Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Jumat, 18 Maret 2011

Busana Muslim ‘Tabrak’ Warna ala Tuneeca

Kantor Tuneeca di Jalan Rereongan Sarupi 19A Bandung, siang itu tampak sepi. Tak nampak transaksi jual beli ataupun pajangan busana muslim, sebagaimana lazimnya tempat serupa.

Namun, jangan dikira penjualan produk busana muslim etnik modern ber-brand Tuneeca ini sepi lantaran tak laku dijual. Tuneeca memilih cara lain dalam menggarap bisnis busana muslimnya. Cara itu mereka tempuh melalui jalur online, via internet.

Strategi ini tergolong ampuh. Mitos berakhirnya Ramadhan sebagai akhir panen bagi pebisnis busana muslim pada umumnya tak berlaku bagi Tuneeca. Buktinya ketika Agustus sampai September 2009 atau bulan Syaban dan Ramadhan 1430 H, penjulan busana Tuneeca melalui jalur online internet mencapai ribuan pieces.

Saat Ramadhan berlalu, tepatnya di bulan Oktober 2009, penjualan Tuneeca malah meningkat sekitar 20 persen dibandingkan bulan Ramadhan.

“Saya sempat khawatir karena para pedagang bilang setelah Ramadahan pasar sepi, tapi alhamdulillah justru penjualan Tuneeca meroket,” tutur pemilik Tuneeca, Samira Muhammad Bapagih.

Buah Kejenuhan
Gagasan bisnis busana muslim Tuneeca berawal dua tahun silam. Samira Muhammad Bapagi merasa jenuh dengan pekerjaannya sebagai asisten perancang busana di salah satu perusahaan busana muslim terkemuka di Ibu kota.

Perasaan jenuh kembali muncul tatkala ia beralih profesi, sebagai reporter fashion di salah satu tabloid wanita Islam. Ia tetap merasa tidak nyaman dengan pekerjaannya.

Dengan modal ilmu design, lulusan Akademi Seni Rupa dan Desain di Jakarta ini iseng membuat beberapa model busana muslim. Setelah dibuat rancangannya, ia pun mencoba menjahit sendiri.

Samira memiliki kelebihan dalam menerapkan permainan detil di bagian sudut busana muslimnya, baik itu dibagian sudut lengan atau sudut kerah dan sudut lainnya yang kadang dilupakan banyak orang.

Selain fokus di permainan detil, wanita kelahiran 24 Agustus 1981 ini juga memilih sistem tabrak warna di setiap modelnya. Misalkan; jika baju berwarna coklat lazimnya berpasangan dengan kerudung berwarna coklat muda, Samira sebaliknya. Ia bisa saja memadukan baju warna coklat dengan kerudung warna hijau.

“Saya melihatnya dari sisi design. Segala sesuatu yang senada itu membosankan. Dunia fashion itu tidak terkotak harus begini dan begitu. Warna kontras dengan sistem tabrak warna itu jadi perhatian orang. Kalau kombinasi biasa saja, ya nggak menarik bagi saya” kata Samira.

Ide awal tabrak warna yang diterapkan Samira itu bermula ketika ia banyak mengamati benda yang ada disekitarnya. “Saya melihat kembang di pot. Kembang warna ini dan pot warna itu, keduanya saling tabrak warna. Saya juga lihat kemacetan di jalan, disana ada banyak warna. Itu semua ide bagi saya,” tutur Samira.

Awal tahun 2008 dengan mengambil brand dari nama baju kebesaran para raja Babilonia, Tuneeca, pasar online pun digarap dengan target pasar masyarakat muslim di luar negeri.

Selain memasarkan busna melalui jalur online, jalur offline pun digarap. Beberapa model hasil kreasi Samira lantas dipajang di beberapa butik di Jakarta dan toko fashion di bilangan Dago Bandung.

Namun tidak ada yang bisa diharapkan dari kedua jalur itu baik online maupun offline. Kalaupun terjual kisaran perbulannya antara satu hingga lima busana.

Samira lantas ditawari salah satu outlet di Abdurahman Bin Auf Trade Centre (ATECE) Banceuy, Bandung, September 2008. Sayangnya pengunjung yang datang masih sedikit. Selang 3 bulan outlet pun ditutup.

Seiring waktu berjalan, jika jalur offline tampak kurang mengembirakan, bisnis jalur online mengalami respon positif. Enam bulan setelah penayangan situs, ada seorang muslim dari Amerika yang ingin memesan. Dari 20 model yang dipajang di situs, 8 diantaranya telah dipesan oleh orang tersebut. Tak lama berselang seorang muslim dari Malaysia tertarik dengan busana muslim Tuneeca. Ia kemudian memesan beberap model.

Sayangnya respon positif ini tidak diikuti dengan pemesanan dalam jumlah banyak. Masyarakat luar negeri cenderung memperhatikan kualitas kain. Sehingga mereka memiliki kekhawatiran yang lumayan kuat. Hal ini terbukti dari pemesanan model saja sebagai percobaan. Padahal jenis bahan yang digunakan Tuneeca berasal dari ragam katun.

Samira lantas banting setir, dengan memokuskan bisnisnya untuk pasar dalam negeri. Tahun 2009 menjadi awal bisnis Tuneeca bergeliat. Melalui alamat situs komersil www.tuneeca.com ratusan pieces busana Tuneeca terjual.

Hal ini dikuatkan dengan kebijakan pemerintah yang telah menurunkan tarif percakapan seluler di awal tahun 2009, disusul kemudian dengan penurunan tarif internet. Cukup banyak peselancar dunia maya yang menyempatkan diri untun mampir di situs Tuneeca.

Melihat trafik pengunjung yang terus bertambah Tuneeca telah mempersiap 20 model. Tiap model berjumlah 150 pcs. Jumlah ini dibatasi pertiga bulan produksi.

“Saya melihat dulu internet itu mahal, tapi sekarang hampir semua orang bisa mengakses. Bahkan internet sudah menjadi kebutuhan primer. karena biaya operasionalnya sangat murah maka bisnis ini sangat menjanjikan,” pungkas Samira optimis.

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 44

1 komentar:

grosirdress mengatakan...

KAMI MENJUAL DAN BERBAGAI KOLEKSI BAJU MUSLIM JUGA SIMAK DI http://www.grosirbusanaimport.com

Posting Komentar