Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Minggu, 30 Januari 2011

Majelis Taklim Alhikmah Tempat Ngaji Aktivis Organisasi Wanita Kota Bandung

Berawal dari sebuah kesadaran diri untuk menjadi umat yang paham terhadap ajarannya, beberapa wanita yang tergabung di GOW (Gabungan Organisasai Wanita) kota Bandung, pemilik Gedung Wanita di Jl. L. R.E. Martadinata No 84 Bandung, berinisiatif untuk mengadakan pengajian kecil-kecilan.

GOW sendiri merupakan gabungan organisasi wanita kota Bandung yang saat ini jumlahnya mencapai 63 organisasi, antara lain: Dharma Wanita, Wanita Bhayangkari, Persatuan Istri Tentara (PERSIT), Persatuan Istri AURI, Persatuan Istri Kehakiman, Persatuan Wanita Dago, Persatuan Istri Insinyur, Persatuan Sarjana Wanita, dan beberapa organisasi wanita lainnya. Hj. Nani Dada Rosada, istri Walikota Bandung, Dada Rosada, menjadi penasihat Yayasan Gedung Wanita ini.

“Kelihatannya banyak sekali pengurus GOW yang belum bisa baca Alquran dan kurang paham agama Islam. Maka, harus ada Majelis Taklim (MT) sebagai solusinya,” tutur ketua MT Alhikmah, Hj. Saraswati Suhardjo mengawali percakapannya dengan Alhikmah beberapa waktu lalu.

April 1996, terbentuklah Majelis Taklim Alhikmah di kediaman ketua Yayasan Gedung Wanita, Mami Halimi, bilangan Ir. H. Djuanda 394. Meskipun yang pertama hadir kurang dari 6 orang, prosesi pengajian tetap berjalan.

Serupa tabloid ini, meski bukan satu payung institusi, nama Alhikmah pun dipilih atas usul Hj. Euis Oong, dengan harapan para jamaah MT dapat senantiasa mengambil hikmah dari berbagai ketetapan yang diberikan Allah SWT.

“Kita ingin mendapatkan hikmah dari Allah supaya umat ini bangkit dan tergerak membaca Alquran, mengerti Alquran dan memahami hukum Islam,” kenang Hj. Saraswati Suhardjo.

Euis Oong selaku Da’iyah sekaligus Penasihat GOW, dengan sabar membimbing para anggota yang hadir untuk membaca iqra. Kurang lebih 4 bulan berjalan, para anggota yang hadir telah lancar membaca alquran.
Seiring kesibukan Mami Halimi sebagai tuan rumah pengajian, Majelis Taklim Alhikmah pun dialihkan ke rumah Saraswati Suhardjo di bilangan kebon Bibit 14, Bandung.

“Kalau kalian mau ikut bergabung silahkan datang ke Kebon Bibit. Pengajian itu bukan untuk saya tapi untuk pengetahuan ibu sendiri. Saya hanya sediakan tempat, makanan dan mukena untuk shalat. Anggaplah itu sedekah saya untuk kemajuan Alhikmah,” lanjut Saraswati, mengenang saat itu.

Ajakan ini lantas mendapatkan respon positif dari para anggota GOW. Satu persatu mereka datang untuk mengikuti Taklim di rumah Saraswati.

“Motivasi saya ikut pengajian ini karena ingin belajar membaca Alquran dan juga silaturahim dengan anggota GOW lainnya. Di lingkungan saya memang ada Majelis Taklim, tapi di sini kekeluargaannya lebih terasa,” tutur Ketty Suparman, Jamaah MT Alhikmah, yang juga menjabat Sekretaris Umum Yayasan Pendidikan Budi Wanita asal Kemakmuran Raya, Riung Bandung.

Hal senada dirasakan oleh HJ. Siti Mariam Ahmad, salah seorang Jamaah MT Alhikmah asal Cisirung Dayeuhkolot, Kab Bandung. “Saya ngaji di rumah serasa benar, padahal setelah ngaji di sini, bacaan quran saya banyak yang salah. Makanya saya ingin sekali bisa mengaji terutama panjang pendeknya makhraj huruf,” tuturnya.

Pengajian Alhikmah rutin diadakan setiap hari Rabu. Sebelum Dzuhur, sekitar 35 Jamaah berkumpul, lalu melakukan shalat Dzuhur berjamaah. Setelah itu, acara berlanjut dengan makan bersama, lalu diakhiri pengajian yang dibawakan oleh Ustadzah Hj. Euis Oong.

Aktivitas Majelis Taklim meliputi baca Alquran dan memahami arti dari setiap kalimat dalam alquran, yang sesekali diselingi ceramah keagamaan bertemakan hukum-hukum Islam.

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 39

Steven Indra Widjaja, Benci Islam Membawa Berkah

Pastur yang selama ini ia hormati, ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian pula para frater yang menghamili siswinya, serta para bruder yang menjadi homo.

Steven Indra Widjaja betul-betul tak menyangka kebenciannya yang mendalam terhadap Islam, justru mengantarkan dia secara perlahan jatuh di pelukan agama tauhid ini.
Sejak kecil, kedua orang tuanya sudah menyemai benih kebencian terhadap Islam pada diri pria kelahiran Jakarta 14 Juli 1981 ini.

Di usianya yang baru menginjak tahun kelima, Steven mulai banyak berbuat onar. Ia sengaja menyimpan tulang babi di atas makanan pembantunya yang beragama Islam. Tak hanya itu, Steven kecil ingin sekali menaruh sesuatu di atas kepala orang muslim yang tengah sujud sewaktu mereka shalat, bahkan menendangnya.

“Saya dulu benci banget sama Islam. Ya, pokoknya benci saja melihat orang Islam. Itu yang ada di kepala saya waktu itu. Pokoknya saya jahat banget,” kenang Steven.

Oey Ing Sing Sing, ayah steven, adalah penganut Kristen Protestan. Selain menjadi aktivis di GKI (Geraja Kristen Indonesia) dan gereja Bethel di Muara Karang Jakarta Utara, ia juga pebisnis di Century 21 dan Jawa Barat Indah. Ia banyak mencari dana di luar negeri untuk pembangunan gereja-gereja di Indonesia.

Meski demikian, Steven malah dipersiapkan sebagai bruder (penyebar ajaran Kristen katolik) oleh ayahnya. Selain karena dorongan dari sang nenek, Steven juga dipersiapkan sebagai penganut katolik generasi ketiga dari kakek ibu dia.

“Saya katolik, nenek saya katolik, Oom saya yang di Amerika dan di Surabaya juga Katolik. Yang lainnya protestan. Memang, kita agak campur juga di rumah,” ungkap Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga) ini.

Untuk mempersiapkan sebagai Bruder generasi ketiga, Steven diasramakan oleh ayahnya di Pangudi Luhur Ambarawa, Jawa Tengah. Pendidikan ini ia jalani sampai tingkat SMA. Karena untuk menjadi bruder minimal harus memiliki ijazah Diploma III (D3), selepas menamatkan pendidikannya di SMA Don Bosco tahun 1997, Steven didaftarkan ke sekolah tinggi Saint Michael’s College, di Worcestershire, Inggris.

Spesialis Islamologi diambilnya pada mata pelajaran agama, karena ia ingin sekali menghancurkan umat Islam melalui ajarannya. Ia mempelajari hadits dan riwayatnya untuk mencari celah agar orang muslim percaya bahwa apa yang diajarkan dalam agama mereka itu tidak benar.

Bahkan untuk mengemban tugas sebagai seorang penginjil, Steven harus melakoni proses disumpah tidak boleh menikah dan harus mengabdi seluruh hidupnya untuk Tuhan. Di sekolah ini Steven menjalaninya selama 2,5 tahun. Setelah selesai, Steven kembali pulang ke Indonesia sebagai seorang penginjil.

Namun seiring dengan aktifitasnya sebagai penginjil, timbul keraguan dalam diri Steven atas apa yang ia pelajari selama ini. Apa yang ia pelajarinya bertolak belakang dengan buku-buku Islam yang ia temui di toko-toko buku.

Suatu hari, sewaktu mendatangi salah satu toko buku di Jakarta, Steven menemukan buku karangan Imam Ghazali, tentang hadits dan periwayatannya. Buku yang mengulas hadist dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatian Steven. Ternyata banyak referensi dan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Awal dari sinilah Steven mulai mengetahui bahwa hadist-hadits yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. Hadits-hadits yang dipelajarinya tersebut ternyata palsu. Dari sana kemudian Steven mulai mencari hadits-hadits yang sahih.

Keinginan Steven untuk mempelajari ajaran Islam tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Steven mulai mempelajari gerakan shalat.

Kegiatan mengamati orang yang shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatannya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.

“Ketika waktu shalat Dzuhur datang dan adzan berkumandang dari Masjid Istiqlal, kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral," papar lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.

Aktivitasnya di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Steven, ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua.

Tahap berikutnya Steven mulai belajar shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut.

"Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan tidak," tutur Steven.
Usai belajar shalat dzuhur dan maghrib, ia melanjutkan ke shalat Isya, Subuh, lalu Ashar.

Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari dengan mengikuti apa yang dilakukan jama'ah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jama'ah shalat.

"Saya lihat orang berwudhu, ingat-ingat gerakannya, baru setelah sepi, saya mempraktikkannya,” ujarnya.
Alhamdulillah, dalam waktu seminggu Steven sudah hafal gerakan berwudhu. Begitu juga, dengan gerakan shalat dan bacaannya. Steven melihat gerakan imam dan mendengar bacaannya sambil berusaha mengingat dan menghafalkan.

“Habis shalat itu adem. Ada bahasan kultum tentang apa yang tadi dibaca. Itu punya nilai lebih. Tak sekedar nyanyi, makan, dan tertawa seperti yang saya lakukan di gereja. Islam itu lebih disiplin. Kalau Adzan bunyi, langsung datang ke masjid,” tambah pria yang saat ini tengah mendalami musthalah hadits melalui beberapa guru besar ahli hadits.

Setelah merasa mantap, Steven pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu oleh seorang teman bisnisnya bernama Harry, di Serang, Banten. Dihadapan Harry dan 4 orang temannya berikut salah seorang Ustadz, Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian Steven pun menggunakan nama Indra Wibowo ash-Shiddiqi. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000.

Ke-Islamannya itu baru diketahui oleh kedua orangtuanya setelah ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta, saat hendak mengambil pakaian. Kabar ini diketahui dari rekan-rekan bisnis sang ayah yang tengah mengerjakan proyek pembangunan resort di wilayah Muara Karang dan Pluit.

“Makanya papa punya banyak kenalan dan teman. Dan mungkin orang-orang itu sering melihat saya datang ke masjid dan mengenakan peci, makanya dilaporkan ke papa,” ungkapnya.

Ayahnya pun memutuskan untuk mengirim orang untuk memata-matai setiap aktivitas Indra sehari-hari. Setelah ada bukti nyata, ia kemudian dipanggil, lalu disidang oleh ayahnya.

Di hadapan ayahnya, Steven mengatakan bahwa selama menjalani pendidikan calon bruder, dirinya mendapatkan kenyataan pahit. Pastur yang selama ini ia hormati, ternyata melakukan perbuatan asusila terhadap para suster. Demikian pula para frater yang menghamili siswinya, serta para bruder yang menjadi homo.

Seakan tidak terima dengan penjelasan sang anak, ayahnya pun menampar Indra hingga kepalanya terbentur ke kaca. Beruntung, saat kejadian sang ibu langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Atmajaya. Tujuh jahitan menghias dahinya saat itu. Kendati demikian, sang ibu tetap tidak bisa menerima keputusan Steven.
Bahkan, oleh ayahnya, Indra kemudian diusir, setelah dipaksa menandatangani surat pernyataan di hadapan notaris, mengenai pelepasan haknya sebagai salah satu pewaris dalam keluarga.

"Saya tidak boleh menerima semua fasilitas keluarga yang menjadi hak saya," ujarnya. Meski hidup dengan penuh cobaan, ungkap Indra, masih ada Allah SWT yang menyayanginya dan membukakan pintu rezeki untuk dia.

Biodata
Nama : Indra Wibowo Ash Shidiqi
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juli 1981
Masuk Islam : 2000
Pendidikan Akhir : Sarjana (S1) Komunikasi Universitas Padjadjaran
Aktivitas :
- Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)
- Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga)
- Pengurus Mualaf Center Online http://www.mualaf.com

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 39

Antara Hisab, Rukyat, dan Konsensus Kriteria Hilal

"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu."
(QS Al Maidah : 48)

Perbedaan memang tidak dapat lagi dihindari dalam wacana keislaman. Alasannya syar'i, selama ada dalil yang mendasarinya maka setiap golongan akan bersikukuh dengan pendapatnya.

Rasulallah pernah bersabda “Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan ternyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan jika salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun apakah benar perbedaan penentuan hari raya tidak bisa disatukan? Jawabannya mungkin saja bisa. Karena akar permasalahannya menurut banyak pengamat astronomi sudah bisa ditemukan, yaitu terletak pada kriteria hilal bukan lagi pada metode hisab dan rukyat.

Ketua Komite Penyatuan Penanggalan Islam (KPPI) ITB Moedji Raharto bahkan menegaskan bahwa ada hukum alam yang mengatur dan dipahami bersama. Oleh karena itu umat Islam seluruh dunia harus mencari kriteria yang pas untuk menetapkannya.

“Katakanlah hilal persatuan, nantinya ini merupakan hasil kontribusi dan rumusan umat Islam di Indonesia. Dengan dasar syariah dan sains yang akurat sehingga pertanggungjawaban semua pihak bisa lebih enak,” tutur Moedji kepada Alhikmah.

Hal senada dipertegas Pakar Astronomi ITB Hendro Setianto. “Masing-masing ormas punya kelebihan dan kekurangan, saya melihat kenapa nggak kelebihan masing-masing ini digabungkan yang kurangnya disempurnakan,” tuturnya.

Duduk bersama antar ormas dan pengamat Astronomi akan menjadi solusi untuk merumuskan kriteria hilal. Kesempatan ini tentu sangat terbuka dalam sidang itsbat yang digelar pemerintah Indonesia setiap menjelang Hari Raya.

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Aminuddin Yakub mengatakan bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa Pada tahun 2004 nomor 2 /2004, tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sebagai penjembatan perbedaan diantara ormas-ormas Islam.

Dalam fatwa itu dikatakan awal Qomariyah bisa menggunakan hisab dan rukyatul hilal. Pada poin berikutnya MUI memutuskan supaya tidak terjadi perbedaan maka negaralah yang menjadi hakim untuk memutuskan kapan dimulai.

“Maka kaidah fiqihnya Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf, keputusan pemimpin menghentikan perbedaan. Jadi keputusan hakim dalam hal ini pemerintah negara mutlak dan berfungsi untuk menghilangkan perbedaan,” tegas Aminuddin.

Serahkan Pada Ahlinya
Di tempat terpisah, Dewan Pakar Jogja Astro Club (JAC) Ma’rufin Sudibyo kepada Alhikmah, lebih menekankan pada penyamaan definisi sebagai solusi perbedaan penentuan Idul Fitri. “Tentu saja dengan menyamakan definisinya. Karena jika menggunakan definisi yang sama, maka baik dengan cara dihitung (menggunakan hisab) ataupun diamati secara langsung (menggunakan rukyat), maka hasilnya akan sama. Dan persoalan penyamaan definisi ini murni berada di ranah empirik, artinya kita harus mengembalikannya kepada data observasi yang sahih dan tepercaya,” tegas Ma’rufin Sudibyo.

Analogi untuk penyamaan definisi, menurut peneliti Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak - Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF-RHI), dapat dilihat dalam waktu shalat. “Sebenarnya waktu shalat juga berada dalam ranah hisab dan rukyat, namun hasilnya tetap satu kesatuan karena definisi yang digunakan dalam hisab waktu shalat dan rukyat waktu shalat adalah sama,” ungkapnya.

Ia memisalkan penentuan shalat Dzuhur. Awal waktu Dzuhur terjadi ketika Matahari tepat meninggalkan kondisi istiwa’ (kulminasi atas) atau transit. Waktu transit didefinisikan sebagai waktu saat Matahari tepat berada di atas garis bujur setempat, sehingga bayang–bayangnya tepat mengarah ke utara–selatan sejati. Waktu transit ini bisa diramalkan dengan metode hisab, yakni dengan memperhitungkan selisih bujur tempat dan acuan serta nilai perata waktu (equation of time). Namun waktu transit ini juga bisa dibuktikan dengan metode rukyat, misalnya dengan menggunakan jam matahari atau tongkat istiwa’.

“Jika dibandingkan, hasil prediksi metode hisab awal waktu Dzuhur akan tepat sama dengan hasil pengamatan jam matahari. Penyamaan definisi seperti inilah yang hendak dituju.

Ketika ditanya, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menyatukan perbedaan yang terjadi? Ma’rufin memaparkan 3 opsi;

Pertama, pemerintah sebaiknya memfasilitasi upaya penyatuan kalender diawali dengan penyatuan definisi yang melibatkan seluruh ormas dan elemen Umat Islam di Indonesia. Pertemuan semacam ini sebaiknya dilakukan dalam forum resmi dan diselenggarakan secara periodik, misalnya dalam 5 tahun sekali, sehingga setiap perkembangan terbaru bisa dianalisis dan diterapkan.

Kedua, pemerintah sebaiknya mengatur permasalahan penanggalan Hijriyyah di Indonesia ini dengan lebih spesifik dalam peraturan perundangan yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan keputusan menteri. Jika masalah yang berkaitan dengan peradilan agama, zakat dan wakaf telah berhasil dibuatkan undang–undangnya, maka masalah penentuan awal bulan Qamariyyah ini juga membutuhkan peraturan perundangan yang setara.

Ketiga, pemerintah sebaiknya juga mengupayakan terbentuknya lembaga independen yang bertugas memutuskan penentuan awal bulan Qamariyyah, semacam Komisi Kalender atau Komisi Penanggalan. Embrio untuk lembaga independen ini sebenarnya sudah ada, yakni dari Badan Hisab dan Rukyat (BHR). Tinggal dilakukan perbaikan–perbaikan yang perlu agar bisa mencapai tujuan tersebut.

Senada dengan Ma’rufin Sudibyo, Pakar Astronomi dan Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Dr Thomas Djamaluddin kepada Alhikmah mengatakan bahwa saat ini tengah diupayakan adanya kriteria bersama oleh Departemen Agama, Badan Hisab dan Rukyat (BHR), serta Komite Penyatuan Penanggalan Islam (KPPI). “Mudah-mudahan masalah kriteria itu bisa segera diselesaikan,” pungkas Thomas.

Penulis          : Muhammad Yasin
Penyunting    : hb Sungkaryo
Tim Liputan  : Muhammad Yasin, Ernie Ari Susanti
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 38

Satu Tahun Banyak Idul Fitri? Dari perbedaan Menuju Penyatuan Definisi

Idul Fitri adalah hari besar bagi umat Islam. Tak hanya di Indonesia yang memiliki massa Islam mayoritas, bagi umat Islam di belahan dunia lain pun Idul fitri memiliki keistimewaan tersendiri.

Di Indonesia, misalnya, hari raya Idul Fitri dimanfatkan untuk berkumpul bersama keluarga, bersilaturahim dengan tetangga, menyajikan masakan dan minuman, berpakaian bersih dan rapih serta saling menyapa dengan ucapan khas hari raya Ied.

Jelas, ini merupakan momen untuk mempersatukan hati, pikiran dan barisan umat yang tampak larut dalam rutinitas dunia.

Pada praktiknya, kerap terjadi perbedaan, spesifik saat penentuan tanggal 1 Syawal.  Klasik sebetulnya, dan masih terjadi, memberikan warna tersendiri bagi umat Islam negeri ini.

Tercatat, tahun 1992,  sebagian umat Islam Indonesia merayakan Idul fitri pada hari Jumat 3 April, mengikuti Arab Saudi. Sebagian yang lain menyambut 1 Syawal baru terjadi keesokan harinya, Sabtu, 4 April 2009. Bahkan, ada pula yang melaksanakan pada hari Ahad, 5 April.

Perbedaan hari raya Idul Fitri pun kembali terjadi di tahun 1993, 1994 dan 1998, hingga terakhir, tahun 2008 lalu. Perbedaan ini muncul akibat organisasai massa (Ormas)  Islam yang ada berpegang pada masing-masing cara dalam menentukan penanggalan. Pemerintah melalui Departemen Agama RI, juga mengeluarkan keputusannya sendiri. Namun tidak selalu dipatuhi oleh ormas Islam.

Penanggalan Hijriyah
Kalender Hijriyah adalah sistem penanggalan yang digunakan umat Islam dalam menentukan tanggal dan bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya.

Sistem penanggalan ini menggunakan sistem kalender lunar atau bulan (Qomariyyah). Penentuan dimulainya hari/tanggal pada Kalender Hijriyah ketika terbenamnya matahari di wilayah tersebut. Terbenamnya matahari inilah yang mengakibatkan perubahan jam dari hari ke hari.

Sistem ini berbeda dengan sistem Kalender Masehi, dimana hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Maka, tentu saja tidak akan terjadi perbedaan. 

Sistem kalender Umat Islam ini, menurut peneliti Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak - Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF-RHI), sekaligus anggota Dewan Pakar Jogja Astro Club (JAC), Ma’rufin Sudibyo, telah digarisbawahi dalam al–Qur’an sebagai kalender lunar murni. Hal tersebut didasarkan pada peredaran Bulan di langit (Q.S. Yunus : 5), dimana 300 tahun kalender yang digunakan umat Nasrani setara dengan 309 tahun kalender Islam (Q.S. al–Kahfi : 25).

“Setahun kalender terdiri dari 12 lunasi/bulan (Q.S. at–Taubah : 36) dan transisi antar lunasi merujuk pada teramatinya hilaal, yakni Bulan yang bentuknya mirip sehelai benang melengkung (Q.S. al–Baqarah : 185, 189),” papar Ma’rufin Sudibyo kepada Alhikmah.

Masih menurut Ma’rufin Sudibyo, penetapan tanggal 1 bulan Hijriyah ditentukan oleh munculnya bulan sabit terkecil yang dapat dilihat oleh mata manusia, beberapa saat setelah matahari terbenam. Bulan sabit ini di dalam istilah keislaman dinamakan hilal.

“Terlihatnya hilal akan didahului peristiwa ijtimak atau konjungsi. Yakni saat bulan dan matahari sejajar dalam meridian yang sama secara astronomis. Maka saat terlihat hilal itulah tanggal satu sudah langsung ditetapkan,” terangnya lagi.

Namun, tambahnya, jika tidak terlihat maka jumlah bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Artinya tanggal 1 terjadi pada esok hari.

Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah “Nabi bersabda, ‘Berpuasalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (hilal tanggal 1 Syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari : 924)

Keragaman Metode Penentuan Tanggal
Secara umum di Indonesia, dikenal dua metode penentuan tanggal baru bulan Hijriah, yakni; metode Hisab dan Rukyat.

Kepada Alhikmah, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ghazalie Masroeri menerangkan bahwa hisab adalah praktek astronomi, berupa hitungan-hitungan sebagai prediksi akan terjadinya awal bulan, waktu shalat, arah kiblat dan gerhana.

“Hisab itu semacam hitungan dan perkiraan yang didasarkan kepada pengamatan benda langit secara empiris,” ungkap Ghazalie.

Sedangkan Rukyat, masih menurut Ghazalie, adalah pengamatan hilal di lapangan untuk mendeteksi penempakan hilal pada awal bulan, setiap tanggal 29 bulan Hijriyah yang sedang berjalan. Praktek melihat hilal bisa menggunakan alat tradisonal seperti gawang atau juga alat yang modern seperti  teropong mekanik.

Dari kedua metode inilah lahir beberapa kriteria penentuan awal bulan yang digunakan oleh ormas-ormas  Islam di Indonesia.

Hisab, misalnya, sesuai keterangan Ma’rufin Sudibyo, terbagi ke dalam dua jenis; Hisab modern dan Hisab urfi (tradisional). “Hisab modern dianut antara lain oleh Muhammadiyyah dan Persis (Persatuan Islam). Sedangkan Hisab tradisional dengan segala variasinya digunakan oleh Tarekat Naqsyabandiyah di Padang, Islam kejawen dan Jamaah an–Nadhir,” terang Ma’rufin Sudibyo.

Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Dr. Susiknan Azhari, kepada Alhikmah menegaskan, bahwa sistem yang digunakan Muhammadiyah adalah hisab haqiqi wujudul hilal.

Hisab ini, menurut Azhari, berdasarkan pada tiga criteria. Pertama; menurut perhitungan hisab telah terjadi ijtimak (bulan dan matahari sejajar). Kedua; ijtimak terjadi sebelum magrib (sebelum matahari terbenam). Dan terakhir; pada saat terbenamnya matahari, bulan masih berada di atas ufuk, belum terbenam.

“Bila ketiga kriteria itu terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru. Namun jika tidak terpenuhi, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari terakhir di bulan yang sedang berjalan dan bukan bulan baru,” tutur Susiknan.

Adapun Persis, seperti disampaikan Ketua Umumnya, KH. Shiddiq Amien, dalam menentukan penanggalan, menggunakan sistem hisab wujudul hilal (adanya hilal) dan juga Imkanur Rukyat (Hilal memungkinkan untuk dilihat). Kriteria Imkanur Rukyat sendiri adalah pada saat matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas cakrawala minimum 2° (derajat).

“Metode yang digunakan oleh Persis sama dengan Departemen Agama, Wujudul Hilal dan juga Imkanur Rukyat. Karena perintah Nabinya ‘Shaumlah kamu karena kamu sudah melihat hilal dan berIdul fitrilah kamu kalau sudah melihat hilal,’ ”tegas Shiddiq Amien.

Sistem rukyat terbagi ke dalam dua bagian, rukyat lokal dan rukyat global. Rukyat lokal dianut oleh NU dan Mabims (Menteri–Menteri Agama di Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia dan Singapura). Sedangkan rukyat global dianut oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Muslimin Hizbullah.

Sebenarnya baik NU maupun MABIMS tidak menggunakan rukyat murni, karena keduanya juga berpedoman pada hisab untuk memfilter hasil rukyatnya. Filter itu dinamakan “kriteria” MABIMS/Imkanur Rukyat,” ungkap Ma’rufin Sudibyo kepada Alhikmah.

Hal tersebut diperkuat KH Ghazalie Masroeri ketua Lajnah  PBNU, “jangan menganggap NU dalam menentukan penanggalan tidak pakai hitungan (Hisab). Namun yang perlu diperhatikan hisab disini hanya sebagai pendukung rukyat, makna pendukung berarti sebagai ancang-ancang pelaksanaan rukyat agar hasilnya memiliki kulitas yang sangat sempurna,” ungkapnya.

Sama halnya dengan NU, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menganut pola perpaduan antara hisab dan rukyat.

“Hitungan hisab kami kokohkan dengan pengamatan rukyat di awal maupun di akhir Ramadhan. Perpaduan metode hisab-rukyat ini sejauh pandangan kami –wallahu a'lam bissawab- lebih akuratif, valid dan teruji daripada memilih dan atau meninggalkan salah-satunya,” ungkap Sekretaris Pelaksana Majelis Fatwa DDII, Drs. H. Syamsul Bahri.

Pemerintah Indonesia atas dasar Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura atau yang dikenal dengan MABIMS  secara resmi memadukan Wujudul Hilal dan Imkan Rukyat.

Sedangkan sitem rukyat global dalam menentukan penanggalan dianut salah satunya oleh Hizbut Tahrir (HT). Sistem ini memandang, jika hilal bisa dilihat salah satu tempat di Negara manapun, maka pada saat itulah masuk bulan baru.

“Artinya, kita menunggu berita rukyat tidak sekedar dari Aceh, tetapi juga dari seluruh dunia,” Ungkap  Ketua Lajnah Maslahiyah DPP HTI, Ustadz Fahmi Amhar. Dasar keputusan ini menurut Fahmi dilandaskan pada bahwa dalil-dalil puasa itu berlaku umum, tidak dibatasi hanya pada orang tertentu atau penduduk negeri tertentu. “Metode ini disepakati oleh para imam Madzhab, kecuali Imam Syafi’i,katanya.

Substansi Perbedaan
Perbedaan-perbedaan penentuan tanggal itu terjadi menurut pakar Astronomi dan Astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Dr Thomas Djamaluddin, lebih disebabkan pada kriteria ketinggian hilal.

“Di Indonesia setidaknya ada dua ormas besar yaitu Muhammadiyah dan NU yang berbeda kriteria, namun kini sudah semakin dekat menuju titik temu. Muhammadiyah pada kriteria 0 derajat dan NU pada kriteria 2 derajat, ” papar Thomas kepada Alhikmah.

Senada dengan Thomas, Kepala Observatorium Bosscha, Bandung, Dr. Taufik Hidayat menegaskan bahwa pangkal persoalannya bukan masalah hisab dan rukyat, melainkan pada kriteria dari penampakan hilal. “Jadi Itu yang membuat resiko terjadi perbedaan dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal selalu terjadi,” ungkap Taufik.

Selain perbedaan kriteria, kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan kejadian di sudut belahan dunia manapun bisa diketahui secara global, menjadikan fenomena ini semakin menarik. Teknologi ini memberikan laporan bahwa di satu Negara melihat hilal segera menyebar keseluruh dunia, dan segera dijadikan rujukan rukyat bahwa itu dianggap rukyat yang bersifat global.

Sedangkan peneliti LP2IF-RHI Ma’rufin Sudibyo, melihat perbedaan antara Wujudul Hilaal dan Imkanur Rukyat, sejatinya terletak pada pendefinisian hilaal. Wujudul hilaal, Sudibyo, berhipotesis bahwa hilaal telah wujud (terbentuk/lahir), ketika Matahari terbenam sedikitnya 1 menit lebih awal dibanding Bulan dalam beberapa jam setelah ijtima’.

Sementara, masih menurut Sudibyo, para penganut Imkanur Rukyat berpandangan bahwa pada saat wujudul hilaal, hilaal memang telah terbentuk. Namun sesungguhnya belum mungkin untuk dilihat (belum imkan). Hilaal baru mungkin untuk dilihat jika tingginya minimal 2o saat Matahari terbenam, dengan umur Bulan minimal 8 jam dan elongasi minimal 3o.

“Definisi inilah yang kemudian memunculkan perbedaan,” ungkapnya.

Diantara Solusi
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Aminuddin Yakub mengatakan bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa Pada tahun 2004 nomor 2 /2004, tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sebagai penjembatan perbedaan diantara ormas-ormas Islam.

Dalam fatwa itu dikatakan awal Qomariyah bisa menggunakan hisab dan rukyatul hilal. Pada poin berikutnya MUI memutuskan supaya tidak terjadi perbedaan maka negaralah yang menjadi hakim untuk memutuskan kapan dimulai.

“Maka kaidah fiqihnya Amrul Imam Yarfa’ul Khilaf, keputusan pemimpin menghentikan perbedaan. Jadi keputusan hakim dalam hal ini pemerintah negara mutlak dan berfungsi untuk menghilangkan perbedaan,” tegas Aminuddin.

Penulis            : Muhammad Yasin
Penyunting       : hb Sungkaryo
Tim Liputan     : Muhammad Yasin, Ernie Ari Susanti
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 38

Jumat, 28 Januari 2011

Majelis Taklim USPAR Mengikis Citra Negatif Usaha Pariwisata

Di mata sebagian orang, hotel dianggap memiki imej yang cenderung negatif. Wajar jika citra itu kadung melekat, selain core usaha yang bergerak di bidang jasa layananan penginapan, hotel kerap disalahgunakan sebagai ajang pemuas nafsu biologis manusia. Razia ke hotel-hotel dalam rangka meminimalisasi perbuatan asusila pun banyak dilakukan aparat kepolisian.

Kondisi tersebut menginspirasi Marketing Manager Hotel Trio, Bandung, H. Oman Hidayatuddin, dan ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haris Hermawan, untuk mengadakan pertemuan dengan sejumlah kalangan yang berkepentingan.

Saat itu persis menjelang bulan Ramadhan tahun 1991. Sepuluh General Manager yang mewakili institusi masing-masing, antara lain; Hotel Trio, Hotel Guntur, Hotel Papandayan, Hotel Panghegar, Hotel Savoy Homann, Hotel Jayakarta, Hotel Arjuna, dan Restoran Sindangreret melakukan pertemuan di kantor PHRI, jalan Palasari no. 6 Bandung.

Pertemuan itu membuahkan komitmen bersama untuk mengadakan acara keagamaan di hotel. “Selain kesadaran spiritual yang penting untuk terus dikembangkan, aktivitas keagamaan dianggap bisa memulihkan citra negatif hotel selama ini,” ungkap Oman Hidayatuddin.

Majelis Taklim USPAR (MT USPAR). Demikian wadah aktualisasi spiritual itu dinamai. Uspar bukan diambil dari bahasa Arab, melainkan singkatan dari Usaha Pariwisata. Nama ini diambil karena MT ini merupakan kumpulan hotel, Restoran dan Lembaga Pendidikan Pariwisata di Bandung.

Aktivitas pertama saat itu adalah Safari Ramadhan. Setiap hotel yang tergabung dalam MT USPAR berupaya menyediakan ta’zil, shalat Magrib, makan malam, shalat Isya serta ceramah tarawih yang diisi oleh penceramah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Departemen Agama Kota Bandung, serta beberapa ustadz lainnya. Kegitan ini dilaksanakan secara bergilir selama 28 hari penuh di bulan Ramadhan.

Tak hanya anggota MT USPAR yang hadir, Majelis Taklim di luar Uspar, serta 45 Panti Asuhan yang ada di kota Bandung, juga turut meramaikan Safari Ramadhan tersebut.

Khusus untuk Panti asuhan, hotel/ restoran yang mendapat giliran jadwal Safari Ramadhan wajib mengundang dua panti asuhan, dengan perwakilan 20 orang perpanti asuhan. “Alhamdulillah, saya juga ngga nyangka, meskipun owner-nya bukan orang Islam, tapi dalam kegiatan ritual di bulan Ramadhan, mereka sangat perhatian,” tutur H. Oman.

Kegiatan safari Ramadhan pun kemudian berlanjut menjadi agenda rutin setiap tahunnya. Sedangkan di luar bulan Ramadhan, MT USPAR mengadakan pengajian bulanan, santunan sosial serta khitanan massal.

Bahkan atas peran MT USPAR, saat ini banyak hotel-hotel di Bandung bisa mennyelenggtarakan shalat jumat sendiri. Sebelumnya, untuk shalat jumat, karyawan muslim di salah satu hotel pergi ke masjid terdekat. Suatu saat, ketika di hotel tersebut menggelar pesta pernikahan, para karyawan terlambat datang, karena lokasi shalat jumat yang berada di luar hotel. General Manager hotel itu pun naik pitam.

H. Oman yang melihat peristiwa itu bertutur, “Kenapa bapak tidak menyelenggarakan shalat jumat di sini (Hotel_red). Karyawan muslim akan sangat terbantu, dan pasti hemat waktu.”

Tak lama, gayung pun bersambut. Mulanya yang menggelar shalat jumat adalah Grand Hotel Preanger dan Hotel Panghegar. Saat ini, menurut H. Oman, terdapat 18 hotel di kota Bandung yang sudah melaksanakan Jumat di hotelnya masing-masing.

Selain menyelenggarakan shalat jumat, MT USPAR juga mengadakan pelatihan Khatib jumat. Hal ini dilakukan untuk pengembangan potensi jemaah, plus solusi mengatasi kebingungan apabila khatib undangan batal datang.

Hingga kini MT USPAR telah memilki 400 anggota yang tersebar di puluhan hotel, restoran dan Lembaga Pendidikan Pariwisata di Kota Bandung.

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 38

Fetty Fajriati “Media Harus Hati-hati dalam Menyiarkan Program-programnya!”

Fetty Fajriati Miftach
Wakil Ketua KPI Pusat

Tanggapan Anda tentang tayangan media di bulan Ramadhan?
Untuk menyikapi tayangan yang membawa tema-tema Islam, KPI bekerjasama dengan MUI. Sejak Periode ke dua KPI membuat MoU dengan MUI, tepatnya tanggal 27 Bulan Nopember 2007. MOU itu berisikan antara lain KPI Pusat dan MUI melakukan pemantauan program televisi yang terkait dengan tema-tema agama Islam, dan program-program televisi di bulan Ramadhan.

Pada Bulan Ramadhan tahun lalu, KPI Pusat, MUI dan Depkominfo selalu mengumumkan hasil pemantauan  program-program bulan Ramadhan yang dinilai baik setiap sepuluh hari di bulan Ramadhan. Tahun ini, diharapkan kegiatan itu akan tetap berjalan. 


Tindakan apa yang akan dilakukan KPI untuk media yang tetap bandel dengan program yang meresahkan?

KPI Pusat telah beberapa kali memberikan surat teguran dan peringatan kepada stasiun televisi (rekap teguran dapat dilihat di situs KPI: www.kpi.go.id. Sebagai amanah UU tentang Penyiaran No. 32/2002 Pasal 8 ayat (3) huruf a: “menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia.”  


Meski demikian KPI memang sulit jika harus menghentikan dan tidak boleh tayang sama sekali. Saat ini KPI masih merumuskan masalah mekanisme sanksi yang jelas dan tegas di dalam P3SPS. Tentu saja dalam merumuskan aturan ini KPI menerima masukan dari semua pihak, termasuk pihak industri yang diwakili oleh Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dll.   


Adakah tim evaluasinya?

Jawab: KPI Pusat melakukan pemantauan tayangan televisi setiap harinya. Ditambah lagi masing-masing komisioner (8 orang) memiliki kelompok tim peneliti yang melakukan pemantauan setiap bulannya sesuai tema. Temanya adalah kekerasan, mistik dan religi, pornografi, iklan dan tayangan anak.


Setiap bulan KPI Pusat selalu mengumumkan program bermasalah melalui pemantauan langsung. Tim panelisnya terdiri dari para pakar di bidangnya, yakni: Prof. Dr. Arief Rahman (pakar pendidikan), Dr. Seto Mulyadi (Psikolog Anak), Dedy Nur Hidayat, Ph.D (pakar komunikasi), Dra. Nina Armando, MSi (Dosen UI), Bobby Guntarto, MA (dari Yayasan Pengembangan Anak dan Media), dan Ir. Razaini Taher (praktisi media). 


Sampai sejauh ini adakah tayangan di televisi terbaru yang dilarang KPI ?

Jawab: Surat teguran terbaru yang dilayangkan KPI Pusat adalah melarang materi kekerasan yang ditayangkan pada program sulap di dua stasiun televisi (lihat: situs KPI). Sebab ada atraksi atau adegan yang memotong lidah, memotong bagian tubuh tertentu, menusuk, membakar, bahkan secara close up memperlihatkan adegan si pesulap memasukkan benang dari mulut lalu tembus di mata kanan.


KPI Pusat juga pernah menghentikan penayangan Empat Mata selama satu bulan.  Kemudian Program tersebut berubah menjadi "Bukan Empat Mata". Lalu KPI Pusat membatasi jam tayang Bukan Empat Mata atas kesalahan adanya ucapan kotor yang terlontar dari tamu yaitu Grup Kangen Band, pada edisi 3 Juni 2009.  Selain pembatasan durasi/frekuensi tayangnya hanya 3 kali dalam seminggu, Bukan Empat Mata juga tidak boleh lagi tayang secara "live". Dan Stasiun teve bersangkutan diminta untuk meminta maaf pada penonton atas kesalahan tersebut.


Kemudian untuk Reality Show, KPI Pusat telah menghentikan program Curhat Dengan Anjasmara per tanggal 28 Mei 2009. Meskipun akhirnya tanggal (1/7) tayangan ini kembali muncul, namun berubah jamnya, yang tadinya pukul 17.00 menjadi pukul 22.00. 

Sudah adakah koordinasi dengan MUI dan ormas Islam untuk persiapan Ramadhan?

Jawab: Sudah. KPI Pusat dan MUI akhir Bulan Juli 2009 mengumpulkan seluruh lembaga penyiaran (televisi dan radio) untuk memberikan acuan program siar kepada mereka selama Ramadhan.  


Selama ini efektif tindakan yang dilakukan KPI

Jawab: Sudah. Beberapa lembaga penyiaran mau memperbaiki serta segera membenahi isi siarannya setelah mendapat teguran dari KPI. Kalau pun ada yang membandel, lebih dikarenakan karena peraturan KPI yang masih lemah dalam hal sanksi tadi.


Himbauan untuk media dan masyarakat ?
Jawab: Upaya mewujudkan media penyiaran yang sehat tidaklah semudah membalik telapak tangan. Butuh proses dan perjuangan, salah satunya adalah memperkuat kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, lembaga penyiaran dan KPI.

Jika salah satu saja dari elemen tersebut tidak mau diajak bekerjasama maka proses tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Dalam hal ini KPI mengharapkan kepada masyarakat untuk lebih kritis lagi terhadap tayangan yang tidak mendidik dan segera melaporkan kepada KPI atau langsung menegur lembaga penyiaran yang bersangkutan.

Dan untuk media penyiaran juga harus lebih hati-hati dalam menyiarkan program-programnya. Kalau pun berorientasi pada keuntungan, harus jauh memberikan keuntungan juga pada masyarakat.

Fenomena Ramadhan, Sekularisasi Ciptakan Pribadi Hipokrit!

Drs. Yadi Purwanto, MM., MBA
Ketua program Magister Psikologi Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS)
Wakil ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islami (API)

Bagaimana Anda menanggapi fenomena mendadak religius menjelang Ramadhan?
Pertama, pada dasarnya di dalam diri manusia, siapa pun dia memiliki insting beragama. Insting itu akan muncul semakin besar ketika suasananya memungkinkan.Biasanya Ramadhan itu secara situasional memungkinkan insting beragama orang muncul.

Kedua, rasa pertobatan. Karena mereka juga sebagai manusia yang memiliki potensi positif. mereka sadar dunia artis bergelimang ketidakberesan, semisal pamer wajah, hingga aurat. Dan kesadaran bahwa program yang mereka buat tidak semata-mata menghibur, tapi juga merusak. Maka, ada saatnya, di bulan Ramadhan, mereka bertobat.

Ketiga, kapitalisme Religius Jadi. kapitalisme ini tetap saja konteksnya perdagangan. Cuma yang didagangkan religiusitas. Mereka itu agen-agen ekonomi yang memanfaatkan peluang apa saja termasuk religiusitas. Dan apapun selama bisa dijual dan memberi manfaat ya digarap. Tapi motifnya Ujung-ujung Duit.

Model Psikologi behaviorisme sendiri perannya disini bagaimana?
Teori dasarnya sederhana ada stimulus, proses dan report. Dari teori sederhana inilah kebiasan yang terjadi di era kapitalisme ini. Stimulus kita memang hedonisme. Kalaupun beragama itu dalam rangka mencari kenikmatan, mencari bathiniyah pribadi, mencari kesenangan, kesohoran. Itu kan hedonisme. Secara umum stimulusnya sudah dikuasai oleh model itu.

Sedangkan secara proses, di dalam diri manusia kita juga merupakan hasil produk sosial yang boleh dikira semi rusak. Kita dididik secara sekuler. Jadi proses yang ada di dalam diri manusia Indonesia adalah secara umum proses sekularisasi. Kalau acara ramadhan jadi baik tapi di luar ramadhan jadi rusak. Nggak shaum nggak apa-apa itu hak saya, tapi ketika di shoot minimal kelihatan berbeda di muka umum.

Maka munculah pribadi-pribadi ganda atau hipokrit. Pemimpin juga mendadak baik di bulan ramadhan, maulid dan momen lainnya. Begitu juga penindakan miras mendadak ramai di bulan ramadhan, di luar ramadhan dibekingi. Seperti itulah faktanya.

Pribadi ganda dalam istilah psikologi seperti apa?
Ya itu tadi Split Personality dan Hipokrit.  Split Personality biasanya agak abnormal tapi kalau Hipokrit dikaitkan dengan orang normal, cuma punya kepribadian atau kebiasaan bermuka banyak. Ia tidak punya rasa bersalah ketika dia berperan yang lain, karena itu sudah kebiasaan rusak, kebiasaan fasik, nifak, Berkata tidak jujur, berbuat tidak sesuai yang diucapkan. Misalnya  aktor/aktris sinetron, di luar tidak berjilbab di sinetron dia berjilbab, di luar sinetron tidak baik di sinetron menjadi solehah.

Solusi mengatasi dua kepribadian ganda?
Split Personality harus melakukan konseling, karena itu termasuk abnormal. Tapi kalau hipokrit, cara menghilangkannya,  yang pertama ilmu. Karena hipokrit itu nifak. Apakah kita akan menjadi orang nifak apa tidak karena nifak itu ada di nereka yang paling bawah asfal min nar jadi harus ada kesadaran.
Kedua, kita harus punya saudara/teman yang mengingatkan kita untuk selalu berada dalam kebaikan.

Kalau begitu bagaimana cara seseorang bisa berubah dan konsisten dalam beramal?
Kenapa orang bisa berubah? ada dua dalam teori psikologi. Yaitu Behaviorisme (Perilaku) itu adalah Perkawinan antara I+E. I (Individual/pribadi) dan E (Environment/lingkungan).

Jadi kalau individunya rusak kemudian lingkungan baik maka tetap rusak. Ada juga yang individunya potensi baik tapi lingkungan rusak maka dia bisa rusak. Maka tinggal kuat I atau E.

Kalau I nya lebih kuat dari E maka dia bisa merubah lingkungn tapi kalau E nya lebih kuat dari I maka I akan dipengaruhi oleh E. Kalau I kuat lingkungan diajak didakwahi tapi Kalau E nilai negatifnya kuat maka individu diracuni.

Cuma kalau dalam teori perilaku psikologi Islami, Perilaku itu fungsi I, E dan H (Hidayah). Bisa jadi Individu lemah, lingkungan lemah tapi kemudian ada hidayah maka I jadi kuat. bisa juga I baik E rusak tapi ada hidayah itu bisa baik.

Nah itu bisa diraih di bulan Ramadhan. Hidayah Allah di bulan ramadhan lebih besar. Lingkungannya lebih baik, setan diikat, sehingga potensi untuk melakukan kebaikan lebih besar. Maka teori yang ke 3 kita pakai I+ E+ H.

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 37

Tulisan Berkaitan

Ramadhan di Persimpangan

Ramadhan di Persimpangan. Artinya, sebuah pilihan yang kita sendiri pada akhirnya menentukan, kemana hidup ini diarahkan. Sekedar mampir di Rest Area, untuk rehat sejenak melepas penat, lalu kembali terjebak di rutinitas yang serba tak jelas. Atau, juga mampir di Rest Area, berkontemplasi, merenung, temukan jawaban atas pertanyaan dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup? Dan akan kemana kita nanti menuju? Barulah memutuskan, simpangan mana yang akan dipilih, sebagai jalan kebenaran.

Sebagaimana firman Allah Swt;

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang bathil).” (Q.S. Albaqarah; 185)

Masih dalam surat, yang sama Allah SWT mengabulkan doa seseorang di bulan Ramadhan.

Dan apabaila hamba-hambaku bertanya kepadamu (Muhammad) tetang aku, maka sesungguhny aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklan mereka itu memenuhi (perintah)Ku dan beriman kepadaKu, agar mereka memperolah kebenaran.”(Q.S. Albaqarah; 186)

Sejarah bahkan merekam, Perang Badar yang terjadi di tahun ke-2 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, meraih kemenangan besar. Beberapa pertempuran dalam perang Tabuk, terjadi pada bulan Ramadhan. Dan sederet peristiwa penting lainnya.

Ramadhan dan McDonaldisasi Agama

Namun, kini, disadari atau tidak, ada pergeseran pemaknaan bulan suci Ramadhan itu sendiri. Semangat memperbaiki diri, melalui beragam aktivitas keagamaan, mulai terkontaminasi, bahkan termarjinalisasi dalam kepungan arus modernitas.

Maka, tantangannya pun tak kalah hebat dibandingkan para pendahulu yang telah memberi contoh sejak mula. Terlebih, arus informasi sudah sedemikian deras mengaliri alam pikir setiap orang, termasuk umat Islam.

Muncul istilah “McDonaldisasi Agama” di Bulan Ramadhan. Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Asep Purnama Bahtiar, dan Direktur American Corner UMY, Endro Dwi Hatmanto dalam artikelnya menyebut  terminologi McDonaldisasi pertama kali dikemukakan oleh George Ritzer (1993), sosiolog kawakan dari Amerika Serikat, untuk menggambarkan bentuk partikular dari proses rasionalisasi dan standardisasi dari seluruh wilayah kehidupan.

Acara-acara Ramadhan di televisi misalnya, dibuat secara instan dan selebritif, serta model dan formatnya mirip antara satu dengan lainnya. Semangat masyarakat dalam menyambut bulan suci ini digiring menjadi suatu peluang bisnis yang menguntungkan bagi “mereka”.

Kepada Alhikmah, Dina Sudjana (40), seorang ibu rumah tangga yang saat ini berdomisili di Jepang mengikuti suaminya, mengakui hal tersebut.  Dina, menyebutkan bahwa tradisi Ramadhan memang saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh budaya konsumtif, permisif dan cenderung mementingkan materi semata.

“kami para ibu memang gampang tergoda dengan hal-hal yang berbau konsumtif. Kadang iklan yang gencar di TV memang membuat saya tergoda untuk membeli suatu produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan.”

Dina mengakui juga bahwa pada masa ini budaya Ramadhan mengalami pergeseran yang sangat terasa. Saat ini seluruh lapisan masyarakat berlomba-lomba menyambut Ramadhan dengan iberbagai macam kegiatan yang sangat kreatif. Iklan – iklan dan tayangan sinetron religi pun marak berseliweran di televisi, di majalah atau koran di pinggir-pinggir jalan.

Dina yang sudah lima (5) tahun hidup di Jepang menyoroti fenomena serba mendadak religius di bulan ramadhan ini sebagai sesuatu yang sebenarnya cukup baik. Namun, katanya, harus diimbangi dengan tingkat religiusitas yang sama di bulan-bulan lain di luar Ramadhan.

Menjaga Nilai Ramadhan

Upaya mempertahankan nilai positif dalam beribadah seusai Ramadhan menurut Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Islam, Drs. Yadi Purwanto, MM., MBA  ditentukan oleh dua faktor; Yaitu indivudu dan lingkungan.

Pertama, Faktor Individu. Di dalam Individu, terdapat dua bagian yang perlu diperbaiki, yaitu: 1) Akal. Akal disuapi dengan ilmu yang benar. Sarananya di bulan ramadhan sangat banyak, mulai dari mengaji dan ceramah. 2)Nafsiyah atau Jiwa. Dari jiwa ini ada kebutuhan bathiniyah. Bulan Ramadhan sudah saatnya nafsiyah harus dibersihkan dengan banyak istigfar.

Kedua, Faktor Lingkungan. Lingkungan menurut Yadi perlu dibersihkan dari beragam maksiat. Penutupan ini tidak hanya dilakukan selama Ramadhan, melainkan setiap hari. Sehingga, anak-anak dididik dengan baik oleh lingkungan yang baik.

Sedangkan menurut pandangan Wakil Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI), Drs. Aminuddin Yakub, untuk menjaga kesucian Ramadhan itu caranya dengan menganggap bahwa setiap bulan itu bulan Ramadhan. Artinya, semangat Ramadhan tidak hanya dijalankan dan dimanfaatkan hanya dalam waktu satu bulan saja.

“Seseorang yang bertakwa kepada Allah akan menjaga perilakunya setiap hari. Cermin ketakwaan seseorang akan bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari selama setahun. Maka, untuk menjaga ketakwaan tentunya dengan menjaga semangat Ramadhan terus membara di sepanjang bulan,”ungkapnya.
Insya Allah, Ramadhan kali ini, kita lebih siap memutuskan, jalan mana di persimpangan nanti yang akan dipilih. Wallahu a’lam

Hbsungkaryo, Muhammad Yasin, Ligya Nostalina
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 37

Tulisan berkaitan

Kamis, 27 Januari 2011

Ramadhan Mendadak Religius ‘Kompetisi’ Mengejar Berkah 1000 Bulan

Bulan Ramadhan, sebagaimana dijanjikan Allah Swt, memang penuh berkah. Lihatlah kini, dan waktu-waktu Ramadhan sebelumnya di negeri ini, terutama. Betapa banyak hal mendadak berubah.

Tak melulu artis, pejabat, atau konglomerat,  masyarakat biasa juga bisa turut serta. Pola makan, tidur, berpakaian, hingga kebiasaan berkunjung ke klub malam pun diurungkan.

Demikian pula secara institusional, profit ataupun sosial.  Ragam aktivitas kegiatan begitu gebyar dilakukan, dengan beragam tujuan. Mereka semua, larut dalam ‘kompetisi’ mengejar  berkah 1000 bulan.

Bagi institusi profit semisal televisi, fakta berbicara, Ramadhan memang begitu menggoda. Lembaga survai AGB Nielsen mencatat dua minggu pertama Ramadhan 1-14 September 2008 lalu, terdapat kenaikan pemirsa TV rata-rata 20%. Padahal dua minggu sebelumnya 18-31 Agustus 2008, rata-rata jumlah penonton 10,9% dari total populasi TV atau sekitar 4,6 juta orang berusia 5 tahun ke atas (5+). Survai ini dilakukan di 10 kota-kota besar rating di bulan Ramadhan meningkat drastis

Sebelumnya, Majalah SWA 2006 menyaji data, di bulan-bulan biasa, jumlah pemirsa di slot fringe time terutama pukul 02.00 hingga 06.00 di kisaran 707 ribu. Pada bulan Ramadhan membludak menjadi 5,22 juta pasang mata, melonjak sekitar 725%. Maka, bagi pemasar di stasiun televisi, bulan Ramadhan memiliki dua slot prime time yang tidak ditemui di bulan lain. Selain slot prime time reguler pukul 18.00-22.00, ditambah waktu sahur (meskipun besaran pemirsa masih jauh di bawah prime time reguler).

Tengok saja stasiun TV berlomba-lomba menampilkan program unggulannya yang bertemakan religi. SCTV misalnya, pada tahun 2008 menyajikan empat judul sinetron religi antara lain 'Para Pencari Tuhan 2', 'Rinduku Cinta-Mu', 'Annisa' dan 'Zahra'. Bahkan, untuk Ramadhan tahun 2009 ini, SCTV siap menyaji 2 sinetron religi andalannya ‘Cinta Fitri Season Ramadan’ dan ‘Para Pencari Tuhan 3’.

Sedangkan RCTI pada tahun 2009 ini mengangkat tema “RCTI Bintangnya Ramadhan” dengan tayangan-tayangan unggulan seperti Sinetron Manohara, Sinetron Baim Anak Sholeh, Dahsyatnya Sahur, Tak Ada Yang Abadi dan tayangan filler, Asmaul Husna oleh Ary Ginanjar.

Di ranah musik, seakan tak mau ketinggalan, grup-grup musik yang di luar Ramadhan biasa menyuguhkan musik ‘jingkrak’,  saat Ramadhan begitu tampak religius.

Gigi, misalnya. Band senior yang terkenal dengan lagu religi andalannya di tahun 2004  ‘raihlah Kemenangan’, jelang Ramadhan 2009 mengeluarkan album kompilasi berisi lagu-lagu Gigi yang pernah populer dan diterima masyarakat dengan  menggandeng Lusy Rahmawati dan Tohpati.

Kemudian Ungu. Ungu yang mengeluarkan album religi pertamanya di tahun 2006 bertajuk Surga-Mu terjual 150.000 keping hanya dalam tempo 10 hari sejak rilis. Bahkan saking dahsyatnya Wakil Presiden Yususf Kalla di tahun yang sama memberikan penghargaan 'Inspiring' atas album religi SurgaMu.

Kesuksesan Gigi dan Ungu dalam merilis album religi mulai banyak diikuti pendatang baru. Pada Ramadhan tahun 2009 ini D’Masiv meluncurkan special edition audio vcd dengan lagu berjudul ‘Jangan Menyerah’ dan ‘Mohon Ampun’. Wali akan merilis album bertajuk "Ingat Shalawat" dengan judul Mari Shalawat, Ya Allah, Tuhan, dan Tomat (Tobat Maksiat).

Pendatang baru di dunia musik Indonesia, Vidi Aldiano, Jelang Ramadhan ini  meluncurkan album kompilasi religi berjudul ‘Lelaki Pilihan’. Album yang digarap bareng Sam Bimbo itu akan berisikan lima lagu, tiga di antaranya berjudul Rindu Rasul, Keagungan Tuhan, dan Ibundaku Surgaku.

Sebagaimana dituturkan Yanuar manajemen Gigi, motivasi terbesar Gigi mengeluarkan album religi dengan harapan bisa ikut memberikan kontribusi positif bagi pendengarnya yang rata-rata anak muda.
“Kalau dikatakan berdakwah mungkin bahasanya cukup berat, yang pasti Gigi hanya ingin mengingatkan sesuatu melalui lirik lagu.” Ungkapnya kepada alhikmah melalui telepon.

Di ruang fashion, Fakta menunjukan penjualan busana muslim meningkat tajam di bulan Ramadhan.
Rabbani, salah satu produsen busana muslim yang mengklaim sebagai pionir kerudung instan ini saat bulan Ramadhan 2008 dikunjungi sekitar  3000 orang setiap harinya.” Jumlah tersebut jauh berbeda dengan hari-hari di luar Ramadhan, yang hanya berkisar 300 orang pengunjung,” ungkap  Wakil Marketing Manager Rabbani, Imam Nugraha.

Begitu pula Shafira, yang berpusat  di Jalan Buahbatu, Bandung. Kepada Alhikmah, Store Manager Shafira, Arie Kusuma Negara mengatakan, “Setiap harinya pada bulan Ramadhan, omset kami mencapai 100 juta Rupiah perhari. Jauh berbeda dengan hari biasa yang hanya meraup omset sekitar 5 juta-an.”

Termasuk Ibadah
Tak hanya pola konsumsi, tren berbagi di kalangan umat Islam pun ternyata mengalami lonjakan yang cukup signifikan di bulan suci ini.

Yuli Pujihardi, Direktur Fundraising dan Marketing Komunikasi Dompet Dhuafa Republika (DDR), kepada alhikmah mengatakan, Ramadhan tahun lalu (2008_red), DDR menghimpun dana Ziswaf sebesar 18 milyar. Berbeda dengan di luar bulan Ramadhan yang hanya bisa menghimpun 4 milyar saja.

Sama dengan DDR, penghimpunan Ziswaf Rumah Zakat Indonesia (RZI) di bulan Ramadhan lalu mencapai 15 M. “Jauh berbeda dengan bulan biasanya, yang hanya menghimpun dana Ziswaf 5 milyar,” ungkap Chief Executive Officer (CEO) RZI, Virda Dimas Ekaputra kepada Alhikmah.
Masjid, sebagai sentra peribadatan umat Islam, turut mengalami peningkatan jumlah jamaah yang berlipat-lipat.

Saat Ramadhan,  Masjid Raya Bandung yang berkapasitas 12 ribu jamaah, dikunjungi 6-7 ribu-an jamaah yang menunaikan shalat setiap harinya. Di luar bulan, turun drastis hingga 200-500 orang yang shalat setiap harinya.

Bahkan untuk menjaga kekhusuan ibadah di bulan ramadhan tempat-tempat hiburan ditutup. Di Bandung, satu misal. Diskotek, pub, klub malam, karaoke, bar, sanggar tari, panti pijat, panti sauna, billiard, serta hotel, rumah makan atau restoran yang menyediakan sarana-sarana tersebut, ditutup selama 30 hari.
Penutupan tersebut, menurut Kepala Bagian Objek Wisata Dinas Pariwisata kota Bandung, Aman Raksanagara, telah diatur dalam Peraturan Daerah kota Bandung No. 10 Tahun 2004, tentang penyelenggaraan usaha pariwisata.

Di Balik Keserbamendadakan
Seperti dilansir Koran Tempo tahun lalu, 31 Agustus 2008, Brand Management Trinity Optima (label album ketiga band Ungu), Dina Melisa, menyatakan ide pembuatan album religius Ungu itu tercetus dua tahun setelah melihat peluang pasar yang menjanjikan. Trinity memperkirakan, album religius grup itu akan diterima penggemarnya, apalagi dilepas menjelang Ramadhan.

Perhitungan itu tak meleset. Menurut Dina, dalam sepekan, album religius ketiga Ungu sudah menembus 150 ribu kopi. Album religius pertama, Surga-Mu, terjual lebih dari 750 ribu kopi. Adapun yang kedua, Para Pencari-Mu, laku lebih dari 500 ribu kopi. "Ini belum termasuk penjualan ringback tone, yang juga tak kalah tinggi," Dina menerangkan.

Sang vokalis, Pasha, bahkan menegaskan, "Pembuatan album religius menjadi jadwal rutin kami setiap Ramadhan."

Masih di tahun yang sama, 2008, sinetron Para Pencari Tuhan 2 karya Deddy Mizwar,sukses meraih 30-40 persen pemirsa di jam tayangnya. 

Menyikapi fenomena ini, pemerhati media Arswendo Atmowiloto kepada media yang sama, berkomentar sarkastik, “seperti biasa, stasiun televisi swasta berbusa-busa menyambut bulan ramadhan. Memang televisi cuma mau cari duit saja.”

Dari perspektif psikologis, kepada Alhikmah, Wakil Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islami (API) menurut Drs. Yadi Purwanto, MM., MBA, mengatakan, fenomena keserbamendadakan seseorang, di bulan Ramadhan disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, kata Yadi, pada dasarnya di dalam diri manusia, siapa pun dia, memiliki insting beragama. “Insting itu muncul semakin besar ketika suasananya memungkinkan dan Ramadhan secara situasional memungkinkan insting beragama muncul,” ujarnya.

Kedua, rasa pertobatan. Menurut Yadi, karena manusia memiliki potensi positif, mereka sadar dunia artis bergelimang ketidakberesan, semisal pamer wajah, hingga aurat. Dan kesadaran bahwa program yang mereka buat tidak semata-mata menghibur, tapi juga merusak. Maka, ada saatnya, di bulan Ramadhan, mereka bertobat.

Ketiga, kondisi ini, lanjut Yadi, tidak terlepas dari kapitalisme religius. “Jadi, kapitalisme ini tetap saja konteksnya perdagangan. Cuma yang didagangkan religiusitas,” tandas Yadi.

Mereka, lanjut Yadi, adalah agen-agen ekonomi yang memanfaatkan peluang apa saja termasuk religiusitas. “Apapun selama bisa dijual dan memberi manfaat akan digarap. Tapi motifnya Ujung-Ujung Duit. Motif ini sangat menonjol di kalangan entertainer,” katanya.

Dampaknya
Senada dengan Yadi Purwanto, Drs. Soeprapto, SU Dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM menjelang Ramadhan, setiap orang memang memiliki keinginan menjadi orang yang kembali fitrah. Masyarakat atau artis melakukan introspeksi terhadap perilaku yang dilakukannya, sehingga terkesan religius.

Kalaupun kebiasaan ini menjadi budaya menurut Soeprapto secara sosial masyarakat melihat, meniru, kemudian budaya ini terus berulang setiap tahunnya. Kesinambungan ini, masih menurut Soeprapto, dikarenakan pengaruh pemikiran dan pola kepercayaan.

Peran media termasuk salah satu tolak ukur budaya masyarakat untuk meniru perilaku para selebritas yang ‘mendadak religius’ dalam beragam hal  di bulan ramadhan. Hal tersebut dibenarkan Pakar Komunikasi Universitas Padjadjaran (UNPAD) Prof. Deddy Mulyana M.A, Ph.D. Menurutnya, masyarakat Indonesia mudah mengagumi orang lain.

“Oleh karena itu pengaruh selebritis akan lebih berdampak dibandingkan orang biasa,” ungkap Dedy Mulyana kepada alhikmah.

Peran media ini jelas akan berbahaya jika memang menampilkan tayangan-tayangan keislaman yang ternyata tidak sesuai dengan Islam itu sendiri. Apalagi menurut Dedy, tingkat pendidikan masyarakat rendah. Semakin rendah pendidikannya maka akan semakin mudah untuk meniru.

Melihat dampak itu, Ketua Komisi Komunikasi dan Informasi Majeli Ulama Indonesia (MUI), H.M. Said Budairy kepada Alhikmah mengatakan bahwa setiap menjelang Ramadhan, MUI  selalu duduk bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Lembaga Sensor Film (LSF) dan jajaran stasiun-stasiun TV, untuk membahas program tayangan di bulan ramadhan.

Tak hanya membahas, mereka bahkan membentuk Tim untuk mengawasi isi siaran sebagaimana yang telah disepakati sebelumnya. “Pada pertengahan dan akhir ramadhan seperti tahun 2008 kami berusaha untuk menyelenggarakan Press Conference penilaian MUI terhadap tayangan-tayangan televisi di bulan ramadhan itu. Kami akan memberikan penilaian-penilaian mana yang kurang dan mana yang bagus,” ungkapnya.
Pandangan Ulama

Wakil Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI, Drs. Aminuddin Yakub menyayangkan perilaku sebagian masyarakat yang menjadikan agama sebagai sebuah permainan, dan menjadikan sikap keberagamaan itu hanya bersifat temporer.

Perlaku ini pun, menurut Yakub menunjukkan bagaimana tingkat pemahaman agama mereka. Ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa jilbab atau busana tidak menggambarkan secara keseluruhan seseorang, yang terpenting adalah hatinya.

“Di satu sisi anggapan itu benar. Karena di Al Qur’an memang dinyatakan, bahwa Allah tidak melihat fisik kamu, tapi dari hati kamu,” Ungkapnya.

Namun, menurut Yakub harus dilihat juga hadist Rasulullah yang mengatakan, “ada segumpal darah dalam diri manusia yang apabila baik maka baik seluruhnya, dan apabila buruk maka buruk semuanya.  itu adalah hati.

Apa yang menjadi alasan Aminudin Yakub diamini Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat, Prof. Dr. H. Dadang Kahmad, MSi. “Perilaku mendadak religius biasanya memang akibat dari pengetahuan keagamaan yang sempit. Mereka menganggap ibadah hanya pada bulan ramadhan, dan jika sudah pergi umrah, misalnya, dosa dia habis, Itu tantangan kita,” ungkap Dadang.

Akan tetapi, bagaimanapun menurut Dadang, hal tersebut merupakan upaya positif sebagian masyarakat.”Ramadhan itu bulan yang dianjurkan oleh Islam untuk memperkuat hubungannya dengan Allah SWT melalui ibadah dan memberi kebaikan pada setiap orang,” ungkap Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung ini.

Penulis             Muhammad Yasin
Penyunting      : Hbsungkaryo
Liputan           : M.Yasin, Erni Ari Susanti
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 37