Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Rabu, 29 Desember 2010

Dari Konvensional ke Masyarakat Ekonomi Islam

“Sesungguhnya Sembilan dari sepuluh rezeki umatku  (terdapat) pada perdagangan.” (HR. Ibnu Hibban)

 Pantas jika kemudian makhluk manusia saling berkompetisi di bidang perdagangan, mengejar rezeki seperti yang dijanjikan dalam Hadist tadi. Caranya beragam. Dari yang halal, amanah dan transparan, sampai praktek curang, saling  menjatuhkan, dibungkus kemasan nafsu setan. Termasuk diantaranya fenomena pedagang yang mengurangi timbangan.

Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Agustianto, kepada Alhikmah mengatakan, maraknya praktek pengurangan timbangan sebagai akibat dari minimnya pengajian keislaman yang membahas soal etika bisnis dalam Islam. ”Selama ini para ustadz jarang membahas persoalan ekonomi. Maka paradigma ustadz pun harus dilakukan perubahan dengan juga mengajarkan persoalan-persoalan ekonomi,” ungkap dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti ini.

Mengapa demikian? Karena menurut Agustianto,   kalau ustadz dan para ulama tidak mengajarkan persoalan ekonomi berarti mereka memutuskan sunnah para Nabi. Mengapa diartikan memutuskan sunnah para Nabi? karena seluruh Nabi dahulu mengajarkan etika ekonomi, yaitu tidak boleh riba dan tidak boleh mengurangi timbangan. ”itu bisa dilihat di dalam Al-Qur’an surat Huda ayat 84 -87, dimana majelis dakwah para Nabi Hud terdahulu materinya tentang ekonomi. Jadi karena materi dakwahnya bukan tentang ekonomi, maka pedagang banyak melakukan penyimpangan,” tegas pakar ekonomi Islam ini.

Dalam artikelnya, Etika Bisnis dalam Islam, Agustianto mengatakan, di era modern masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat.  Maka tidak aneh, tambah Advisor Bank Muamalat Indonesia (BMI),  bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith, yang berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”.

Pandangan yang menganggap bisnis tidak mempunyai tanggungjawab sosial dan lepas dari etika tersebut, memiliki pengaruh besar dalam relasi yang terjadi dalam aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya perdagangan. Namun, masyarakat Indonesia yang kerap digembar-gemborkan sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim ini, mulai sadar akan bahaya sekularisasi, termasuk di bidang ekonomi. Maraknya pedagang yang ingin mengejar untung sebesar-besarnya, dengan mengakali timbangan yang digunakan sebagai alat dasar transaksi barang, tanpa mengindahkan dampaknya, menyadarkan umat untuk kembali ke aktivitas ekonomi Islam, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
Tentu saja diperlukan ruang dan waktu yang cukup agar cita-cita tersebut terwujud.

Ir. H. Adiwarman A. Karim, dalam makalahnya,“Penerapan Syariat Islam dalam Bidang Ekonomi,”  mengatakan, proses transformasi dari masyarakat ekonomi konvensional menjadi masyarakat ekonomi Islam, tidak akan terjadi dengan sekejap. Mungkin lima tahun, sepuluh tahun, dapat lebih cepat atau lebih lama, bergantung pada strategi penetrasinya.

Menurut president Director Karim Business Consulting ini, teori yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuai syariat, belum menjamin bahwa perekonomian umat Islam akan juga maju. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariat, namun siapa pelaku ekonominya? Dapat saja pelaku ekonominya adalah umat lain selain umat Islam.

Oleh karena itu perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola laku muslimin muslimat secara itqan (profesional) mengembangkan bisnis mereka. Ia mencontohkan Imam Gazali yang berkesimpulan bahwa motivasi para pedagang adalah mencari keuntungan, baik keuntungan di dunia maupun keuntungan di akhirat.
Dalam Wahyu Suci, Al-Qur’an, banyak terdapat ayat yang mendorong manusia untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam Surat Al-Jumuah: 62, misalnya. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Disitir pula dalam Q.S. An-Nisa:29  pedoman agar dalam bisnis tercipta relasi saling menguntungkan, lepas dari sifat eksploitatif. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”  

Selain soal materi ekonomi Islam yang penting untuk dimasukkan ke dalam ‘kurikulum’ dakwah para da’i, dikatakan oleh Agustianto, solusi selanjutnya untuk merespon fenomena maraknya pengurangan timbangan adalah sosialisasi bahwa  seseorang tidak boleh berdagang kecuali dia telah memahami ajaran syariah di bidang ekonomi Islam.

Sedangkan hukum mempelajari pokok-pokok ekonomi syariah dalam Islam itu fardhu a’in. Artinya setiap orang akan berdosa kalau tidak mempelajari hukum-hukum Islam di bidang ekonomi, karena dia akan sangat mudah terjerumus kepada perilaku-perilaku yang menyimpang, seperti riba, maisir (judi) dan itu tadi, pengurangan timbangan. Wallahu a’lam

HB Sungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Soleh,  Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

0 komentar:

Posting Komentar