“Assalamualaikum,” sapa pria bernama Ihsanul Mudin dengan senyuman khasnya kepada wartawan Alhikmah sepenggal waktu lalu. Ada kisah yang hendak ia ungkapkan seputar pengalamannya selama berdakwah di pedalaman Jawa Barat dan Maluku Utara.
Awal tahun 2007 lalu, Asian Muslim Charity Foundation (AMCF) sebuah lembaga amal keislaman yang berpusat di Abu Dhabi meminta Ihsan untuk berdakwah di pelosok Jawa Barat, tepatnya Desa Cimahi, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut.
Menurut laporan masyarakat setempat, wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur ini sejak tahun 1993 menjadi sasaran kristenisasi. Hasilnya beberapa Kepala Keluarga (KK) Muslim berpindah agama.
Dengan tekad bulat, Ihsan memenuhi panggilan dakwah tersebut. Ia tinggalkan istrinya tercinta di Bandung, meski beberapa bulan kemudian turut serta.
Setiba di sana, pria kelahiran Garut, 6 Juli 1981 ini mulai giat berdakwah dari satu kampung ke kampung lainnya. Cuaca yang sangat panas, tanah yang tandus, perbukitan yang terjal serta gelapnya malam lantaran belum teraliri listrik, menjadi tantangan tersendiri bagi Ihsan. Namun deru ombak pantai selatan yang terlihat memesona di waktu pagi seolah terus menyemangati ayah satu anak ini.
Satu hal yang melekat, dan menjadi ciri khas seorang Ihsan adalah senyum dan salamnya. Setiap hendak berangkat ke kampung lain, Ihsan tak lupa menyapa hangat para penduduk yang ia temui dengan ucapan salam, entah itu ketika berpapasan di jalan, saat tengah berkumpul di saung, atau dan di tempat lainnya.
Menurut lulusan Mahad Al Imarat ini, thariqah (cara) dakwah dengan kelembutan lebih mengena. Terlebih dalam masalah sapaan, masyarakat Sunda menganggapnya cukup penting. Ihsan hanya tinggal merubah kebiasaan punten (permisi) dengan ucapan salam.
Usaha Ihsan untuk membumikan salam di pedalaman akhirnya menuai hasil. Setiap bertemu atau berpisah, masyarakat sudah tak lagi menunggu ucapan salam dari Ihsan. Mereka, bahkan terkadang mendahului mengucap salam. “Apalagi anak-anak kecil. Mereka terlihat lucu saat berlomba-lomba mengucapkan salam. ‘Assalamualaikum ustadz’ teriak mereka dengan lugu,” kenang Ihsan.
Melalui salam dan tingkahnya yang sopan, pun santun yang diterapkan suami dari Ai Fatimah ini pula, dakwah Islam mulai masuk ke relung hati masyarakat di sana. Dua Masjid yang sebelumnya kosong dari aktivitas shalat dan dakwah Islam mulai menampakkan ruhnya.
Jelang sore anak-anak berdatangan ke masjid untuk belajar Alquran. Mereka menuruni bebukitan yang jaraknya cukup jauh, antara satu sampai dua kilo meter. Belum lagi ketika pulang mereka harus berhati-hati berjalan karena gelapnya malam.
Begitu pula dengan para pemuda dan orang tua. Saat adzan dilantunkan oleh suara merdu Ihsan, mereka berdatangan menyeru panggilan Allah tersebut.
Dua tahun berlalu. Tugas Ihsan sebagai dai di daerah tersebut sudah berakhir. Derai air mata kesedihan tampak jelas mengalir di mata warga masyarakat setempat. Ihsan memang luar biasa. Atas izin sang Pemilik Alam Raya, ia mampu menggerakkan hati mereka untuk kembali menyeru agama Allah yang nyaris terlupakan. Kepulangannya ke Bandung, bahkan dikawal langsung oleh warga setempat dengan dua mobil mini bus sewaan.
Dipanggil ke Pedalaman Halmahera Selatan
Selang beberapa bulan, Ihsan kembali mendapat panggilan berdakwah di pedalaman Maluku, Pulo Obi, Halmahera Selatan, Maluku utara.
Muhammad Kasuba, Bupati Halmahera Selatan saat itu meminta kepada para dai agar membantu mewujudkan program pemberantasan buta huruf Alquran. Mengingat separuh wilayah pesisir tersebut dihuni oleh kaum nasrani.
Ihsan beserta lima orang dai lainnya kemudian disebar di wilayah yang berbeda. Awalnya, saat tiba di sana Ihsan merasa kaget. Ternyata budaya Maluku dengan budaya Sunda sangat jauh berbeda.
“Mereka adatnya keras-keras, jarang senyum, mukanya seram-seram, nadanya keras. Saya juga sempat bingung bagaimana thariqah dakwahnya di daerah sini” papar Ihsan.
Beruntung, salah seorang ustadz asli penduduk di sana bernama Fachri menyemangatinya. “Kalau antum (kamu) insya Allah bisa. Karena antum orang sunda. Antum itu murah senyum. Orang-orang di sini kalau dengan senyum dan lembut mereka bisa diajak,” Kata Ihsan, menirukan Fachri saat memotivasi dirinya.
Menurut Ihsan, mayoritas umat Islam di Halmahera Selatan ternyata masih terbelenggu kemusyrikan dan khurafat. Mereka rajin berdoa kepada Allah, tetapi sambil membakar kemenyan. Selain itu, mereka juga tidak lepas dari musik. Setiap kendaraan di Halmahera mulai dari becak sampai mobil pasti ada musik dan lampunya. Kalau tidak memakai musik menurut mereka tidak akan laku.
“Musik di sana istilahnya wajib. Setiap perayaan pernikahan atau kelahiran anak, siangnya diadakan pengajian, tapi malamnya sohibul hajat mengundang para pemuda untuk berpesta riya ditemani musik sampai jelang subuh,”papar Ihsan.
Dengan lemah lembut Ihsan mulai mengajak masyarakat untuk beribadah kepada Allah. Setiap orang yang ditemuinya di jalan ia sapa dengan senyuman dan salam. Sebagian mereka ada yang menjawab dengan ramah, sebagiannya lagi ada yang menjawab dengan datar, bahkan tidak membalas sama sekali. Namun ihsan tidak sakit hati.
Ihsan mafhum, salam memang sudah jarang terdengar di wilayah pesisir ini. Faktor banyaknya penganut nasrani, tampaknya menjadi pengaruh yang kuat terhadap redupnya budaya salam. Meski begitu, Ihsan terus mencoba menghidupkan kembali budaya itu.
Bagi Ihsan, salam merupakan doa keselamatan. “Siapa orang di dunia ini yang tidak ingin selamat. Maka ketika mendoakan keselamatan orang lain berarti sama dengan mendoakan keselamatan dirinya sendiri,” katanya, yakin.
Saking semangatnya membumikan salam, Ihsan pernah ditegur oleh Ustadz Mujahid kawannya dari Bekasi yang ikut rombongan, “Kalau disini antum jangan dulu menyapa dengan salam, karena di sini setengahnya pemeluk nasrani, khawatir kita salah sasaran.”
Ihsan memang sulit meninggalkan Kebiasaan salam, sesulit membedakan orang nasrani dan muslim di sana. Menurutnya, status agama di wilayah itu hampir tidak dipermasalahkan. Baik nasrani atau muslim mereka berbaur satu sama lain.
Lama kelamaan Ihsan pun mulai diterima keberadaannya oleh masyarakat. Ia dikenal sebagai dai yang humanis. Maka dengan mudah Ihsan pun mulai menapaki jalan dakwahnya. Ia menerangkan bahaya khurafat dan kemusyrikan sambil duduk santai dengan masyarakat di kedai. Bahasanya yang ramah dan penjelasannya yang mudah dimengerti menarik perhatian banyak pihak.
Hasilnya beberapa orang yang sudah akrab dengan Ihsan mulai meninggalkan kebiasaan khurafat dan kemusyrikan. Anak-anak mulai banyak berdatangan ke masjid untuk belajar Alquran. Begitu pula dengan orang tuanya, yang dengan sadar mulai menghidupkan kembali masjid-masjid.
Begitulah sepenggal kisah dari seorang dai humanis yang membumikan salam di pedalaman. Kebiasaan itu, Insya Allah tidak hanya menyelamatkan mereka di dunia, tapi juga di akhirat, kelak. Sebagaimana sabda Rasul “….niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat sejahtera”. Ihsanul Mudin.
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 47
Dengan Judul asli Ihsanul Mudin, Menebar Salam, Meretas Jalan Islam
0 komentar:
Posting Komentar