Rabu (18/11/09), 9 hari menjelang Idul Adha 1430 H. Ustadz Abdullah bersama rekannya Atep, atas saran dari seorang relawan Dompet Dhuafa di Malangbong, Garut, berkunjung ke kantor Dompet Dhuafa Bandung di Jalan Pasir Kaliki 143.
Tak ada lembaran proposal yang dibawa pengasuh Pondok Pesantren An-Nur, Singajaya, Garut, itu. Apalagi gambaran tertulis tentang data penduduk. Yang ada hanyalah niat dan kemaun yang membuncah kuat.
Bertemu Hendrayana, Koordinator Pengadaan dan distribusi Tebar Hewan Kurban (THK) wilayah Jabar, ia hanya menggambarkan secara lisan kondisi masyarakat desanya, yang berpenduduk mayoritas dhuafa, terpencil dan jauh dari sentuhan syiar kurban. Ia berharap, distribusi THK dapat menjangkau daerahnya.
Singkat cerita, Hendrayana saat itu mengakhiri pertemuan hanya dengan berucap, “saya tidak menjanjikan, insya Allah jika ada rizki untuk masyarakat di sana, kita akan salurkan.”
Ustadz Abdullah pun pamit pulang, tanpa kepastian ihwal jatah distribusi kurban. Setelah itu, tak ada lagi kontak.
Hingga suatu siang menjelang sore, Sabtu (28/11/09), telepon genggam ‘klasik’nya berdering.
“Pa Abdullah abdi Redy ti Dompet Dhuafa, tos nampi kabar teu acan perkawis kurban ti kantor? alhamdulillah di daerah bapa bade aya kurban. (Pa Abdullah saya Redy dari Dompet Dhuafa. Sudah menerima kabar tentang kurban belum dari kantor? Alhamdulillah di daerah bapak akan ada kurban.)”
Abdullah terhenyak mendengar suara di seberang telepon genggamnya. Setengah tak percaya, hatinya bergumam, “mudah-mudahan ini bukan mimpi.”
Wajar saja ia bersikap demikian. Semenjak pengabdiannya sebagai pengasuh Pondok Pesantren An-Nur, di pedalaman kampung Pasir Angin, desa Mekartani Kecamatan Singajaya Kabupaten Garut 17 tahun silam, Abdullah (35) belum pernah sekalipun menyaksikan penyembelihan kurban di kampung halamannya itu.
Ia (Abdullah) pun kembali menyimak suara di handphone-nya. “Sekarang saya sedang menuju Garut, bawa domba. Saya minta di-smskan saja alamat lengkap bapak,” kata Redy, koordinator tim monitoring Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa, mengakhiri percakapan.
Sejenak termangu, Abdullah pun segera mengirimkan alamat lengkap kampung halamannya, seperti permintaan tim monitoring Dompet Dhuafa tadi, melalui layanan pesan singkat.
***
Sore itu, Sabtu (28/11/09), Jam digital yang tampak di handphone kami, tim Monitoring THK, persis menunjukkan angka 5. Sinar matahari sudah temaram. Awan hitam tampak bergelayutan, seolah menanti kami untuk menembus pekatnya kabut di perbukitan Singajaya, kabupaten Garut.
Bismillah, kami bertiga; Redy, Yasin dan Jujun, ditemani sopir truk dan seorang lagi pengawas domba, memasuki gerbang perbatasan antara Cikajang dan Singajaya. Hati Redy, ketua tim, sedikit was was. Konon, menurut informasi, medan menuju Singajaya cukup menantang. Ia agak ragu, truk yang memuat 50 ekor domba kurban itu dapat dengan mudah sampai di tujuan.
Meski demikian, rasa itu berusaha ia kubur dalam-dalam. Satu persatu perbukitan kami lalui. Tak seberapa lama, awan pekat yang sebelumnya terlihat jauh, sudah berada tepat di depan kami, mengiring hujan yang membasahi jalanan di sekitar.
Laju truk pun diperlambat. Jalanan yang basah, licin dan cukup sempit untuk ukuran dua mobil, plus tikungan tajam yang diapit jurang menganga di sisi kanan dan kirinya, kian membuat jantung ini berdegup kencang. Desir angin malam yang menusuk tulang pun tak terlalu terasa karenanya.
Sesekali, saat berbelok arah menyusuri tikungan tajam, kami nyaris bertubrukan dengan kendaraan lain yang melaju dari arah berlawanan. Terlebih, cahaya lampu truk pun hanya berjarak pandang sekitar 2-3 meter-an. Untuk antisipasi, kami berkali-kali membunyikan klakson saat menemukan tikungan tajam, atau mengalah, dengan menunggu kendaraan dari arah berlawanan agar melaju terlebih dahulu.
Sekitar 3 jam, tim menyusuri jalanan, sebelum akhirnya tiba di Pasar Singajaya. Kami kontak Ustadz Abdullah, untuk meminta beliau mengirimkan petunjuk jalan, dan bertemu di suatu tempat.
Atep Kurnia serta Abdul Gani, dua orang yang diutus Ustadz Abdullah dengan mengendara motor pun tiba. Jalan mulus beraspal yang sudah kami lalui sebelumnya, sekitar 73 KM dari perbatasan Cikajang-Singajaya, mendadak berubah, saat memasuki pedalaman Singajaya. Tak lagi terlihat, aspal hitam yang memuluskan laju kendaraan. Yang tampak hanya bebatuan besar dan tajam, licin serta bercampur tanah merah yang becek dan lembek, lantaran tersiram hujan.
Baru 1 km truk berjalan dari jalan utama, tim sudah dihadang oleh tanjakan dengan ketinggian sekitar 35 derajat. Gas pun ditancap srutttttttttt…srutttttttttttt ...srutttttttttttt suara gesekan tanah merah lembek dengan ban mobil, terdengar cukup keras berkali-kali, pertanda truk tak kunjung bergerak maju.
Dua hingga Empat kali, truk terus dipaksa meretas tanjakan. Hasilnya tetap nihil, tak ada hasil. Sekali lagi, gas ditancap, namun lagi-lagi, truk seperti enggan beranjak.
Sang sopir pun menghela napas panjang. Dahinya tampak berkerut. Sesaat kemudian ia lantas berkata, “moal bisa nanjak ieu mah Pa, abdi nyerah (tidak bisa menanjak Pak, saya menyerah),” ucapnya berat, melemahkan spirit kami.
Sembari berpikir solusi terbaik, dan menjaga kondisi domba yang menumpuk di belakang, akhirnya kami memutuskan untuk mundur dari tanjakan dan memarkirkan truk di pinggir jalan yang permukaannya rata.
Tuntaskan penasaran, kami pun turun bersama sopir untuk memastikan kondisi tanjakan yang sukar ditaklukkan tersebut.
Tuntaskan penasaran, kami pun turun bersama sopir untuk memastikan kondisi tanjakan yang sukar ditaklukkan tersebut.
Setelah dicek ternyata panjang tanjakan berlapis tanah merah dan bebatuan licin itu berjarak sekitar 200 meter-an. Belum lagi di tengah-tengah tanjakan terdapat tikungan tajam yang menghubungkan ke tanjakan berikutnya, lengkap dengan parit yang cukup dalam di sisi kanan jalan.
Seandainya truk dipaksa melaju, dan tak mampu menahan kendalinya ketika menyerah di tengah tanjakan, diprediksikan truk akan terperosok ke dalam parit tadi. Apalagi, informasi kedua orang utusan ustadz Abdullah, bahwa masih ada beberapa tanjakan dengan kondisi serupa, setelahnya.
Meski jarak tempuh tinggal tersisa sekitar 5 km lagi menuju titik penyembelihan di Kampung Pasirangin, bulat sudah keputusan kami untuk menghentikan perjalanan di kegelapan malam pedalaman kampung Cilumbung, kecamatan Singajaya itu.
Ketua tim, Redy Riyadi mulai gelisah. Matanya tajam menatap kondisi medan yang sungguh di luar prediksi itu. Berkali-kali ia menekan tombol telepon selulernya untuk meminta bantuan. Sebaliknya, telepon dia pun berdering terus menerus baik dari kantor pusat Dompet Dhuafa Bandung, tim distribusi lain dan tentunya dari Ustadz Abdullah.
Kami sempat berpikir untuk menggiring domba-domba itu menuju Pasirangin Desa Mekartani. Namun urung karena terlalu berisiko. Kondisi medan yang berat, bisa membuat domba-domba sekarat.
Jam menunjukkan pukul 9 malam. Sudah 1 jam kami mencari kepastian langkah yang harus ditempuh, namun belum tampak secercahpun cahaya harapan. Rintik hujan kembali turun menggenapi dinginnya malam yang semakin menusuk tulang.
Bukan masalah fisik yang membuat kami gelisah saat itu. Tapi ada amanah yang terancam putus, tak tertunaikan sebagaimana mestinya. Masyarakat di ujung jalan ini tentu menunggu sekerat daging dengan penuh harap. Maka kami harus tetap semangat, sembari bermunajat penuh harap kepada Sang Pemilik kehidupan.
Setengah jam berlalu, ustadz Abdullah tiba di lokasi menggunakan motor. Cukup lama kami berbincang, sebelum akhirnya bersepakat untuk melakukan prosesi penyembelihan di malam itu juga, jika 20 ekor domba berhasil tiba di lokasi. Kebetulan kampung Pasirangin desa Mekartani merupakan kampung terakhir yang mendapat aliran listrik.
Keempat titik lokasi penyembelihan di kampung lainnya akan disatutitikkan di Pesantren An Nur kampung Pasirangin desa Mekartani. Sedangkan sopir dengan penjaga domba akan menunggu dibawah tanjakan dengan 30 ekor domba di dalam truk untuk didistribusikan di pedalaman Garut lainnya.
Rencana itu mulai mulus saat kami mendengar ada satu mobil colt buntung milik pak lurah yang bersedia dipinjamkan. Mobil itu kebetulan lokasinya berada di bawah kampung lumbung, tempat truk terhadang tanjakan. Selang beberapa lama mobil yang dimaksud tiba dengan 2 motor yang akan mengangkut kami ke tempat tujuan.
20 ekor domba pun dialihkan. Akhirnya mobil melaju perlahan namun pasti melalui tanjakan tersebut. Disusul dengan dua motor yang kami naiki. Benar saja, pantauan kami sepanjang perjalanan, medannya sangat terjal, lengkap dengan tanjakan dan jalan menukik yang curam. Kami saja sempat terpleset jatuh dari motor saat turun dari beberapa puncak tanjakan.
Sekitar 30 menit di perjalanan, kami dikejutkan oleh mobil colt yang membawa domba amblas ke kiri jalan. Syukur, titik penyembelihan sudah terlihat sekitar 100 meter di bawah tanjakan. Domba pun digiring menuju lokasi.
Di lokasi, puluhan bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda dan anak-anak terlihat berkerumun di tengah penerangan lapangan. Wajah-wajah itu tampak sumringah, menanti kami di ujung jalan penantian. Penantian panjang setelah 17 tahun tak tersentuh syiar kurban. (Ust Abdullah baru menempati desa tersebut selama 17 tahun, selama itu pula belum pernah ada kurban)
Proses penyembelihan pun langsung dilakukan sekitar jam 11 malam. Mereka tampak sekali begitu antusias. Maklum saja, 17 tahun tentu bukan waktu yang sebentar. Bahkan sejarah THK mencatat, untuk pertama kalinya prosesi penyembelihan kurban dilaksanakan di waktu malam.
Kampung tetangga di tiga titik lokasi pun mulai mengambil jatah mereka masing-masing. Beberapa orang terlihat menggotong 2-3 ekor domba yang sudah disembelih menggunakan kayu di pundak, layaknya kisah pemburu dan hewan buruannya, di tengah belantara.
Dengan penuh semangat mereka menembus pekatnya malam menuju lokasi masing-masing. Menurut Ustadz Abdullah, jarak yang paling jauh mencapai 5 kilometer atau sekitar 2-3 jam berjalan kaki menelusuri pesawahan di pinggir perbukitan tanpa ada penerangan jalan. Pasalnya penerangan listrik di desa Mekartani berakhir di kampung Pasirangin, tepat dimana kami melakukan penyembelihan.
Usai penyembelihan, kami pun menghampiri, lantas berbincang ringan dengan Ustadz Abdullah. Tentang pengabdiannya di pelosok sana, dinamika kehidupan masyarakat setempat, hingga prosesi kurban yang menurut penuturan dia baru lagi berlangsung setelah lebih dari 17 tahun.
Saat ditanya tentang pesan yang ingin disampaikan kepada para pekurban yang menitipkan amanah, ayah satu anak ini terdiam sejenak. Matanya nanar, suaranya terdengar serak. Bibirnya yang legam tampak bergetar, tak kuasa menahan air mata yang mengaliri gurat wajah dia.
“Abdi ngaraos bingah kabina-bina …..teu nyangki bakal aya kurban. Mugia Allah ngabales kana sagala kasaeannana (saya merasa senang sekali … tidak menyangka akan ada kurban. Mudah-mudahan Allah membalas setimpal segala kebaikannya,” ucap Abdullah, lirih.
“Maaf, saya tidak bisa mengucapkan apa-apa lagi…. jazakumullah khairan katsiran,” ucapan terakhir ustad Abdullah, sebelum terputus oleh tangis harunya.
Kami pun kembali meneruskan perjalanan panjang menembus pekatnya malam menuju pedalaman Garut lainnya untuk menditribusikan sisas hewan kurban....
0 komentar:
Posting Komentar