Pagi hari, 1 April 1999, senyum Dian Syarief Pratomo merekah saat membuka terjemahan Alquran. Sore itu adik laki-lakinya dr. Achmad Peter Syarief, SpBJ akan menikah. Dian bersama suaminya Ir. Eko P. Pratomo, MBA mendapatkan tugas membacakan alquran berikut saritilawah.
Untuk mempersiapkan itu Dian berlatih pagi harinya. Ketika membuka terjemahan, hal aneh muncul. Huruf-huruf terlihat samar. Dian menggosok-gosok matanya, lalu menatap lebih dekat. Tetap, huruf tersebut tampak samar.
Dian lalu mengambil alquran yang ukuran hurufnya lebih besar. Ternyata, masih sama. Dian kaget bukan kepalang. Padahal, semalam, ia bisa membaca buku dengan jelas.
Sore pun tiba. Dian beserta suaminya tetap datang menghadiri acara pernikahan. Saat acara berlangsung, Dian duduk di samping suaminya yang tengah membaca alquran. Ia kembali berusaha melihat huruf terjemahan alquran, namun tetap gagal.
Usai sang suami membacakan alquran, tiba giliran Dian membacakan terjemahnya. Tiba-tiba saja huruf-huruf dalam terjemahan Alquran itu tampak jelas. Dengan lancar, Dian pun menyelesaikan tugasnya.
Ternyata, itulah saat terakhir Dian melihat dengan jelas. Setelah itu, dunia dalam pandangan Dian hanya berbentuk siluet dan bayang-bayang. Meski begitu, Dian bersyukur objek terakhir yang dia lihat dengan jelas adalah alquran.
Kala Musibah Itu Datang
Dian Syarief. Wanita kelahiran Bandung 21 Desember 1965 ini tidak menyangka dirinya terserang sejenis penyakit peradangan kronis yang dapat mengenai kulit, sendi, ginjal, paru, susunan saraf dan alat tubuh lainnya, bernama LUPUS, atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus).
Semenjak vonis itu, satu persatu anggota tubuh Dian mengalami rasa sakit. Salah satunya, penglihatan yang tak lagi sempurna.
Mulanya ketika Dian masih aktif bekerja sebagai manager public relations di sebuah Bank ternama di Ibu kota, awal tahun 1999. Rekan-rekan kerjanya mengatakan bahwa mukanya tampak pucat, dan ada banyak bintik merah muncul di badan Dian.
Awalnya, Dian berpikir hanya penyakit kulit saja. Namun setelah dikonsultasikan ke dokter ternyata dia harus melakukan pemeriksaan ke laboratorium. Jelang tengah malam sepulang dari lab, Dian mendapat kabar bahwa kondisinya cukup gawat. Jumlah trombositnya tinggal 10%.
Jam Satu dini hari, Dian masuk RS Pertamina, Jakarta. Trombositnya makin parah. Jelang Subuh, ia masuk RS Pondok Indah. Trombositnya masuk ambang gawat. Menurut Dokter, jika trombositnya turun lagi maka pembuluh darahnya akan pecah.
Esoknya sumsum tulang belakang Dian diambil. Dari sinilah Dian menyadari ternyata dia mengidap Lupus, suatu penyakit yang hingga kini belum diketahui penyebabnya.
Rumah Sakit Menjadi Hunian Kedua Dian Syarif
Sejak itu, beragam obat menjadi menu sehari-harinya. Salah satunya tablet prednisone, obat untuk menekan peradangan. Efeknya; kulit menjadi keriput, flek-flek tumbuh di wajahnya, rasa nyeri seperti sariawan muncul di mulut dia. Kakinya mengecil, mukanya membengkak, serta tubuhnya membesar.
Perubahan drastis ini mengakibatkan Dian tak lagi dikenali oleh rekan-rekan kerjanya bahkan yang terdekat sekalipun.
Tak lama kemudian penglihatannya mulai buram. Rasa sakit pun kerap muncul tiba-tiba menyergap tubuhnya. “Kalau sakitnya datang kepala terasa diiris-iris, nyeri, sakit sekali. Di saat itu aku pasrahkan semuanya kepada Allah dengan berdzikir. Kalau sakitnya sudah tidak tertahankan, aku kejang dan pingsan. Itulah cara agar aku terbebas dari rasa sakit ini,” ungkap Dian.
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tempat berkumpulnya para pakar kedokteran pun tak mampu mengatasi. Eko, sang suami lantas membawanya ke RS Mount Elizabeth, Singapura.
Di sana Dian opname selama sebulan, dan menjalani Enam kali operasi tempurung otak. Infeksi yang menimpa otaknya sudah menjalar kemana-mana. Tempurung kepalanya dibongkar pasang hingga tak lagi rata karena sudah dipasangi selang (VP shunt).
Sepulang dari Singapura, Dian kembali dirawat di RS Medistra, Jakarta. Setelah itu Dian dibawa pulang suaminya ke Bandung. Namun, tak lama kemudian Dian harus kembali ke Medistra.
Pulang pergi rumah sakit Medistra ini ia jalani hingga 2002. Tak hanya Medistra yang menjadi rumah kedua Dian, tercatat ada 8 RS di dalam negeri, dan 3 lainnya di luar negeri, yang menjadi langganan Dian.
Selain Lupus, ada banyak penyakit yang mengharuskan Dian terus bolak-balik rumah sakit, semisal radang selaput paru-paru dan radang telinga bagian tengah. Dian pun menjalani operasi telinga, dan sempat kehilangan pendengarannya.
Tahun 2002, berturut-turut Dian menjalani operasi penggantian selang di tempurung kepala sebelah kiri di Singapura, dan penambahan selang di sisi kanan kepala di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, akibat peningkatan tekanan cairan otak di kepalanya.
Saat ini ada 2 selang tertanam di sisi kanan dan kiri tengkorak kepala Dian. Nyeri dan ganjalan di otak kerap membuat Dian tak nyaman tidur.
Selain itu, Dian pun harus ridha kehilangan rahimnya akibat pendarahan hebat yang tak kunjung berhenti. Tak tanggung-tanggung, operasi kuret sudah ia lakukan sampai lima kali. Karenanya, Dian dengan usia pernikahannya yang menginjak 8 tahun harus melupakan harapan untuk mendapatkan keturunan.
Saatnya Bangkit dan Berbagi
Dian berusaha tegar menghadapi ujian ini. Tak ada keluh kesah yang berlebihan. Ia hanya sibuk mengingat-ingat dosa. “Mungkin karena dulu saya sering melalaikan shalat akibat kesibukan bekerja,” tutur Dian.
Kini, saatnya bangkit. 11 Oktober 2003, Dian bersama suaminya mendirikan Syamsi Dhuha Foundation (SDF), sebuah lembaga yang concern melakukan edukasi dan advokasi bagi penderita LUPUS.
Berdua didampingi suami, Dian sibuk berbagi ilmu dihadapan para penyandang Lupus (Odapus), serta masyarakat umum dari satu tempat ke tempat lain.
Beragam program pun dibentuk untuk mengakomodir para penyandang Lupus, serta Low Vision. Saat ini, tak kurang dari 300 Odapus, plus 100 orang tenaga relawan telah bergabung bersama lembaga ini.
Dian memang luar biasa. Kekurangan yang ada pada dirinya justru menjadi spirit tersendiri untuk bangkit, berbagi. Kini lupusnya terkendali. Penglihatannya ada kemajuan, dari sisa penglihatan 5%, sekarang sudah bertambah 15 %. Padahal sebelumnya, dokter sudah memvonis tidak ada harapan, karena syaraf pusat penglihatannya rusak.
Di akhir perbincangannya dengan Alhikmah, Dian berpesan, “Musibah adalah tanda cinta Allah. Allah berikan kesempatan untuk naik kelas jika kita mampu sabar, ikhlas dan tawakal. Jika terpilih dan dipilih untuk diberi musibah, artinya kita masih diperhatikan oleh-Nya.”
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 45
0 komentar:
Posting Komentar