Kumpulan tulisan Muhammad Yasin, Wartawan, Blogger dan pebisnis online

Jumat, 31 Desember 2010

Agustianto, Para Ustadz Jarang Membahas Persoalan Ekonomi!

Drs. Agustianto Mingka, MA
Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Indonesia (IAEI)

Syarat apa saja yang harus dimiliki seseorang jika ingin menjadi pedagang yang baik?
Harus mengetahui paling tidak ada 65 macam bisnis yang terlarang. Jika tidak tahu, maka dia akan sering melakukan pencurangan-pencurangan.

Bisa disebutkan point penting diantara 65 macam bisnis yang terlarang itu?
Pertama, melakukan kecurangan timbangan. Kedua, pura-pura menawar supaya orang lain mau membeli. Ketiga, menjual yang tidak jelas objeknya atau juga harganya. Keempat, pedagang membuat harga yang tinggi diatas harga pasar. kelima, berjualan dengan perjudian.

Konsepsi Islam mengenai timbangan dalam perdagangan itu seperti apa?
Timbangan itu harus diterapkan secara benar atau adil. Jika melakukan penipuan berarti sudah merupakan kedzaliman. Pedagang itu harusnya memiliki etika Islami yang sangat kuat. Umar bin Khtattab ra mengatakan, seseorang itu tidak boleh berjualan di pasar, kecuali dia memahami fiqh muamalah. Yaitu bagaimana aturan syariat tentang tata cara perdagangan yang harus dilakukan oleh seorang pedagang.

Ihwal Fenomena pengurangan timbangan yang marak terjadi, solusi seperti apa yang seharusnya dilakukan?
Karena ini berkaitan dengan moral, maka harus ada siraman moral dalam bentuk pengajian ruhani dan pengajian keislaman yang materinya adalah etika bisnis dalam Islam. Selama ini para ustadz jarang membahas persoalan ekonomi. Maka paradigma ustadz pun harus dilakukan perubahan dengan mengajarkan persoalan-persoalan ekonomi.
Sebab, jika Ustadz dan para Ulama tidak mengajarkan persoalan ekonomi berarti mereka memutuskan Sunnah para Nabi. Mengapa diartikan memutuskan Sunnah para Nabi? karena seluruh Nabi dahulu mengajarkan etika ekonomi, yaitu tidak boleh riba dan tidak boleh mengurangi timbangan. itu bisa dilihat di dalam Al-Qur’an (Q.S. Huud :84-87). Dimana, majelis dakwah para Nabi terdahulu materinya tentang ekonomi. Jadi, karena materi dakwahnya bukan tentang ekonomi, maka pedagang banyak melakukan penyimpangan.
Berikutnya, harus disosialisasikan bahwa  seseorang tidak boleh berdagang kecuali dia telah memahami ajaran syariah di bidang ekonomi Islam. Sedangkan hukum mempelajari pokok-pokok ekonomi syariah dalam Islam itu fardhu a’in, artinya setiap orang akan berdosa kalau tidak mempelajari hukum-hukum Islam di bidang ekonomi, karena dia akan sangat mudah terjerumus kepada perilaku-perilaku yang menyimpang, seperti riba, maisir (judi) dan itu tadi, pengurangan timbangan.

Apakah bapak pernah menemukan contoh pusat belanja/transaksi yang sudah sesuai dengan aturan  Islam?
Cukup banyak, tapi kita juga harus melakukan penelitian daerah mana saja yang memang benar jujur dalam melakukan timbangan. Saya kira perlu juga dibuatkan kamp-kamp percontohan pasar ekonomi syariah yang melaksanakan timbangan sesuai dengan etika bisnis yang tidak melakukan kecurangan.

Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32


Kecurangan Timbangan dalam Pandangan Berbagai Agama

Sebelum era perdagangan datang, manusia dalam memenuhi kebutuhannya, baik sandang,  maupun pangan dengan berburu. Apa yang dia temukan maka itulah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Sejarah berkembang, manusia mendapatkan dirinya ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Maka untuk melengkapi kebutuhan tersebut terjadilah proses perdagangan melalui sistem tukar menukar barang (barter), sesuai dengan kebutuhan si penjual dan pembeli.

Sistem barter yang digunakan untuk proses perdagangan ternyata masih terdapat kekurangan, yaitu sulitnya menemukan orang yang memiliki barang sesuai dengan kebutuhannya, baik penjual ataupun pembeli.

Mengatasi masalah tersebut, dibuatkanlah benda-benda yang telah disepakati untuk digunakan sebagai alat ukur perdagangan. Benda-benda itu adalah benda yang bernilai tinggi, bernilai magis dan kebutuhan primer. Dalam upaya mempermudah alat ukur, perdagangan maka kemudian dibuatkanlah logam yang menjadi cikal bakal mata uang dalam setiap perdagangan.

Perdagangan yang terus berkembang, nampaknya tidak lepas dari kecurangan dan kejujuran. Kecurangan dalam artian si penjual dagangan rakus ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menempuh cara yang licik. Cara licik yang digunakan diantaranya adalah dengan mengurangi takaran ketika menimbang barang dagangan.
Pengurangan timbangan selain tidak terpuji menurut adat dan norma, juga sangat dilarang oleh berbagai agama. Hal ini dibuktikan dari data-data yang ditemukan dalam kitab masing-masing agama.

Pengurangan Timbangan Perspektif Islam


Di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah menekankan kepada umatnya untuk menimbang sesuai dengan takaran. Peringatan-peringatan tersebut bisa ditemukan dalam beberapa surat di dalam Al-Qur’an, diantaranya :“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (Al-An’am: 152) “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar-Rahman: 9).

Selain itu, pedagang yang jujur di dalam Islam mendapatkan posisi yang sangat berharga. Rasulullah Saw bersabda,  “Pedagang yang benar (tidak curang atau menipu) akan dikumpulkan pada hari kiamat dengan orag-orang yang benar pula dan dengan para Syuhada” (H.R. Tirmidzi dan Al-Hakim).

Selain kedudukan yang tinggi di mata Allah dan Rasulnya, pedagang yang jujur akan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Rasulullah bersabda “Dua orang yang berjual beli, jika keduanya jujur dan terus terang, maka keduanya mendapatkan berkah dalam berjual beli itu. Jika keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka dihapuslah berkah jual belinya” (H.R. Bukhari)

Pengurangan Timbangan Perspektif Kristen

Dalam kitab Bible, baik perjanjian lama ataupun perjanjian baru, banyak ditemukan data-data yang menyangkut persoalan timbangan. Mulai dari perintah kejujuran dalam menimbang dagangan, perintah keakuratan timbangan hingga balasan orang yang melakukan kecurangan dalam menimbang dagangan.

Perjanjian lama

Data, maka dalam pundi-pundimu jangan ada dua macam batu timbangan, yaitu sebuah yang besar dan sebuah yang kecil. Maka dalam rumahmu pun tak boleh ada dua macam sukat (takaran). Sebuah yang besar dan sebuah yang kecil. Melainkan hendaklah padamu batu timbangan yang betul dan benar, haruslah padamu takaran yang utuh dan tepat, supaya kamu melanjutkan umurmu dalam negeri yang dikaruniakan. Tuhan, Allahmu, kepadamu. Karena barang siapa yang berbuat demikian, ia itu kebencian kepada Tuhan, Allahmu, dan bagi segala orang yang berbuat perkara yang tidak benar” (Kitab Ulangan 25: 13-16).

Perjanjian Baru
“Berilah dan kamu akan diberi satu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam haribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadmu.” (Lukas 6: 38)

Pengurangan Timbangan dalam Pandangan Hindu

Larangan mengurangi timbangan, ternyata tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab agama Samawi. Tetapi juga bisa ditemukan di dalam agama Ardhi, yaitu terdapat pada kitab Weda milik agama Hindu.  “Semua timbangan dan ukuran panjang dengan tegas dan sekali dalam enam bulan hendaknya diperiksa lagi.” (M. Dc. Buku VIII sarga 403)


Sarga tersebut menegaskan bahwa alat timbangan harus diperiksa dalam jangka waktu selama enam bulan sekali. Upaya ini dilakukan supaya alat timbangan selalu akurat dan sah berlaku digunakan oleh para pedagang. Sebagaimana disebutkan bahwa “Hipotik atau perjualan dengan tipu daya (curang), maka hakim akan menyatakan tidak sah dan tidak berlaku” (M. Dc. Buku VIII Sarga 165).

Maka dari itu Agama Hindu dengan tegas melarang segala bentuk perdagangan dengan cara menipu dan menyuruh umatnya untuk berlaku jujur. “Dalam hal ada keragu-raguan, ia akan mencoba memperolah barang-barang itu dengan secara ramah-tamah tanpa memakai tipu daya” (M. Dc. Buku VIII Sarga 187).

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

Rabu, 29 Desember 2010

Mengendus Jejak Transaksi Jahat di Pasar


Malam yang dingin, Jum’at (13/02). Jarum jam di angka 23:00 WIB. aktifitas pasar Induk Caringin, Bandung mulai menggeliat. Truk-truk pengangkut sayuran, buah atau pun beras dari berbagai daerah berjejer menurunkan muatannya. Tampak kepulan asap rokok membumbung dari hembusan napas beberapa pedagang ke langit yang kelam.

Tim redaksi Alhikmah mencoba mengendus jejak, menguak fakta pengurangan timbangan. Setelah mengamati aktifitas malam pasar Caringin selama beberapa saat, kami pun memutuskan untuk berkeliling.

Sasaran pertama adalah salah satu tempat transaksi buah-buahan yang menggunakan timbangan di salah satu ruko buah-buahan B1 no.31, supplier jeruk Brastagi “Candy”. Seperti dituturkan oleh Dona Tarigan salah seorang pedagang di Caringin, bahwa setiap pengiriman barang terdiri dari beberapa koli (peti/keranjang-red). Setiap pengiriman satu koli antara 60 – 70 kg terjadi penyusutan 1-2 kg disebabkan masalah alam/iklim. ”Karena sekali perjalanan mengirim barang membutuhkan waktu antara 4-5 hari menggunakan jalan darat,” ungkap Dona.

Ketika Alhikmah menyinggung tentang kesesuaian timbangan yang dimiliki beberapa pedagang, dengan yang disyaratkan oleh Balai  Metrologi,  seluruhnya seragam menjawab, ” timbangan buah ini selalu dikir (ditera-red) setiap 6 bulan sekali.” Menurut mereka, timbangan yang akan ditera, dibawa oleh petugas selama dua hari. Selama timbangan dibawa, mereka diberi pinjaman timbangan milik badan metrologi yang tentu saja sudah di tera.

Para pedagang buah tersebut yakin, mereka tidak pernah melakukan kecurangan. Mereka sadar, jika sekali saja melakukan kecurangan, konsumen akan complain dan tidak akan percaya lagi.

Pun dengan timbangan di tempat penjualan sembako dan bahan-bahan bumi, masih di pasar Caringin. Tampak  timbangan yang sudah dibubuhi tanda tera berbentuk .............. dengan tanggal terakhir 03 – 10 - 08.

Kepada tim Alhikmah, Hendra, salah seorang penjaga Unit Dagang di sana, membenarkan bahwa timbangan tersebut sudah diperiksa oleh petugas dan sudah diberi tanda oleh spidol yang susah untuk dihilangkan. Hendra mencoba menggosok-gosok tulisan angka tersebut, namun tetap saja tidak berhasil dihilangkan.

Pasar swalayan pun tak lepas dari pengamatan kami. Sebuah hypermarket di Bandung Utara menjadi sasaran. Namun tidak  mudah untuk mengorek keterangan karena birokrasi yang rumit, berupa izin dari pusat. 

Keesokan harinya, penelusuran berlanjut ke daerah Cimahi tengah, kali ini menuju perusahaan reparasi dan tera ulang timbangan ber-brand HR.Kebetulan, kami langsung berhadapan dengan Herryanto, sang pemilik usaha. Ia menuturkan bahwa bentuk-bentuk kecurangan bisa saja terjadi. Pada jenis  timbangan manual seperti timbangan meja, dacin atau Sentisemal, tidak hanya bisa dilihat dari lurus atau tidaknya timbangan atau bermula dari angka nol. Tapi harus ada pengamatan yang lebih mendalam lagi.

Contohnya dari timbangan meja. Timbangan yang memiliki beban timbang hingga sepuluh kilogram(Kg) ini, jika dicurangi secara maksimal 2-5 ons akan hilang. Mengenai teknik kecurangan pun ternyata ada berbagai cara, mulai dari timbangannnya sendiri, Anak Timbangan (AT), ataupun settingan-nya.

Pada timbangan, kecurangan dapat dilakukan dengan menyelipkan lempengan besi di bawah piring wadah menaruh barang. Berat lempengan besi ini yang mempengaruhi pengurangan berat yang ditimbangan. Bisa juga di bawah alas untuk menaruh AT, ada wadah untuk pemberat. Pemberat yang  biasa digunakan adalah batu. Batu berguna sebagai penyetimbang. Kalo batu ini di ambil, timbangan tidak akan lurus.

Cara lain adalah dengan membongkar anak timbangan untuk diambil timahnya. Jika diambil timahnya dengan cara dibor maka berat anak timbangan akan berkurang. Sebagai contoh, untuk anak timbangan seberat 1 kilo, jika diambil timahnya beratnya menjadi sekitar 8 ons. Walaupun timbangan lurus dan menunjuk ke angka nol, tapi jika menimbang dengan AT 1 kilo yang sudah dibongkar, kita hanya akan mendapatkan sekitar 8 ons.

Lain lagi dengan timbangan Sentisemal. Berat yang berkurang jika dicurangi secara maksimal pun fantatis, sekitar 5-10 kilo sekali menimbang. Timbangan ini memang digunakan untuk menimbang dalam skala besar, 1 kwintal ke atas.  Namun tak tanggung-tanggung, kerugian yang diderita juga besar.

Menanggapi besarnya jumlah berat yang hilang, Herryanto berujar,  “Orang yang sudah pinter tidak hanya melihat dari situ (bermula dari nol, red). Karena setiap timbangan ada rahasianya.”

Kecurangan bisa terlihat dari timbangan, bisa dari AT (anak timbangan), dan dari setelannya. “Kebanyakan pedagang sekarang sudah pada pinter, jadi pengurangan diambil dari AT. AT-nya dibor, di ambil timahnya. Kalo timbangan bagus, AT ga bagus, sama aja. Tidak bisa hanya dilihat dari lurus atau tidakya timbangan. Bisa aja timbangannya bagus, mulai dari nol tapi setelannya dibongkar,” terang Herryanto.

Selasa, (17/02) jelang siang, sekitar jam 11.00 WIB, Alhikmah menyengaja berangkat ke pasar Induk,  Caringin, Bandung, untuk membeli buah. Tawar menawar dengan salah satu pedagang pun terjadi. Disepakati  1 kg jeruk dihargai Rp. 7000. Kami memutuskan untuk membeli sebanyak 5 kg jeruk terbungkus plastik, yang ditimbang dengan timbangan meja.

Setelahnya, kembali Alhikmah mencari pedagang buah lainnya  untuk perbandingan. Kali ini kami mendapatkan harga lebih murah, Rp.6500/Kg untuk jenis jeruk yang sama dari pembelian pertama.  Sama dengan sebelumnya, 5 kg jeruk terbungkus plastik,  ditimbang dengan timbangan kue.

Agar mengetahui akurasi timbangan, tepat pukul 11.55 WIB kami meluncur menuju Direktorat Metrologi Jl. Pasteur No. 27, Bandung, untuk melakukan penimbangan ulang. Di sana, tim Alhikmah diterima staf Pelaksana Subdit Pengawasan Penyuluhan Kemetrologian, Lukman Indra. R.H. SH dan Rudi Rediana, S.Si.

Dengan ramah, mereka langsung membawa kami  ke Laboratorium BDKT (Barang Dalam Keadaan Terbungkus) Metrologi. Buah jeruk kemudian ditimbang dengan Timbangan elektronik kapasitas 30 Kg. hasilnya buah jeruk pembelian pertama yang ditimbang dengan timbangan meja hasilnya 5.03 Kg termasuk plastik sebagai bungkusnya. Sedangkan jeruk yang ditimbang dengan timbangan kue hasilnya tidak jauh berbeda 5.10 Kg termasuk plastik sebagai bungkusnya. Kesimpulan pun didapat. Para pedagang di Pasar Caringin, tempat kami membeli buah jeruk tadi, telah berlaku jujur, Bahkan hasil timbangannya berlebih.

Masih hari itu, dari Metrologi, Alhikmah mencoba untuk berbelanja di tempat berbeda. Kali ini, Tegalega dan Ciroyom menjadi pilihan. Setibanya di Tegalega, tim Alhikmah mengorek keterangan dari seorang pedagang buah sawo yang enggan disebut namanya (S_red). Ia tahu, beberapa pedagang di sana kerap berbuat curang, salah satunya dengan menambahkan pemberat pada timbangan. Namun ia mengaku, tidak pernah ikut-ikutan.

Untuk membuktikan, Alhikmah pun membeli 5 Kg sawo dengan harga Rp 5000/kg dari S. Namun,  meminta dia untuk meminjam timbangan pedagang yang ia sebut tidak akurat. Benar saja ketika dibandingkan, 5 Kg di timbangan pedagang yang disebut curang itu hanya setara dengan 4,05 Kg di timbangan S. Setelahnya, S kemudian menambahkan beberapa butir sawo di plastik terpisah, untuk menggenapkan timbangan menjadi 5 Kg, sesuai pesanan. 

Di  Ciroyom. Salah satu pedagang buah kami hampiri. Seperti sebelumnya, 5 Kg jeruk pun akhirnya kami beli.  Saat penimbangan, terlihat timbangan tidak lurus dan cenderung lebih berat dari 5 Kg jeruk yang tengah ditimbang. Lebih lanjut, pedagang tersebut menuturkan bahwa kebanyakan pembeli menginginkan timbangan tidak lurus dan berat ke arah objek timbangan. Saat kami bersikeras untuk dikurangi saja sampai timbangan benar-benar lurus, si pedagang malah buru-buru membungkusnya.

Kami pun bergegas kembali ke Direktorat Metrologi untuk re-check. Hasilnya mengejutkan. Setelah dilakukan penimbangan di Metrologi, 5 Kg sawo yang dibeli  dari S di Tegalega, dan diperkirakan hasilnya akurat, ternyata anjlok ke angka  4.62 Kg. Sedangkan 5 Kg jeruk yang kami beli dari salah seorang pedagang di Ciroyom, ternyata juga turun menjadi 4,93  Kg.

Hal ini tentu saja merugikan konsumen. Selain merasa dibohongi juga dapat membuat jera berbelanja. Padahal, seperti pengakuan Gemala, seorang ibu rumah tangga kepada Alhikmah, bahwa ia tidak keberatan jika harus membayar lebih mahal, asal pedagang jujur dengan timbangannya.

Konsumen lain asal Bandung, Siti Juariyah, tidak hanya dikurangi berat timbangannya, tapi juga ditipu. “Saya pernah dicurangi sewaktu membeli mangga. Saat menimbang memang tidak keliatan karena terletak di belakang penjual. Sewaktu membayar saya tidak sadar ternyata bungkusan mangga yang saya beli ditukar dengan bungkusan yang sudah disiapkan sebelumnya dengan yang jelek dan hampir busuk,”ungkapnya geram.

Kenyataan ini memang tak terelakkan, bahkan sudah seperti menjadi hal yang lumrah di tengah masyarakat kita.

Satu dua ons memang tampak tak seberapa. Bayangkan jika ini terjadi terus-menerus. Ratusan ribu, bahkan jutaan kilogram komoditi perdagangan yang menguap, mengakibatkan hilangnya kepercayaan konsumen. Selain mengundang Azab yang sungguh pedih, sebagaimana Firman Allah SWT:

“ Dan kepada penduduk Madyan kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia   berkata : Hai Kaumku, sembahlah Allah, sekali sekali tiada Tuhan bagi mu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi Takaran dan Timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik ( mampu ) dan sesungguhnya aku   khawatir terhadap akan azab hari yang membinasakan ( kiamat) “

Muhammad Yasin, Mia Gamalia, Dedy Ahmad Shaleh
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

Dari Konvensional ke Masyarakat Ekonomi Islam

“Sesungguhnya Sembilan dari sepuluh rezeki umatku  (terdapat) pada perdagangan.” (HR. Ibnu Hibban)

 Pantas jika kemudian makhluk manusia saling berkompetisi di bidang perdagangan, mengejar rezeki seperti yang dijanjikan dalam Hadist tadi. Caranya beragam. Dari yang halal, amanah dan transparan, sampai praktek curang, saling  menjatuhkan, dibungkus kemasan nafsu setan. Termasuk diantaranya fenomena pedagang yang mengurangi timbangan.

Sekjen DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Agustianto, kepada Alhikmah mengatakan, maraknya praktek pengurangan timbangan sebagai akibat dari minimnya pengajian keislaman yang membahas soal etika bisnis dalam Islam. ”Selama ini para ustadz jarang membahas persoalan ekonomi. Maka paradigma ustadz pun harus dilakukan perubahan dengan juga mengajarkan persoalan-persoalan ekonomi,” ungkap dosen Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti ini.

Mengapa demikian? Karena menurut Agustianto,   kalau ustadz dan para ulama tidak mengajarkan persoalan ekonomi berarti mereka memutuskan sunnah para Nabi. Mengapa diartikan memutuskan sunnah para Nabi? karena seluruh Nabi dahulu mengajarkan etika ekonomi, yaitu tidak boleh riba dan tidak boleh mengurangi timbangan. ”itu bisa dilihat di dalam Al-Qur’an surat Huda ayat 84 -87, dimana majelis dakwah para Nabi Hud terdahulu materinya tentang ekonomi. Jadi karena materi dakwahnya bukan tentang ekonomi, maka pedagang banyak melakukan penyimpangan,” tegas pakar ekonomi Islam ini.

Dalam artikelnya, Etika Bisnis dalam Islam, Agustianto mengatakan, di era modern masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat.  Maka tidak aneh, tambah Advisor Bank Muamalat Indonesia (BMI),  bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith, yang berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”.

Pandangan yang menganggap bisnis tidak mempunyai tanggungjawab sosial dan lepas dari etika tersebut, memiliki pengaruh besar dalam relasi yang terjadi dalam aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya perdagangan. Namun, masyarakat Indonesia yang kerap digembar-gemborkan sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim ini, mulai sadar akan bahaya sekularisasi, termasuk di bidang ekonomi. Maraknya pedagang yang ingin mengejar untung sebesar-besarnya, dengan mengakali timbangan yang digunakan sebagai alat dasar transaksi barang, tanpa mengindahkan dampaknya, menyadarkan umat untuk kembali ke aktivitas ekonomi Islam, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW.
Tentu saja diperlukan ruang dan waktu yang cukup agar cita-cita tersebut terwujud.

Ir. H. Adiwarman A. Karim, dalam makalahnya,“Penerapan Syariat Islam dalam Bidang Ekonomi,”  mengatakan, proses transformasi dari masyarakat ekonomi konvensional menjadi masyarakat ekonomi Islam, tidak akan terjadi dengan sekejap. Mungkin lima tahun, sepuluh tahun, dapat lebih cepat atau lebih lama, bergantung pada strategi penetrasinya.

Menurut president Director Karim Business Consulting ini, teori yang unggul dan sistem ekonomi yang sesuai syariat, belum menjamin bahwa perekonomian umat Islam akan juga maju. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan bahwa tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariat, namun siapa pelaku ekonominya? Dapat saja pelaku ekonominya adalah umat lain selain umat Islam.

Oleh karena itu perekonomian umat Islam baru dapat maju bila pola laku muslimin muslimat secara itqan (profesional) mengembangkan bisnis mereka. Ia mencontohkan Imam Gazali yang berkesimpulan bahwa motivasi para pedagang adalah mencari keuntungan, baik keuntungan di dunia maupun keuntungan di akhirat.
Dalam Wahyu Suci, Al-Qur’an, banyak terdapat ayat yang mendorong manusia untuk melakukan aktivitas bisnis. Dalam Surat Al-Jumuah: 62, misalnya. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Disitir pula dalam Q.S. An-Nisa:29  pedoman agar dalam bisnis tercipta relasi saling menguntungkan, lepas dari sifat eksploitatif. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”  

Selain soal materi ekonomi Islam yang penting untuk dimasukkan ke dalam ‘kurikulum’ dakwah para da’i, dikatakan oleh Agustianto, solusi selanjutnya untuk merespon fenomena maraknya pengurangan timbangan adalah sosialisasi bahwa  seseorang tidak boleh berdagang kecuali dia telah memahami ajaran syariah di bidang ekonomi Islam.

Sedangkan hukum mempelajari pokok-pokok ekonomi syariah dalam Islam itu fardhu a’in. Artinya setiap orang akan berdosa kalau tidak mempelajari hukum-hukum Islam di bidang ekonomi, karena dia akan sangat mudah terjerumus kepada perilaku-perilaku yang menyimpang, seperti riba, maisir (judi) dan itu tadi, pengurangan timbangan. Wallahu a’lam

HB Sungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Soleh,  Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

Selasa, 28 Desember 2010

Timbangan-Timbangan tak Berimbang


Tentang Ketamakan di Balik Neraca Timbangan

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah saw. sampai ke Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk yang paling curang dalam takaran dan timbangan. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS.83:1,2,3) sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam menimbang. Setelah ayat ini turun orang-orang Madinah termasuk orang yang jujur dalam menimbang dan menakar.
(Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Rasulullah SAW telah melarang semua bentuk penipuan dalam transaksi. Namun, godaan untuk meraup untung besar dalam waktu singkat seringkali melalaikan para pelaku industri dan perdagangan akan peringatan yang telah disampaikan. Salah satunya dengan cara mengurangi takaran/ timbangan.

Klasik memang. Namun terus terjadi, menodai sejarah gemilang peradaban umat manusia.
Di negeri ini, timbangan-timbangan tak berimbang masih kerap ditemui. Para pelaku sengaja melebihkan barang yang ditimbang, dengan memasang alat pemberat pada bagian bawah timbangan.

Di Jawa Barat misalnya. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jawa Barat, Drs. Agus Gustiar, M.Si mengatakan, sepanjang tahun 2008 tak henti-hentinya laporan tentang kekurangan timbangan masuk ke bagian Perdagangan Dalam Negeri (PDN). “Ini jelas merugikan konsumen. Baik itu karena timbangan memang sudah rusak ataupun ada pedagang yang ingin berdagang dengan cara tak sehat,” ungkap Agus kepada Alhikmah medio Februari 2009 lalu.

Berdasarkan pantauan Alhikmah di salah satu pusat transaksi di Bandung, Minggu (8/2), timbangan milik beberapa pedagang rata-rata selisih antara 1-2 ons perkilogram (Kg). Ibu Ade, salah seorang warga Panghegar, Bandung, sekaligus konsumen di tempat tersebut membenarkan temuan Alhikmah ihwal timbangan milik para pedagang yang sengaja dilebihkan dengan memasang alat pemberat di bagian bawahnya. “Ketika saya cek dan ditimbang kembali, sepertinya buah alpukat dan dukuh yang saya beli senilai 5 kg terasa tidak sesuai. Dan benar saja beratnya kurang hampir 0,5kg,” ujarnya.

Sebagian pedagang, sepertinya sengaja mengelabui petugas dengan menggunakan timbangan yang sudah ditera oleh Badan metrologi melalui Dinas Pasar pada saat ada razia saja. Usai petugas beranjak pergi, kembali digunakan timbangan yang dipasang alat pemberat.

Saat dikonfirmasi Alhikmah mengenai hal tersebut, ketua Gabungan Pengusaha Kecil dan Jasa (Gapensa) Jawa Barat, Aceng Eno Mulyawan mengatakan, pihaknya telah meminta Disperindag Provinsi Jabar atau Dinas terkait untuk melakukan tera ulang pada timbangan secara berkala milik pedagang di tempat tersebut dan daerah pusat transaksi lainnya di Bandung. Selain itu, Aceng berharap agar Dinas tersebut banyak memberikan sosialisasi dan pengawasan yang melekat ke pedagang-pedagang pasar, sehingga dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Di Sukabumi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kab. Sukabumi, seperti yang dilansir H.U. Pikiran Rakyat, menemukan adanya unsur kenakalan dalam sistem penjualan gas elpiji untuk rumah tangga. Antara lain kurangnya timbangan gas dalam tabung. Pada umumnya kekurangan ini berkisar antara 0,1 kg sampai 1,5 kg. Hasil ini diperoleh dalam uji petik yang dilaksanakan tim Diperindag pada tingkat pengecer di kios-kios beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal tersebut, Sularsi, Kepala Divisi pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia kepada Alhikmah mengatakan, bahwa YLKI pernah menerima pengaduan masyarakat mengenai pengurangan takaran dan ukuran. “Yang marak dilaporkan pada tahun 2009 ini adalah keluhan mengenai pengurangan takaran pada gas dan bensin,” katanya.

Menurut pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, Seperti yang dikutip dari harian Rakyat Merdeka Januari 2009, berdasarkan pantauan yang dilakukan YLKI, sebagian besar SPBU yang ada di Jakarta telah berbuat nakal. “Layaknya peda¬gang di pasar yang mengurangi jumlah timba¬ngan, kini pengurangan jumlah literan pada SPBU juga menjadi tren,” terangnya.

Padahal berdasarkan Undang-Undang No. 2/1981 tentang Metrologi Legal, bagi para pelaku praktek pengurangan timbangan dapat dikenai hukuman kurungan selama 1 tahun, atau denda Rp. 1 juta. Belum termasuk Undang-Undang Konsumen No 8 tahun 1999 pasal 62 ayat 1, tentang perlindungan konsumen, yang dapat menjatuhkan denda Rp 2 miliar dan penjara 5 tahun penjara bagi pelaku transaksi curang yang sangat merugikan konsumen.

Lantas, apa motif para pedagang mengurangi timbangan?
Hasil temuan tim peliput Alhikmah di beberapa pusat transaksi, motif utama sebagian pedagang melakukan praktek ini adalah mengambil keuntungan dengan mengorbankan kepentingan konsumen, alias tamak.

Sebagian lainnya mengaku terpaksa melakukan pengurangan timbangan, dengan alasan, konsumen seringkali meminta lebih saat prosesi penimbangan. Mereka dihadapkan pada dilema: memenuhi keinginan konsumen dengan resiko matematis mengalami kerugian. Atau tidak mengikuti kehendak pembeli, dengan konsekuensi para konsumen berpindah ke lain hati.

Praktek usaha yang demikian, secara langsung maupun tidak langsung telah
merusak dan melemahkan daya saing pelaku usaha itu sendiri. apapun dalihnya, transparansi dan kejujuran, merupakan hal paling mendasar dalam jual beli, sebagaimana firman Allah SWT, "Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan." (QS 26:181-183)

Peran Pemerintah Melalui Direktorat Metrologi
Metrologi sendiri adalah ilmu mengenai pengukuran. Ada 3 hal utama yang menjadi fokus metrologi yaitu penetapan definisi satuan ukur, perwujudan satuan ukur dan penetapan rantai ketertelusuran. Di Indonesia sampai dengan 1955, Institusi pelayanan kemetrologian ada di 26 Provinsi dan 28 Daerah Tingkat II.

Djainul Arifin, SH., Widyaiswara pengajar Luar Biasa pada Balai Diklat Metrologi, Jawa Barat kepada Alhikmah mengatakan, Metrologi yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah, tentu saja memiliki regulasi. Sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 2 tahun 1981 pasal 36 tentang Metrologi Legal (UUML_red) yang berbunyi :“ Pegawai instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan Metrologi Legal yang melakukan pengawasan dan pengamatan diwajibkan menyidik tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-undang ini.”

Disamping itu, menurut Djainul, ditegaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1985 tentang Wajib dan Pembebasan Untuk Ditera dan/atau Ditera Ulang serta syarat-syarat bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapan (UTTP) (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3283), Pasal 13 ayat (1), Bahwa salah satu tugas pengawasan UTTP ada pada Instansi Pemerintah yang membina atau membidangi Metrologi Legal.

Dengan demikian, tambah Djainul, tugas pengawasan dan pengamatan serta penyidikan, dapat dilakukan secara berkala, dengan operasi mendadak (sidak), atau apabila ada laporan atau pengaduan dari masyarakat tentang tindak pidana pelanggaran peraturan perundang-undangan dibidang metrologi legal. “Bahkan apabila kita jumpai tertangkap tangan adanya kecurangan penggunaan UTTP,” ungkap penulis buku Tepat Mengukur, Akurat Menimbang ini.

Sedangkan Agus Permana, Kepala Seksi Pengawasan dan Penyuluhan UTTP Direktorat Metrologi, saat ditemui Alhikmah mengatakan, agar keakuratannya terjaga, maka semua alat ukur minimal satu kali dalam setahun harus di tera ke kantor metrologi. Saat ini di Indonesia, menurut Agus, ada 54 kantor perwakilan Metrologi yang tersebar di 33 provinsi, dan 21 di kabupaten kota di Indonesia.

Menyangkut masalah alat ukur, Agus, berbagi tips untuk pembaca Alhikmah. Pertama, alat ukur harus ditera terlebih dahulu. Kedua, penggunaan timbangan harus disimpan di tempat yang rata dan juga harus datar. Ketiga, rawatlah alat ukur setiap habis melakukan transaksi atau setelah selesai berjualan.

Hal ini dilakukan supaya alat ukur tetap awet, tidak berkarat dan kotoran tidak menumpuk, sebab kalau kotoran menumpuk maka timbangan yang terdiri dari beberapa tuas yang tertumpu pada sehelai pisau, jika terdapat kotoran yang menempel antara tuas dan pisau maka alat ukur sudah tidak akurat lagi. Keempat, Sebelum melaksanakan timbangan, alat ukur harus dalam keadaan seimbang, tidak diperkenankan ada muatan terlebih dahulu dan anak timbangan harus kosong terlebih dahulu.

Ironisnya, menurut pengakuan Agus, jumlah sdm petugas tera sangat minim sekali, karena masalah regenerasi. “Sudah banyak yang pensiun dan ada yang sudah lanjut usia. Jadi petugas penera se-Indonesia saat ini hanya 900 orang. Sedangkan alat UTTP diperkirakan berjumlah 60,2 juta unit, terdiri dari 45 jenis alat ukur,” ungkapnya.

Semua itu, tambah Agus, hanya dilayani dengan 900 orang petugas. Maka secara umum, tentu saja tidak memenuhi target.

Di Jawa Timur, Berdasarkan data UTTP yang di tera dan di tera ulang serta yang dikalibrasi pada tahun 2005 sebesar 1.107.208 buah. Sedangkan tahun 2006 sebesar 1.567.882 atau meningkat sekitar 17 %. Padahal potensi UTTP yang belum di kalibrasi, ditera dan ditera ulang kurang lebih sebesar 8.000.000 buah.

Solusi Islam Menangkal Kecurangan

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah saw. sampai ke Madinah, diketahui bahwa orang-orang Madinah termasuk yang paling curang dalam takaran dan timbangan. Maka Allah menurunkan ayat ini (QS.83:1,2,3) sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam menimbang. Setelah ayat ini turun orang-orang Madinah termasuk orang yang jujur dalam menimbang dan menakar.
(Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas.)

Prof. Umar Shihab, wakil ketua MUI Pusat kepada Alhikmah menyarankan agar semua pihak bersinergi untuk meminimalisir, bahkan menghapus sama sekali fenomena seperti terungkap. Karena konsep dagang dalam Islam tidak ada unsur penipuan, keterpaksaan. Terutama kecurangan itu yang sangat dilarang melanggar ketentuan-ketentuan agama.

Sementara KH. Hafidz Utsman, ketua MUI Jabar mengusulkan pendekatan yang efektif melalui metode dakwah. ”Dakwah yang efektif, bukan hanya dengan lisan tapi ada dua kategori dalam istilah ilmu dakwah billisanil maqool, dakwah dengan pembicaraan. Dakwah billisanilhal. Dakwah dengan praktek. Sudah merupakan kewajiban umat Islam dan agar amar ma’ruf nahi munkar” .

Dalam hadist lain disebutkan, bahwasanya Rasulullah tidak mengijinkan transaksi dimana tumpukan kurma yang nilai timbangannya tidak diketahui akan ditukarkan dengan kurma yang sudah jelas timbangannya. Hal ini semata adalah usaha Islam untuk mencegah terjadinya sebuah kerugian yang disebabkan sebuah pertukaran semata-mata karena adanya perkiraan (spekulasi) kuantitas dari komoditas yang akan diperjualbelikan.

Betapa Indah konsepsi Islam yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal jual-beli. Substansi saling membahagiakan, menumbuhkan kepercayaan, saling menguntungkan dan sifat-sifat luar biasa lainnya telah Allah karuniakan pada pribadi junjungan kita semua, Rasulullah SAW yang senantiasa Shiddiq, tabligh, amanah, dan fatonah.

HB Sungkaryo, Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Sholeh,  Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

Senin, 27 Desember 2010

Kisah Muallaf "Papah, Mamah, Rio Tunggu di Pintu Surga"



Agnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.

Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang 'disulap' menjadi tempat ibadah (Gereja,red).

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.

Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja.
Martono heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.
Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”

“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Ngga, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.

Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.” Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”

Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.

“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.

“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal.

Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu. Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam.
Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah.

Rio Sedang bersepeda
Muhammad Yasin
Dierbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 32

Sabtu, 25 Desember 2010

Adi Warman A. Karim, Rentenir Jelas Dilarang!

Adi Warman Azwar Karim
Pakar Perbankan Syariah Indonesia


Apa definisi ekonomi Islam dan sistem ekonomi Islam?
Ekonomi Islam adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan prinsip Islam. Sedang sistem ekonomi Islam adalah prinsip ekonomi Islam yang telah diadopsi suatu negara dan telah menjadi hukum positif.

Sejauh mana penerapan sistem ekonomi Islam di Indonesia saat ini?
Sedang mengarah ke sana. Sedang dalam pemilahan mana yang kita prioritaskan untuk kita lakukan proses. UU Zakat, Bank Syariah, Surat Berharga Negara Syariah, merupakan langkah ke sana. Dari sektor riil langkahnya dengan jaminan produk halal, dan himbauan kepada pedagang untuk tidak mengurangi timbangan, misalnya.

Apakah sistem ekonomi non-ribawi sama dengan sistem ekonomi Islam?
Sistem ekonomi Islam lebih dari sistem ekonomi non-ribawi. Sistem ekonomi non-ribawi hanya menghilangkan riba dalam suatu sistem ekonomi. Padahal dalam syariah harus ada tiga yang terpenuhi, takhaldi yaitu mengeluarkan semua yang haram, antara lain ihtikar, rizwah, maisyir, dll. Selain riba ada enam hal lain yang haram.

Jelas, ekonomi non-ribawi tidak sama dengan ekonomi syariah karena ekonomi Islam spektrumnya lebih luas. Pertama dalam bentuk larangannya, jumlahnya ada tujuh. Ada juga larangan untuk bertransaksi dengan barang-barang yang haram, misal khamr, darah, babi, bangkai. Kedua melakukan transaksi yang halal.

Dari yang halal, transakasi juga harus sah. Islam mengatur ada rukun yang harus terpenuhi. Ada pihak, ada ma’kud alaih, ada ijab kabul. Terakhir tajalli, dilakukan dengan cara yang beretika dan berakhlakul kharimah.

Bagaimana pandangan Bapak tentang bentuk institusi syariah yang efektif?
Harus memenuhi dua hal: pertama, menjujung tinngi kejujuran, yakni jujur kepada Allah dengan meninggalkan yang haram. Dan jujur terhadap sesama manusia, dengan berperilaku amanah. Kedua, harus cerdas membaca situasi dan cerdas menyampaikan misi.

Pandangan tentang institusi keuangan nonformil? Apakah diatur dalam hukum positif?
Rentenir ini dilihat dalam dua sisi, pertama hukum positif, di mana ada aturan mainnya di Indonesia. Lembaga keuangan yang dapat memberikan kredit ke masyarakat dibagi dua, lembaga perbankan dan lembaga keuangan non-bank seperti multi finace, leasing.

Sedang bank keliling ini tidak masuk ke dalam kategori ini. Yang kedua dilihat dari aspek syariah, bank keliling pake sistem bunga, dikhawatirkan melanggar prinsip syariah karena tidak ada yang mengawasi. Dan yang ketiga dari sisi kemaslahatan, karena tidak diawasi akan menimbulkan utang yang terbelit ke masyarakat.

Rentenir jelas dilarang. Dalam UU perbankan No 10 tahun 1998 yang boleh menghimpun dana masyarakat cuma bank, atau lembaga lain yang diatur oleh UU lain, semisal koperasi.

Cara agar tidak terjerat rentenir?
Harus percaya bahwa rejeki urusan Allah bahwa Allah tidak akan mengabaikan makhlukNya. Maka diharapkan masyarakat memilki kreatifitas untuk mencari sumber rejeki yang lain. Sesuai dengan hadis, “tanyakan apa yang tidak kamu ketahui maka niscaya akan Aku beritahu apa yang tidak kamu ketahui.” Yang ketiga kita harapkan pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat miskin, yang tadinya dana dipenuhi oleh bank keliling, sekarang dipenuhi oleh dana yang berasal dari pemerintah

Muhammad Yasin, Dedy Ahmad Soleh, Mia Gamalia
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 31

Agustianto Mingka, Bank Syariah Hanya Bagian Kecil dari Ekonomi Islam

Agustianto Mingka
Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI Jakarta


Apakah model bank syariah sekarang sudah mencerminkan definisi ekonomi Islam?
Bank syariah itu hanya bagian kecil dari ekonomi Islam. Bank-bank syariah yang ada sekarang ini sebagian besar implementasinya sudah menunjukan kepada prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Karena prakteknya didasarkan pada nilai-nilai Islam yang berdasarkan aturan hadits yaitu tidak menerapkan riba tetapi menggantikannya dengan instrumen jual beli sebagaimana yang diperintahkan al Qur’an dalam surat al Baqarah 275 “….lalu Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”

Maka riba yang identik dengan bunga ditinggalkan diganti dengan jual beli salah satunya jual beli murabahah, bersama produk-produk lainnya seperti mudharabah, musyarakah, tijarah dan lain-lain. Definisinya sangat luas tidak hanya mencakup ekonomi Islam saja

Perbedaan mendasar antara bank syariah dan bank konvensional?
Perbedaanya cukup banyak diantaranya, pertama, bank syariah menggunakan sistem bagi hasil dalam tabungan masyarakat atau deposito. Jadi apa yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk tabungan itu tidak berdasarkan bunga tapi berdasarkan pada tingkat keuntungan riil perbankan itu sendiri.

Dengan demikian maka bentuk keuntungannya bisa fluktuasi dari bulan ke bulan atau bahkan minggu ke minggu. Syariah menerapkan bagi hasil sedangkan bank konvensional menerapkan sistem bunga. Bunga itu diterapkan dari awal sementara bagi hasil tidak ditetapkan sama sekali. Dalam bank konvesional nasabah tetap mendapatkan bunga tetapi bank syariah berfluktuasi akan mendapatkan keuntungan jika banknya mendapatkan keuntungan.

Kedua, di dalam perbankan syariah diterapkan underline asset, setiap penambahan uang harus dilandasi adanya underline transaction. Misalnya ada orang yang membutuhkan pembiayaan untuk usaha apa saja konsumtif, harus ada underline nya, sehinga perbankan mendapt keuntungan harus ada real transaksi, misal restoran pertanian dan lainnya harus ada jasa yang melandasi adanya tambahan dalam pembiayaan itu.

Maraknya bank keliling, menurut Anda?
Jika tidak dikelola secara syariah maka termasuk yang dilarang dalam syariah. Ini bisa menjadi halal bisa pembiayaan ini bisa mengetahui melalui jual beli dan kebutuhan masyarakat. dengan mudharabah, syirkah, ijarah (pemberian kepada orang dalam melaksanakan kebutuhan kita). Ada marjin dan underline asset. Pinjam uang dengan jaminan uang dan jaminan uang merupakan salah satu praktek riba.

Pandangan Anda tentang lembaga keuangan mikro syariah sebagai solusi?
Bisa menjadi ampuh agar kepala daerah mendirikan perusahaan syariah dengan lembaga syariah. Setiap kabupaten kota ada BPR syariah sehingga semua komponen dapat terlayani dengan adanya lembaga syariah ini. Uang bukan semakin habis namun semakin bertambah orang miskin mendapat pembiayaan. Lembaga strategis harus ditumbuh kembangkan. Dengan kerjasama kepala daerah, sosialisasi semua konteks, resiko, manajemen harus diketahui oleh kepala daerah agar bisa menjalankan dengan baik.

Maka perlu mengembangkan lembaga keuangan syariah misalnya BMT memberdayakan masyarakat bawah yang membutuhkan dana, BPR, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ingin segera membantu masyarakat. solusinya membangun BMT setiap desa dan BPR syariah di kecamatan. Kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi.

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 31

Kamis, 23 Desember 2010

Di Balik Kesuksesan Gonzales

Christian Gonzales, pemain cemerlang bertabur bintang dengan gelar peraih top skor 4 tahun berturut-turut merupakan sosok yang tak asing lagi di dunia persepakbolaan tanah air Indonesia. Namun siapa menyangka, dibalik kesuksesan Gonzales terdapat suatu kekuatan yang menyemangati hidupnya, terlebih setelah ia menjadi Muallaf, kekuatan itu tidak lain adalah kekuatan doa.

Gonzales atau yang memiliki nama lengkap Christian Gerard Alfaro Gonzales dilahirkan di Monteveido, Uruguay pada tanggal 30 Agustus 1976 dari seorang ayah angkatan militer bernama Eduardo Alfaro dan ibu seorang suster di rumah sakit Montevideo bernama Meriam Gonzales.

Kedua pasangan ini, khususnya sang ibu adalah penganut agama Katolik yang taat. Gambar Bunda Maria selalu menempel di setiap sudut ruangan rumah dan tempat kerjanya. Bahkan saking fanatiknya, gambar Bunda Maria kerap dibawa kemana-mana oleh ibunya.

Ketaatan dari sang ibu nampaknya berpengaruh pada diri Gonzales, anak ketiga dari enam saudara ini kerap pergi ke Gereja dua sampai tiga kali dalam seminggu, oleh karena itu tidak heran jika Gonzales dikenal sebagai anak yang taat dalam beragama.

Perkenalannya dengan dunia sepak bola, dimulai ketika Gonzales berusia 6 tahun. Semula ayahnya berharap Gonzales dapat meneruskan jejaknya menjadi seorang militer, namun karena kegilaannya terhadap dunia sepak bola, harapan itu tak terpenuhi.

Menginjak usia ke 18 tahun, pria yang menyukai warna hitam ini bertemu dengan seorang wanita beragama Islam asal Indonesia, Eva Nurida Siregar di Cile, Amerika latin pada tahun 1994. Saat itu Eva menekuni salsa di sekolah Vinadelmar. Lama berkenalan akhirnya Gonzales menyimpan hati pada Eva. Dan tak lama kemudian Cintanya berbalas.

Sebagai penganut Katolik, lelaki yang dikenal pendiam ini sama sekali tidak mengenal agama Islam yang dianut pujaan hatinya, begitu pun dengan sang ibu. “Sebelum ketemu istri, saya sama sekali tidak tahu Islam” ungkap pria penggemar Rivaldo. Maka peran Eva pun menjadi berat, ia berulang kali menjelaskan tentang ajaran Islam yang dianutnya.

Usaha wanita kelahiran Pekanbaru ini akhirnya berhasil. Eva Nurida Siregar yang beragama Islam dan Christian Gerard Alfaro Gonzales yang beragama Katolik menikah dan hidup bersama di Uruguay pada tahun 1995.

Karir pria yang memiliki tinggi badan 177 Cm ini di dalam persepak bolaan terus berkembang, mulai dari Klub Penarol Uruguay (1988-1991), South Amerika (1994-1995), Huracan de Carientes Argentina (1997) dan Deportivo Maldonado (2000-2002) pernah dijajaikinya.
Perkembangan karir ini sebetulnya tidak lepas dari peran Eva. Setiap kali pemain sepak bola yang dijuluku elloco (si gila) ini mau berangkat bertanding, wanita yang biasa dipanggil Amor oleh Gonzales ini selalu memanjatkan doa kepada Allah SWT. Dalam berdoa terkadang Eva sengaja mengeraskan suara dengan harapan Gonzales dapat mendengarnya.

Kebiasaan inilah yang membuat Gonzales mulai tertarik dengan ajaran Islam. Ia sendiri tidak akan beranjak pergi sebelum kekasihnya selesai berdoa. Karena dari doa inilah Gonzales menemukan kedamaian dan ketenangan yang selama ini tidak didapatkan dari agama yang dianut sebelumnya. Doa ini pula yang membuat dirinya semakin bersemangat dan optimis setiap kali bertanding di lapangan hijau.

Tidak hanya itu, Gonzales terkadang memperhatikan kebiasaan Eva yang selalu mengucapkan bismilah ketika mau melakukan sesuatu atau mengucapkan istighfar ketika dihadapkan pada konflik, serta ucapan lainnya yang menjadi doa umat Islam.

Pada tahun 2002 pria yang menyukai aktor Tom Cruise ini menerima sebuah tawaran dari agen sepak bola untuk bermain di Indonesia. Ia pun tertarik dan akhirnya menerima tawaran tersebut dengan merumput di Indonesia bersama PSM Makassar pada tahun 2003.

Indonesia merupakan negara yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, selama ini Gonzales hanya mengenal Islam melalui istrinya dan ini dirasa tidak cukup. Sekarang pemain yang doyan sup ayam ini bisa langsung menemukan Islam dari para penganutnya.

“Saya tidak pernah memaksa Gonzales masuk Islam”. Ungkap Eva “Kadang-kadang setelah saya baca buku tentang ajaran Islam, saya simpan buku itu di meja dan Christian diam-diam membacanya, maka dia kemudian tau bagaimana sikap suami terhadap istrinya dalam Islam dan bagaimana sikap istri terhadap suaminya” Lanjutnya mengenang saat pertama kali tinggal di Indonesia bersama Gonzales.

Maka tepat pada tanggal 9 Oktober 2003 Christian Gonzales memutuskan untuk masuk Islam atas dasar kemauan sendiri dengan disaksikan oleh ustadz Mustafa di Mesjid Agung al Akbar Surabaya. Christian Gerard Alfaro Gonzales kemudian diberi nama Mustafa Habibi. Nama Mustafa diambil dari guru spiritualnya, ustadz Mustafa sedangkan Habibi (cintaku) diambil karena rasa cinta sang istri amat besar kepada Christian Gonzales.

Islam memiliki kesan tersendiri bagi Gonzales “Karena di dalam Islam setiap ada sesuatu ada ucapan doanya seperti ketika masuk rumah mengucapkan assalamualaikum, ketika mau melakukan sesuatu diawali dengan basmalah, dan setiap melangkah dalam Islam selalu aja ada bacaan. Dan ini menjadi hati saya merasa tenang” Ungkap Eva mengutip ucapan Gonzales.

keislaman pria penggemar Manchester United ini kemudian dilegalkan di Kediri dengan Piagam muallaf dari Urusan agama setempat sekaligus melegalkan pernikahan antara Christian Gonzales dengan Eva Siregar.

Sang ibu, Meriam Gonzales saat dikabarkan keislaman anaknya, menerima dengan ikhlas agama yang dipilih anak tercintanya, ia hanya berharap anaknya meraih kesuksesan di masa depan. Namun untuk menjalin hubungan keluarga, Gonzales dan Eva setiap hari tidak ketinggalan menghubungi ibunya, hanya sekedar menanyakan kabar dari negara nun jauh di sana.

Seakan menemukan air di gurun sahara, begitulah kondisi pemain yang mencetak 33 gol untuk PSM Makassar saat itu. Dengan bimbingan Ustadz Mustafa, Gonzales mulai mengenal Islam lebih dalam. Selain itu Hj Fatimah, ulama terkenal asal Mojosari dan Hj. Nurhasanah turut menjadi guru spiritual Gonzales. Bahkan Majlis Ulama Gresik sendiri sampai mengangkat Gonzales beserta keluarganya sebagai anak angkat mereka.

Hj. Nurhasanah biasa dipanggil Bunda, selalu menyemangati Gonzales dengan nasehat untuk selalu berdoa. “Kamu harus kuat-kuat doa” kenang Eva menirukan ucapan Hj. Nurhasanah. Begitu pun Hj Fatimah, ustadzah yang membangun mesjid dengan nama Gonzali ini baik via telephone atau tatap muka selalu menyemangati Gonzales dengan doa sambil menangis.

Selama di Kediri, ayah empat anak ini bermain membela Persik Kediri dan tinggal di perumahan Taman Persada. Rumah ini menjadi awal kehidupan baru bagi Mustafa Habibi. Islam telah banyak merubah dirinya. Setiap tengah malam ia terbiasa membangunkan istrinya untuk shalat tahajud atau sekedar berdoa.

Setiap kali pertandingan akan digelar keesokan harinya, Eva sang istri selalu mengadakan pengajian yang dihadiri oleh ibu-ibu sekitar rumahnya dan diakhiri dengan pembacaan doa. Sementara pengajian berlangsung, Gonzales selalu memperhatikan pengajian dan duduk disamping Eva atau terkadang ia duduk di belakang ibu-ibu pengajian. Maka tidak heran jika Eva lupa tidak mempersiapkan pengajian orang yang pertama kali menegurnya adalah suaminya sendiri.
Namun Gonzales bukanlah manusia yang sempurna, sama seperti pemain lainnya dalam pertandingan sepak bola, konflik kadang tidak bisa dihindari. Tercatat pada tahun 2004, Gonzales pernah memiliki masalah dengan Abu Shaleh Pengurus Pengda PSSI Banten saat PSM Makassar menjamu Persikota Tanggerang. Tahun 2006, Gonzales bermasalah dengan Emanuel de Porras striker PSIS. Setahun kemudian Gonzales berurusan dengan wasit Rahmat Hidayat saat melawan Pelita Jaya Jawabarat dan pada tahun 2008 Gonzales berurusan dengan Erwinsyah Hasibuan bek dari PSMS.

Tentunya permaslahan ini berujung pada sanski yang dikeluarkan tim disiplin PSSI, mulai dari denda sampai larangan bermain. Sanksi ini bagi Gonzales merupakan ujian berat, dan pada saat yang sama guru-guru spiritual Gonzales selalu membingbing dan menyemangati Gonzales untuk tetap bangkit dan bersabar menerima cobaan. Terbukti, nasehat ini berhasil membawa Gonzales terus bangkit dan kembali berlaga untuk menciptakan gol di lapangan hijau.

Popularitas dan harta yang melimpah ruah tidak begitu mempengaruhi Gonzales, ia bukanlah tipe orang yang suka menghambur hamburkan uang. Bahkan ia akan sangat marah jika ada orang yang mengajaknya ke klub atau tempat hiburan malam dan tak segan Gonzales akan memutuskan hubungan dengan orang tersebut.

Harta yang ia raih dari perjuangannya di persepakbolaan lebih suka ia berikan kepada anak yatim, fakir miskin dan ibu-ibu pengajian sebagai zakat dan shadaqah. Hal ini dilakukan karena Gonzales mengetahui kewajiban zakat yang ia baca dari buku-buku keislaman milik istrinya.

Sempat Gonzales beserta istrinya berkeinginan untuk menunaikan haji tahun 2008, namun Allah berkehendak lain uang yang di dapatkan dari peralihan top skor sebanyak 50 juta digunakan guna membiayai operasi istrinya untuk melahirkan anak keempat, Vanesa Siregar Gonzales .

Menyangkut kebiasaanya dalam pertandingan sepak bola, pemain yang rajin bersih-bersih rumah ini setiap kali berangkat bertanding selalu membawa tasbih di dalam tasnya dan beberapa buku doa sebagai perbekalan. Selain itu tidak seperti pemain muslim lainnya yang sujud syukur ketika menciptakan gol, bagi Gonzales bentuk rasa syukur ketika berhasil mencetak gol adalah dengan mengangkat telunjuknya ke mulut seraya menengadah ke langit, hal ini merupakan isyarat rasa syukur terhadap Allah yang Maha Esa.

Bahkan pada saat membela tim Persib Bandung, pria berkalung ayat kursi ini menggunakan nomor punggung 99. Nomor ini dipilih bukan tanpa alasan, 99 merupakan isyarat asma Allah yang dikenal dengan asmaul husna.

Terkait harapannya ke depan, Gonzales sangat perhatian dengan keluarga “Saya berharap anak-anak menjadi anak yang shaleh dan sehat wal afiyat, semoga Allah melindungi, supaya ketika masalah datang ya cepat hilang” demikian keinginan Gonzales.
Muhammad Yasin

Biodata
Nama Lengkap : Christian Genard Alfaro Gonzales
Istri : Eva Siregar
Anak : Amanda Gonzales ()
Michael Gonzales ()
Fernando`Alvaro ()
Vanesa Siregar Gonzales ()
Karir Klub : 1988-1991 Penarol (Uruguay)
1994-1995 South America (Uruguay)
1995-1998 Huracan de Carientes (Argentina)
1998-2000 South America (Uruguay)
2000-2001 Sport Moldonado (Uruguay)
2001-2002 Campo Mayor (Portugal)
2003-2004 PSM Makassar
2005-2008 Persik Kediri
2009 Persib Bandung
Prestasi : Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2005
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2006
Top Scorer Liga Indonesia (Persik) 2007
Top Scorer LSI (Persib)2009

Muhammad Yasin

Rabu, 22 Desember 2010

Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, “Kalau Mau Nabung Harus ke Bank Syariah!”

Foto : republika
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin
Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN)

Apa definisi riba?
Riba sebuah tambahan yang dipersyaratkan di awal. Misalnya kalau seseorang meminjam uang seribu, dalam waktu sebulan dia harus mengembalikan uang seribu ditambah dengan sekian persen. Dan ini merupakan riba nasiah.

Di dalam Islam sendiri riba itu ada dua yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Tapi sekarang ini yang paling banyak diperbincangkan adalah riba nasiah. Riba nasiah merupakan transaksi yang tidak dibenarkan oleh Allah SWT.

Di dalam surat Al Baqarah : 188 Allah SWT menyatakan “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”

Bagaimana perkembangan riba sejak masa lalu hingga kini?
Masa lalu kita mengenal riba itu ada dua macam, riba nasiah dan riba fadhl. Riba nasiah adalah pertambahan karena persoalan waktu. Sedangkan riba fadhl merupakan pertukaran barang yang sejenis dengan adanya pertambahan. Riba yang berkembang saat ini adalah riba nasiah. Misalnya orang yang menabung di bank konvensional dan mendapatkan bunga.

Institusi apa saja yang terkena riba?
Segala jenis bisnis bisa terkena riba. Lembaga konvensional semuanya mengarah ke sana. Baik itu pegadaian, pasar modal, koperasi, asuransi dan semua lembaga yang non syariah semuanya terjerat riba.

Bagaimana sikap MUI terkait riba?
MUI dari awal sudah memfatwakan tepatnya tangal 12 Desember 2004, bahwa riba itu haram, dan harus dijauhi oleh umat. Dan bunga itu termasuk riba. Oleh karena itu umat Islam harus segera beralih menuju sistem syariah. Bahkan bukan sekedar MUI, lembaga-lembaga keagamaan baik nasional ataupun internasional sudah menyatakan bahwa riba itu haram serta bunga itu dikategorikan riba. Semua bisnis yang ada bunganya haram. Bunga dalam asuransi, pegadaian, termasuk kategori riba.

Bagaimana dampak riba terhadap perekonomian umat?
Riba menyebabkan ekonomi tidak stabil. Harga tidak terkendali. Di sana-sini terjadi banyak PHK. Karena bunga itu menguntungkan sepihak dan masyarakat dirugikan oleh sistem bunga ini. Kalau kita lihat juga krisis internasional itu karena riba. Oleh karena itu agama melarang sistem riba.

Apakah institusi syariah sekarang adalah satu-satunya jalan keluar?
Kita harus yakin ekonomi ini akan jalan dengan sistem ekonomi syariah. Karena sistem kapitalis sudah gagal, sistem komunis sudah gagal, tinggal sekarang berilah kesempatan ekonomi sistem syariah untuk dijalankan. Karena sistem syariah ini sudah terbukti dalam sejarah telah berhasil mensejahterakan rakyat. Kalau tidak diberi kesempatan saya khawatir kerusakan demi kerusakan akan terjadi. Oleh karena itu kita harus menggantinya dengan sistem syariah

Apakah bank syariah yang ada saat ini sudah mencerminkan model ekonomi syariah?
Itu embrio. Dunia ekonomi ini ditentukan oleh perbankan yang merupakan salah satu instrumen dalam menegakkan ekonomi. Karena itu perbankan syariah ditegakkan dalam membangun ekonomi umat. Tanpa perbankan tidak mungkin kita melakukan kegiatan ekonomi, persoalannya karena ekonomi membutuhkan perbankan, dan perbankan yang bagus adalah perbankan syariah. Dan di kita cukup banyak, walaupun di sana-sini ada kekurangannya kita harus mendukung karena itu milik kita juga.

Apakah bank syariah masih ada kaitannya dengan Bank Indonesia yang memiliki sistem riba?
Tidak ada kaitan BI dengan bank syariah, BI itu regulator perbankan yang ada di Indonesia. Tapi BI itu memberikan peraturan terhadap bank-bank konvensional Indonesia, dan berbeda dengan bank syariah. Orang yang ngomong itu tidak paham sistem yang berlaku dan akad-akad yang diterapkan oleh bank syariah. padahal beda antara bank konvensional dan bank syariah.

Apa perbedaan bank konvensional dan bank syariah?

Ada empat perbedaan pokoknya:
Pertama, akadnya berbeda. Akad konvensional adalah riba. yaitu menetapkan keuntungan di depan sedangkan syariah tidak seperti itu, kecuali sistem jual beli atau murabahah. Akad ini menentukan keabsahan, apakah yang digunakan sistem riba atau non riba.

Kedua, struktur organisasi. Di Bank atau lembaga keuangan konvensional ada komisaris, direksi dan lainnya, tetapi tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi jalannya produk-pruduk. Sedangkan bank syariah di samping ada komisaris dan direksi, juga ada Dewan Pengawas Syariah.

Ketiga, Pembiayaan. Bank atau lembaga keuangan konvensional itu mementingkan keuntungan. Haram atau halal, madharat atau manfaat tidak jadi masalah yang penting menguntungkan. Bank konvensional itu bisa membiayai perjudian minuman keras. Syariah tidak sekedar melihat keuntungan tetapi bank syariah akan meneliti pengajuan usahanya apakah halal atau haram.

Keempat, budaya kerja. Konvensional budaya kerjanya karena kebiasaan. Tetapi bank syariah harus berdasarkan pada ajaran Islam, seperti amanah, sopan dan santun.

Solusi masyarakat yang ingin lepas dari riba?
Dicoba sekaligus saja. Kalau mau nabung harus ke bank syariah. Kalau mau ke pegadaian harus pegadaian syariah kalau mau asuransi ke asuransi syariah. Jangan lagi beralasan. harus ada tindakan nyata dari umat dalam upaya melepas riba ini.

Prediksi Ustadz mengenai perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tahun 2009 ini?
Saya optimis ekonomi Islam akan berkembang dengan baik di Indonesia ini. Terbukti dengan banyaknya bank konvensional yang berhijrah ke bank syariah. Asalkan bank syariahnya ditata dengan baik.

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah Edisi 31

Ir. Zaim Saidi, Kembalilah Pada Muamalah!


Ir. Zaim Saidi
Direktur Eksekutif PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center),
penulis buku: “Lawan Dolar dengan Dinar”, “Tidak Islamnya Bank Islam”.

Sejarah Riba?
Ada sejak hidup manusia sendiri, makanya dalam pemikiran pra-Islam, misal pada zaman Aristoteles dulu, riba sudah ada dan dibenci masyarakat, karena riba melawan fitrah. Banyak kisah dalam mitologi Eropa, yang menerangkan tentang kebencian tentang riba/rentenir. Kalo di Indonesia misalnya cerita tentang babi ngepet.

Belakangan riba merujuk ke kaum Yahudi, karena mereka tahu itu haram maka mereka halalkan. Tapi sekarang riba bukan eksklusif milik kaum Yahudi karena orang Nasrani atau Islam pun terlibat. Jadi riba telah menjadi praktek sebuah kelas rentenir tanpa memandang agama.

Institusi yang Terkena Riba?
Semua institusi sudah terkena riba. Riba awalnya penyimpangan sosial yang menjadi sistem. Sekarang riba menjadi cara hidup, berarti keseluruhan model hidup kita adalah riba yang dimulai dengan kehidupan bermasyarakat negara kita, misal bank, asuransi, pajak, APBN, kredit, dana pensiun, simpan pinjam. Kata Rasulullah SAW akan datang suatu jaman bahkan orang yang nggak mau makan riba pun terkena riba.

Dampak Riba?
Perilaku manusia berubah. Jadi mereka tidak tahu lagi kalau mereka manusia, karena fitrah manusia hidup untuk mengabdi pada Allah SWT. Riba menghilangkan fitrah manusia sebagai manusia. Karena semua orang kini hanya dikejar-kejar oleh kegelisahan untuk mencari makan dan menghidupi keluarganya yang semakin tidak bisa dilakukan akibat riba, jadi semua problematika sosial ujung pangkalnya adalah karena riba. Orang korupsi, mencuri, membunuh, semua karena riba. Itulah sedemikian jauhnya akibat riba.

Pelaku Riba?
Yang memberi, menerima, mencatat dan menyaksikan semua hukumnya sama, jadi tidak ada kata lain kita harus menghentikan dan melawan atau kita menjadi bagian dari riba sendiri. Rasulullah SAW berkata, dosa orang yang riba ibarat orang yang menzinahi ibunya di Baitulharam. Itu yang terkecil, padahal riba adalah dosa besar kedua setelah syirik.

Apakah Syariah satu-satunya jalan keluar?
Ini harus diclearkan, yang dimaksud institusi syariah apa. Syariahnya betul tapi dalam syariah kita harus mengerti bahwa yang bertentangan dengan riba adalah perdagangan berarti itu adalah muamalah. Jadi kalau ada institusi yang mengklaim bahwa dia syariah tapi bertentangan dengan muamalah justru dia bagian dari sistem riba. Kembalilah pada muamalah. Kembali pada perdagangan (mudharabah, musyrakah, dll).

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah edisi 31

Selasa, 21 Desember 2010

Vivi Novianti, Memilih Islam sebagai Jalan Keselamatan

Suasana sejuk dan tenang menghiasi ruangan yang terletak di bilangan Tubagus Ismail, Utara Bandung. Di samping kanan dan depan ruangan yang ditata rapih dengan beragam tanaman itu, tampak terlihat deretan perbukitan Bandung yang elok. Saban minggu pagi di tempat ini biasa diadakan ceramah ke-Islaman.

Vivi Novianti, salah seorang jama’ah yang akrab disapa Vivi, tampak khusyuk menikmati tausyah yang keluar dari pencermah. Perempuan kelahiran Bandung 10 November 1976 ini, adalah salah seorang mualaf. Pilihan hidupnya untuk memeluk Islam memiliki rangkaian kisah yang menarik.

Kedua orang tua Vivi berlainan keyakinan. Ayahnya, Abdul Syukur, keturunan India beragama Islam. Teng Tiun Nio, sang Ibu, berdarah Cina Tionghoa yang beragama Kristen.

Saat menikah, Teng Tiun Nio hidup di tengah keluarga Kristen yang taat. Keputusan dia untuk memeluk Islam dikarenakan calon suaminya, Abdul Syukur beragama Islam. Namun dalam keseharian, keduanya tak menampakkan jati diri sebagai seorang Muslim. Shalat, puasa serta ibadah wajib lainnya kerap ditinggalkan.

Karena lingkungan keluarga pihak ibu yang taat beragama, suatu hari saat baru berusia 4 tahun, Vivi diajak oleh ibunya ke Gereja GKI Pasir Koja. Bahkan sang Ibu memilih SD Kristen Trimulya Kebon Jati, sebagai tempat pendidikan dasar Vivi.

Pengaruh dari keluarga ibunya membawa Vivi semakin rajin pergi ke Gereja saban Minggu. Peran bapak sebagai seorang Muslim yang seharusnya bisa melarang Vivi dan ibunya pergi ke Gereja, tampak kurang begitu berpengaruh dibandingkan dengan keluarga dari pihak ibu. Begitu pun ketika vivi dan sekeluarga pindah rumah ke jalan Nyengseret, Bandung tahun 1998, aktifitas ibadahnya terus berlangsung di Gereja Rehobot, tak begitu jauh dari tempat tinggal mereka.

Tahun 1999, setelah Vivi menyelesaikan sekolahnya di SMA 18 Kopo, Bandung, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan di LPKI (Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia), Jakarta. Di kampus, selain kuliah, Vivi malah ditawari pekerjaan sebagai Marketing di salah satu perusahaan property di sana. Kesempatan yang langka ini langsung diambilnya. Maka pantas jika krisis ekonomi saat itu, tak terlalu berdampak pada Vivi yang telah memiliki pekerjaan tetap.

Anugerah rejeki yang melimpah, membuatnya semakin bersyukur. Sesekali Vivi menangis terharu saat mendengar kidung pujian yang dilantunkan di Gereja Pantekosta, tempat dia rutin beribadah di Jakarta.

Tahun 2001, bentuk syukurnya itu Vivi wujudkan dengan melakukan ritual pembaptisan, dengan cara dimandikan di Gereja Pantekosta, Jakarta. Sang ibu sendiri yang menyaksikan langsung ritual peneguhan jati diri sebagai seorang penganut Kristen ini.

Setahun berlalu, tahun 2002. Karena kesibukannya, Vivi memutuskan untuk pulang ke Bandung dan tidak melanjutkan kuliah. Di Bandung, Vivi ditawari pekerjaan yang menjanjikan penghasilan lebih besar dibandingkan pekerjaan dia sebelumnya. Menjadi distributor sparepart motor se-Jawa Barat.

Mulanya pekerjaan baru ini berjalan lancar. Namun tak lama kemudian, Vivi mengalami peristiwa yang cukup menggoncang batinnya. Aksi penipuan yang dilakukan oleh seseorang membuat usaha Vivi mengalami kerugian cukup besar.

Suatu malam Vivi menangis tersedu. Bingung, tak tahu harus berkata apa pada atasannya yang telah mempercayai dia sebagai distributor. Air mata terus mengalir hingga dia tertidur.

Dalam tidurnya, Vivi bermimpi. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” teriak seseorang disamping telinganya. “Jangan! Dia bukan Tuhan kamu,” teriak seorang lagi dari telinga sebelahnya. Teriakan ini berlangsung lama, hingga Vivi terhenyak dan bangun, lalu spontan mengucap Allahu Akbar.

Pengalaman ini membekas lama dalam benak Vivi. Sekali dua, ia sempatkan untuk melihat tayangan ceramah Aa Gym di televisi. Ceramah yang kerap diakhiri tangisan Jama’ah saat muhasabah ini mulai mengusik batinnya.

Perasaan Vivi terhanyut, lalu gelisah. Satu persatu buku-buku bertema ke-Islaman mulai ia lahap. Namun, ketenangan tak kunjung Vivi dapatkan. Sampai setahun kemudian, dia kembali mengalami mimpi yang nyaris sama dengan sebelumnya.

Vivi tak percaya. Mungkinkah mimpi itu adalah sebuah petunjuk?
Baru, tahun 2006, Vivi Novianti akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Setelah melalui pencarian yang cukup panjang, Vivi yakin bahwa Islam adalah satu-satunya jalan bagi keselamatan hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Vivi bersyahadat di rumah temannya yang beragama Islam, dengan disaksikan oleh sang Ibu, Teng Tiun Nio.

Untuk mempelajari Islam lebih dalam, selain melalap beragam literatur ke-Islaman, kini Vivi juga bergabung sebagai Jama’ah di Majelis Taklim Yayasan Ukhuwah Mualaf Indonesia (YUMI), Bandung. Bahkan aktif sebagai salah seorang pengurus YUMI.

Muhammad Yasin
Diterbitkan oleh Tabloid Alhikmah Edisi 31