Siang itu, jelang adzan zuhur berkumandang, seorang pria tengah duduk di dalam Masjid Darussalam bilangan Pasirwangi, Regol, Bandung. Sosok yang akrab disapa pak Haji itu tak lain adalah Saefullah Sirin Datuk Raja Mangkuto, pendiri perusahaan penerbit buku pelajaran terbesar di negeri ini, PT Grafindo.
Sepuluh menit sebelum adzan berkumandang, Pak Haji memang sudah terbiasa berada di dalam masjid, terutama sepuluh tahun terakhir. Inilah komitmen dia untuk mewujudkan keinginan kedua orangtuanya yang selalu berpesan agar jangan telat melaksanakan shalat.
Masih tertanam dalam benak Sirin, bagaimana setiap kali bersua, orangtuanya dulu selalu bertanya, “Ful kamu sudah shalat?” Pertanyaan ini bahkan terus terlontar saat pak Haji sudah berkeluarga dan memiliki anak.
“Sampai menjelang akhir hayat pun, ibu mengingatkan saya untuk menjaga shalat. Ibu bilang Ful, Kamu bikin masjid, kamu bikin panti asuhan dan lain-lain Itu ngga ada apa-apanya kalau shalatnya ngga betul,” kata pria kelahiran Curup, Bengkulu, 8 Agustus 1946 ini mengenang pesan terakhir sang ibu.
Pak Haji pertama kali merintis bisnisnya bermula sekitar tahun 1970. Ia merantau ke Bandung menikahi seorang gadis bernama Dewi Murni. Untuk memenuhi nafkah keluarganya pak Haji bekerja serabutan di sebuah perusahaan percetakan milik Kakak iparnya di bilangan Ciateul, Bandung.
Gaji 20 ribu yang diterima Pak Haji setiap bulannya hanya mampu bertahan selama seminggu. Lantas Ia mencari penghasilan tambahan dengan menawarkan jasa pembuatan kartu nama dan kartu undangan.
Tak disangka, usaha sampingannya ternyata berkembang pesat. Tahun 1973, Pak Haji mendirikan usaha percetakan bernama Karya Kita di kawasan Sawah Kurung, Bandung, dibantu 5 karyawan. Tahun 1982, ia kemudian pindah ke wilayah Pasirluyu, masih Bandung. Di tempat barunya ini Pak Haji menjalankan usaha dengan didukung 40 orang karyawan.
Grafik usaha yang terus meningkat ini lantas membuat Pak Haji terlena oleh kemilau dunia. Pesan orangtua agar tidak terlambat shalat acap terlupakan oleh kesibukannya. “Kadang saya lalai. Adzan sudah terdengar saya masih ngobrol. Saya menyadari itu kesalahan besar karena saya sengaja melalaikan shalat,” tutur ayah empat anak ini.
Maka pada tahun 1985 sepulang dari tanah suci, Mekah, Sirin mendirikan masjid Darusalam di area perkantorannya. “Orang tua bilang nilai ibadah kita kan berangkat dari shalat dulu. Kalau shalatnya jelek maka ibadah yang lainnya menjadi sia-sia. Nah untuk mengisi haji ini dan ibadah lainnya saya memperbaiki ibadah shalat dengan mendirikan masjid,” kata Pak Haji.
Melalui prinsip ini pula, Pak Haji bersemangat menambah pundi-pundi amal ibadah lainnya. Pada Tahun 1987 ia mendirikan tabloid Salam sebagai bentuk syiar ajaran Islam. Di puncak kejayaannya sekitar tahun 1992 tabloid ini mampu mencapai oplah 50 ribu eksemplar, dengan distribusi merambah hingga ke Sumatera. Sayangnya, di tahun yang sama, tabloid ini terpaksa tutup lantaran masalah klasik, finansial.
Saifullah tak lantas menyerah. Meskipun Tabloid Salam sudah tak lagi terbit, Percetakan karyaKita tetap berjalan. Ia kemudian mendirikan penerbit buku pelajaran bernama Grafindo pada tahun 1995.
“Dengan shalat, etos kerja saya semakin tinggi untuk terus berkarya. Hal ini akan terasa jika kita sudah memahami makna shalat. Kalau shalat masih beban itu tidak berpengaruh,” kata Pak Haji.
Selain Grafindo, empat perusahaan lainnya pun tak lama kemudian berdiri: Salamadani, usaha yang bergerak di bidang penerbitan buku Islam. Karsamandiri usaha yang bergerak di bagian pemasaran produk karyakita. Sinar Nusantara Semesta (SNS) usaha yang bergerak di bidang transportasi, khususnya Jawa Sumatera. Seluruhnya tergabung dalam Saifullah Sirin Grup (SSG).
Hasil dari jerih payahnya ini lantas ia dirikan beberapa lembaga yatim piatu, masjid, lembaga sosial dan pesantren. Salah satu pesantren yang beliau ikut ia dirikan bersama rekan-rekannya adalah pesantren cabang Gontor yang sedang dibangun di Nagari Sulit Air, Sumatera Barat. Pembangunan Pesantren ini memakan biaya hingga 3 Milyar Rupiah.
Prinsip Shalat yang dipegang Saifullah telah banyak mewarnai kehidupannya selama ini. Sebagai seorang muslim, kenikmatan shalat yang telah ia rasakan tentu tidak ingin ia rasakan sendiri. Ia lantas bagi-bagikan kepada keluarganya dan seluruh karyawannya.
“Disiplin shalat itu membutuhkan hidayah. Mendapatkan hidayah ini ngga mudah. Tantangan dunia ini menyilaukan, apalagi dengan ekonomi yang terbatas dan keimanan yang pasang surut. Maka disiplin shalat itu perlu contoh dari pimpinan. Barangkali dengan keteladan saya ini bisa menjadi teladan bagi para karyawan dan keluarga saya,” kata Pak Haji.
Selain dengan keteladanan, Pak Haji juga memberikan hadiah kepada karyawan yang shalat tepat waktu. Hadiah tersebut berupa berangkat Haji. Tapi tidak hanya shalat tepat waktu yang menjadi syaratnya, syarat lain adalah masa kerja minimal 5 tahun dan tidak memiliki catatan buruk semasa kerjanya.
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 44
0 komentar:
Posting Komentar