan individu.
Tapi kepemilikan itu tidak mutlak. Ada konsep khalifah di dalamnya. Allah berfirman “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Albaqarah : 30)
Khalifah itu wakil dan kepanjangan tangan Allah Swt. Maka dengan konsep ini kepemilikan di dalam Islam dilanjutkan dengan menafkahi (yunfiquuna) dan mendistribusikannya selalu di jalan Allah (fi sabi lillah).
“Fi sabilillah ini penting karena ketika kepemilikan itu bersifat mutlak maka timbullah hedonisme dan kapitalisme yang ditentang Islam. Islam melihat dalam harta yang dimiliki seseorang terdapat hak Allah, hak manusia dan hak bersama antara Allah dan manusia,” kata Engkos.
Ketika suami mencari nafkah di situ ada hak anak dan istri. Jika nafkahnya berlebih (telah memenuhi syarat Zakat), ada hak Allah yang terletak pada orang yang fakir, miskin, pengurus zakat, para muallaf, para budak, orang yang berhutang, orang yang sedang berjuang di jalan Allah dan orang orang yang sedang dalam perjalanan, seperti yang termaktub dalam Alquran, Surat At-Taubah, ayat 60.
“Disanalah terdapat keseimbangan. Bahwa dengan konsep nafakah itu terjadi keseimbangan antara kepemilikan individu yang liberal, kapitalis dan kepemilikan dalam konsep sosialisme. Konsep Islam tentang kepemilikan berada di tengah-tengah, tidak terlalu kikir juga tidak terlalu boros,” tambah Engkos.
Nafkah Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil di masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang tinggal dalam satu atap, bahkan terkadang ditambah dengan kerabat dekat lainnya, semisal kakek-nenek, adik-kakak, dan lainnnya.
Dalam kehidupan keluarga tersebut, Islam telah menetapkan kewajiban laki-laki untuk mencari nafkah bagi keluarga. “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya….” (QS Albaqarah : 233)
Sedangkan bagi istri mencari nafkah hanya sunnah saja. Peran istri dalam mencari nafkah hanya membantu. “Fungsinya komplementer saja. kalau komplementer selama memungkinkan saja. Kalau tidak ya, jangan,” papar Engkos Kosasih Lc.
“Kecuali kalau suami dalam kondisi sakit berat, sakit dalam waktu yang lama, barangkali hukumnya darurat bagi seorang istri dalam mencari nafkah. Sang istri jika sudah dalam keadaan darurat maka ia bisa mengambil alih kemudi sang suami,” tambahnya.
Saking pentingnya peran suami dalam memberi nafkah, istri yang hendak dithalak pun masih memiliki hak nafkah dari suaminya. “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik.” (QS. Ath thalak : 6).
Ada alasan tertentu kenapa Islam mewajibkan mencari nafkah kepada seorang suami bukan kepada istri. Di dalam Alquran sangat jelas disebutkan bahwa suami itu Qawwam. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS An Nisa : 34).
Qawwam disini adalah peran suami sebagai penyangga, pelindung, penyuplai dan sifat-sifat pemimpin lainnya. Oleh karena itu Allah memberikan kelebihan bagi para suami. “karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. kelebihan tersebut berupa kekuatan energi, emosi dan ketangguhan dalam perjuangan mencari nafkah.
Suami yang memiliki ketegaran, kehebatan dan kekuatan dalam mencari nafkah itulah tipe suami yang ideal. Ia menjadi teladan bagi keluarganya. Oleh karena itu istri wajib taat kepada suami. Inilah hubungan simbiosis mutualisme. Suami wajib mencari nafkah sedangkan istri wajib mentaati suami.
Rasulullah sampai memberikan penghargaan kepada orang yang keluar mencari nafkah yaitu statusnya sama dengan berjihad di jalan Allah (Jihad Fi Sabi lillah). Artinya kalau suami sedang mencari nafkah untuk anak istrinya, kemudian meninggal, dia telah syahid.
“…kalau ada seseorang keluar dari rumahnya untuk bekerja guna membiaya anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha Fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itupun Fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah Fisabili Syaithan atau karena mengikutu jalan Syaithan.” (HR. Thabrani)
Hadist lainnya dari Abu Hurairah ra., Nabi Saw bersabda; ”Orang-orang yang berusaha mencari nafkah untuk perempuan-perempuan yang tidak (belum) bersuami dan untuk orang-orang miskin, sama dengan orang-orang yang berperang fi sabilillah”.
Selain kemuliaan fii sabilillah, Rasulullah Saw menjanjikan surga dan perjumpaan dengannya kelak, bagi suami yang berjuang mencari nafkah bagi keluarganya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Orang-orang yang bertanggung jawab mengurus anak yatim, baik dari keluarga sendiri atau tidak, maka aku dan dia seperti dua ini kelak di surga”. Dan beliau memberi isyarat dengan merapatkan jari telunjuk dan jari tengah (artinya berdekatan).
Sebaliknya suami yang melepas tanggung jawabnya dalam mencari nafkah tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat akan mendapatkan dosa. “Dia mendapat celaan karena tidak melaksanakan kewajiban. Berarti dia telah melakukan dosa. Dia juga tidak muasarah bi maruf (berbuat baik kepada keluarga). Dia telah mengkhianati mitsaqan ghaliza (perjanjian yang kuat dan sangat berat) ketika pertama kali ijab Kabul,” kata Engkos.
Nafkah Yang Berkah
Peran suami dalam mencari nafkah tidak sekedar meraup sebanyak-banyaknya harta, dengan segala cara, tanpa memandang kaidah halal-haram. Karenanya, kejarlah nafkah yang memberikan keberkahan bagi diri, keluarga, kerabat dekat, serta orang lain.
Lalu, seperti apakah pengertian berkah?
Founder gerakan Umat terbaik Hidup Berkah (UTHB), Samsul Arifin, mengatakan bahwa berkah dalam bahasa Arab diambil dari kata Barakah, yang bermakna bertambah-tambah kebaikan (ziyadatul khair). Bagi seorang muslim, menurut Samsul, kebaikan adalah hasil dari ketaatan kepada aturan Allah SWT dan menjauhi sejauh-jauhnya segala larangan-Nya.
Melengkapi Samsul, Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Dr. K.H. Salim Umar, M.A., memaknai berkah sebagai sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata. “Yang bisa merasakan berkah atau tidaknya sesuatu adalah orang yang bersangkutan,” katanya.
Ukuran bahwa nafkah seseorang itu berkah, menurut Salim, adalah yang memiliki tingkat pemanfaatan tinggi. Ia mencontohkan, dengan adanya televisi, orang menjadi rajin menyaring informasi dan meraup banyak ilmu, bukan sebaliknya, menjadi malas.
Masih menurut KH. Salim Umar, nafkah yang berkah minimal memenuhi kebutuhan pokok (alhajiyat) semisal; makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal (sandang pangan, papan_red).
“Jika masih berlebih, maka nafkah harus memenuhi kebutuhan tambahan seperti pendidikan, kesehatan, serta hak asasi seorang manusia lainnya. Selanjutnya, jika nafkah masih menyimpan kelebihan, maka harus memenuhi kebutuhan penyempurna (kamaliah), seperti; olahraga, rekreasi, dan lainnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Jurusan Tafsir Hadist Universitas Islam Negeri Bandung (UIN) Sunan Gunung Djati, Dr Engkos Kosasih Lc, M.Ag. menyebut nafkah yang berkah adalah yang memberikan ketenangan. “Dari segi nominal mungkin tidak bertambah, tapi memiliki efek turunan,” katanya.
Misalnya, ia mencontohkan, dengan nafkah seseorang dicintai istri dan anaknya, banyak teman, berwibawa, dan hal positif lainnya yang terpancar dari orang tersebut, termasuk perilaku positif dari orang lain kepada dirinya.
“Mungkin juga berkah itu bertambahnya nominal harta. Karena tidak mungkin harta yang disedekahkan itu berkurang, dan tidak mungkin orang miskin karena sedekah. Hanya hasilnya itu bisa kuantitatif atau kualitatif, itu tidak pasti,” tambah Engkos.
Langkah-langkah Meraih Berkah
Apa yang harus suami lakukan agar nafkahnya menjadi berkah? Paling tidak ada empat langkah yang mesti diperhatikan para suami dalam mencari nafkah.
Pertama, mencari nafkah merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT yang wajib dilaksanakan oleh para suami. Maka niatkanlah setiap mencari nafkah dengan niat ibadah.“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al Jumu’ah: 10)
Kedua, mencari nafkah haruslah bersumber dari yang halal. Selain halal, nafkah juga harus berkualitas. Kualitas itu harus ada standar gizinya, agar yang menerima nafkah itu menjadi tumbuh hebat secara jasmani dan rohani. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi (Albaqarah : 168)
Ketiga, cara menjemput nafkah harus dengan cara yang halal, bukan mencuri, menipu, korupsi, berjudi, memeras, menggunakan riba serta cara lain yang dilarang dalam Islam.
Ketiga, pendistribusian nafkah harus diberikan kepada orang yang diridhai Allah SWT. Misalnya, menafkahi istri dan anak-anak, memberi kepada orang tua dan saudara, dan berinfak di jalan Allah SWT.
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. (QS. Al Baqarah : 215)
Pemberian rizki kepada kerabat atau tanggungan suami haruslah dipantau, Jangan sampai digunakan berlebihan atau mubazir, apalagi digunakan dalam rangka maksiat kepada Allah SWT.
Keempat, nafkah yang diperoleh harus dikeluarkan hak-hak sosial, baik yang wajib dan sunnah -semisal zakat, infak-sedekah, wakaf, maupun yang sukarela, seperti hadiah, hibah, sumbangan, dan lain-lain.
Melalui proses di atas, insya Allah nafkah kita menjadi berkah dan terus bertambah. Sebagaimana janji Allah dalam wahyu suci-Nya, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rejeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS Al Baqarah: 245).
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Albaqarah : 261)
Wallahu a'lam
Penulis : Muhammad Yasin
Penyunting : hbsungkaryo
Tim Liputan : M. Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 46
1 komentar:
semoga kita mendapat rizki yang berkah.
Posting Komentar